Baru lima belas menit Suminah menutup pintu rumah, menyaksikan majikannya pergi dengan mobil limousine mereka. Suara bel rumah sudah kembali berbunyi, membuatnya bergegas melihat. "Siapa yang datang? Apa Tuan besar sudah kembali?" gumamnya sembari mengayunkan langkah kaki menuju pintu."Tuan Rey? Mau menemui siapa?" kata Suminah.Reyhan yang tidak tahu jika pemilik rumah itu tak ada di rumah, ia pun masuk ke dalam rumah dengan santainya tanpa menjawab apa yang ditanyakan oleh Suminah. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, sampai ia menyimpulkannya sendiri."Rumah ini sepi. Apa mereka sedang tidak ada di rumah?" tanya Reyhan, bicara pada dirinya sendiri.Tetapi, Suminah mendengarnya, ia pun lekas menjawab. "Benar, Pak Reyhan. Tuan dan Nyonya sedang pergi, mungkin untuk beberapa waktu mereka tidak akan tinggal di sini.Reyhan langsung tercengang kaget begitu mendengarnya. Ia memutar tubuhnya ke arah Suminah. "Kenapa? Memangnya mereka pergi ke mana?!""Saya dengar, Tuan
Perjalanan udara membuat Nara merasa lelah. Begitu sampai di hotel yang sudah dibooking tersebut, Nara pun segera merebahkan tubuhnya di sana. Tetapi ...."Aku harus mengabarkan pada Papa sekarang!" batinnya. Ia teringat sesuatu yang membuatnya mengambil ponsel warna putihnya.Nara pun segera mengirim pesan singkat kepada Rivanto mengenai keberadaannya saat ini. Ia juga meminta petunjuk mengenai apa yang harus dilakukannya kini."Nara, kamu ikut dengan saya! Jangan dulu tidur!" pinta Ardhan. Nara menoleh sejenak ke arah suaminya setelah mengirim pesannya tersebut.Lalu, ia pun bangkit dari baringnya, tetapi saat itu ia tampak tidak bersemangat. "Pak Ardhan, saya masih mengantuk. Kenapa saya jangan dulu tidur? Saya lelah, Pak," sergah Nara. Ia tidak setuju dengan cara Ardhan memerintah dirinya. Pria itu seolah tampak berbuat seenaknya.Ardhan mengangkat salah satu alisnya sembari berjalan mendekat ke arah Nara, lalu ia langsung menarik tangannya agar segera turun dari ranjang."Ini mas
"Tunggu saya, Pak Ardhan!" seru Nara. Ia berlari kecil ke arah Ardhan dan kemudian menyamakan langkah kakinya saat dirinya sudah berada di samping Ardhan.Di dalam hotel itu, Nara terduduk di sofa. Tetapi, Ardhan seolah tak membiarkannya terus diam."Saya mau kopi. Tolong kamu buatkan kopinya!" pinta Ardhan kepada Nara.Nara yang baru duduk pun langsung beranjak dari duduknya untuk melangkah menuju tempat pembuatan kopi. Tetapi, saat itu Nara baru ingat bahwa di sana ia tidak melihat ada air hangat yang bisa dirinya gunakan untuk membuat kopi."Padahal bisa memesan kopi langsung, kenapa malah menyuruhku yang membuatkan untuknya," gerutu Nara di dalam hatinya. Bibirnya cemberut, kesal.Nara pun akhirnya memilih bertanya saja kepada Ardhan. "Pak Ardhan, di mana saya membuat kopinya?" "Ada air panas, 'kan?""Saya tidak tahu, Pak." Nara menggelengkan kepalanya dengan muka masam. "Kita bahkan tidak membawa keperluan untuk membuat kopi.""Ya sudah, kalau begitu kamu pesankan kopi untuk say
"Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggunya pulang berbulan madu?" umpat Reyhan kesal. Pria itu duduk di kursi taman dengan kedua kaki terbuka lebar dan tubuh condong ke depan, sedangkan kedua tangannya menyatu di depan. Reyhan tampak bingung karena dirinya tidak diberitahu mengenai keberadaan Nara. Sengaja, Nara memang tidak memberitahu Ardhan karena ia tidak mau jika Reyhan sampai mengacaukan bulan madunya itu. Ia juga tidak ingin jika di masa lalu dirinya pernah menjalin hubungan dengan Reyhan yang ternyata adalah sepupu Ardhan.Dahulu, semasa berpacaran dengan Reyhan, Nara tidak pernah diperkenalkan dengan keluarga Reyhan. Seperti hubungan backstreet, yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Sehingga, ini menjadi sebuah hal baik bagi Nara karena Ardhan sendiri pun belum mengetahui masa lalunya dengan Reyhan."Berapa banyak jumlah uang yang kamu butuhkan?" tanya Ardhan dengan serius."Saya hanya butuh lima juta saja. Tapi, kalau tidak mau memberi tidak masalah. S
Begitu memasuki tempat itu, mereka disambut dengan cahaya dari lampu gantung bola yang ada di langit-langit bar. Tempatnya yang tidak begitu ramai ...."Mari ikut saya!" ajak salah seorang pramusaji di bar tersebut. Menunjukkan meja yang telah dibooking tersebut. Ardhan yang memiliki ide ini.Dan pelayanan bar yang sangat menyenangkan, membuat Nara tersentuh. "Mas, apa kamu yang menyiapkan semuanya?" tanya Nara dengan nada berbisik sembari terus berjalan mengikuti pramusaji perempuan yang menunjukkan meja pesanan Ardhan."Iya. Jadi, nikmatilah malam ini. Makanlah dengan nyaman."Pramusaji itu menghentikan langkah kakinya di samping sebuah meja bulat dengan taplak meja putih dengan di tengah meja ada setangkai bunga mawar merah dan anggur merah yang mengisi setengah dari red wine glass di dekat lilin panjang. "Silakan, makanan pembuka sebentar lagi akan segera datang~!" ucap pramusaji itu dengan sopan.Mereka pun duduk di kursi masing-masing dalam posisi berhadapan. Nara yang masih b
"Sudah dulu, ya. Nanti kita lanjut lagi. Sekarang kita harus kembali ke hotel." Ardhan melepaskan Nara dari pelukannya, tetapi obat perangsang itu seolah masih terus menguasai Nara. Di sisi lain, Ardhan tidak mau jika pengaruh obat itu kehabisan. Sehingga, dengan buru-buru ia mengemudikan mobilnya menuju hotel.Perjalanan yang tidak begitu jauh membuat mereka segera sampai di hotel mahagiri villas tersebut. Ardhan pun membetulkan pakaian Nara sejenak dan memeluknya, membawa Nara memasuki hotel tersebut.Setelah berhasil memasuki kamar hotel, Ardhan pun langsung menempatkan Nara di tempat tidur. Tetapi, Nara seolah tak mau ditinggal pergi oleh Ardhan. Tangannya terus bergelayut manja dengan gairah yang tak kunjung mereda."Mas~!!!"Ardhan menyeringai. "Rupanya kamu bisa seliar itu tanpa rasa malu."Nara membuka satu persatu pakaiannya di hadapan Ardhan. Wanita itu seolah tidak ada rasa malu lagi. Ardhan yang melihatnya pun langsung ikut bergairah melihat tubuh mungil Nara yang begitu
Waktu terus berlalu. Malam penuh gairah pun telah berakhir. Tetapi, Ardhan yang mengingat masa lalu buruk itu nyaris saja pulang dan meninggalkan Nara. Untungnya, ia ingat bahwa Nara masih berada di hotel sendirian.Pada saat perjalanan menuju kamar hotel, suara ponsel berdering. Ardhan menghentikan langkah kakinya dan memilih untuk menjawab telepon dari Kakek Heraldo."Halo, Kek. Ada apa?" tanya Ardhan.Kantung matanya menghitam dengan rasa lelah luar biasa yang kembali terasa pada tubuh Ardhan. Walaupun sudah terbiasa bergadang, tetapi lelahnya kali ini sungguh berbeda."Bagaimana malam tadi? Apakah cukup menyenangkan?" tanya Kakek Heraldo. "Kakek yakin, dia itu masih perawan. Masih rapat dan kamu pasti senang karena yang pertama kali membuka segelnya," tambahnya. Kali ini, nadanya terdengar berbisik.Ardhan hanya menyeringai. "Walaupun perawan, tapi aku tidak merasakan senang. Masa lalu itu malah menggentayangiku. Membuatku takut jatuh cinta kembali dan takut mendapat pengkhianata
Nara melangkah memasuki kamar. Ia melewati Ardhan begitu saja tanpa berkata apapun. "Siapa yang menelepon pagi-pagi begini sampai sembunyi begitu?" tanya Ardhan dengan nada menyindir.Namun, saat itu Nara tidak menyahut. Ia tidak mau melakukan perdebatan yang tidak penting dengan Ardhan. Melihat Ardhan yang tampak sedang dalam suasana hati yang buruk, membuatnya berusaha untuk menghindari pertengkaran di antara mereka."Sebaiknya aku pesan makanan saja."Lewat sebuah telepon yang ada di kamar hotel itu, Nara mencoba memesan makanan untuk sarapan paginya. "Aku sudah merasa lapar," gumamnya.Sembari menunggu, Nara duduk sembari melihat matahari terbit dari arah timur. Merasakan hangatnya pagi dengan udara yang masih segar.Hingga, Nara seketika beranjak dari duduknya dengan mata membelalak. Ia kaget karena baru mengingat sesuatu."Harusnya aku bersiap-siap," ucap Nara. "Kami 'kan akan pergi ke pantai kuta," tambahnya.Nara pun memasuki kamar mandi tersebut. Ardhan yang melihat Nara tamp