Share

Bab 6 Tiket Bulan Madu

Keduanya terperangah kaget, bahkan Ardhan sendiri pun ternyata tidak mengetahui rencana Kakeknya ini. Sengaja, Kakek Heraldo menyiapkan tiket ini untuk cucunya agar harapannya memiliki cicit dapat segera terwujud. Itu karena berpikir bahwa di masa depan membutuhkan seorang penerus yang meneruskan usaha keluarga itu.

"Maksudnya?" tanya Nara dan Ardhan serentak.

Baru kali ini mereka berbicara kompak begitu. Padahal, keduanya tidak dekat sama sekali.

Kakek Heraldo melihat kepada mereka secara bergantian. Lalu, Kakek Heraldo menyodorkan sebuah tiket liburan.

Mata Nara langsung tertuju pada tiket yang ada di meja itu. "Itu tiket apa? Apa jangan-jangan ...!" Ia begitu kaget sekaligus penasaran dengan apa yang dilihatnya saat itu.

"Kakek mau kalian berlibur ke pulau dewata. Tiketnya sudah Kakek siapkan, jadi bersiaplah untuk hari esok!"

Dan benar saja dugaan Nara, Kakek Heraldo memang menginginkan agar keduanya pergi berbulan madu.

"Kenapa harus sampai bulan madu? Pasti tidak akan menyenangkan. Untuk apa aku berbulan madu dengannya kalau nantinya malah akan diabaikan? Aku yakin, Pak Ardhan pasti akan sangat sibuk dengan pekerjaannya," gerutu Nara dalam hati.

Wajahnya tampak cemberut, itu terlukis jelas dari raut mukanya. Terutama bibirnya yang tampak mengerucut, dan Kakek Heraldo pun melihatnya. "Nak, kamu tidak suka tempatnya, ya?" tanyanya, memastikan.

Nara yang mendengar pertanyaan itu pun langsung terkesiap. Ia pun kemudian tersenyum seraya menggelengkan kepalanya."Tidak, Kek. Saya malah berterima kasih karena sudah menyiapkan semuanya untuk kami. Tapi, Kakek ikut ke sana juga, 'kan?"

Namun pertanyaan itu malah terdengar aneh bagi Kakek Heraldo, bahkan sampai membuatnya terkekeh.

"Kamu ini ....Tidak akan ada istilah bulan madu lagi kalau Kakek juga ikut serta dengan kegiatan kalian~!"

"Ah, sepertinya usahaku sia-sia. Benar juga, tidak mungkin dia bepergian bersama kami!" batin Nara.

Padahal, saat itu Nara hanya pura-pura polos saja. Ia bersikap demikian, agar malam pertamanya dengan Ardhan menjadi gagal dan tertunda. Pikirnya, masih ada hari lain sampai dirinya benar-benar siap.

Tetapi, sepertinya tidak ada istilah tawar menawar lagi. "Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan nanti?" pikiran itu terus berlarian di kepala saat pembicaraan tengah berlangsung.

"Ambil-lah dan pergi ke kamar, sepertinya kalian perlu istirahat!"

Ardhan memandangi tiket itu untuk beberapa saat, lalu mengambilnya. "Terima kasih~!"

"Kek, kami pergi ke kamar dulu!" kata Ardhan, beranjak dari duduknya.

Nara yang masih digenggam Ardhan itu tentu saja ikut bangkit dari duduknya. Mana mungkin ia bisa menolak atau bahkan membantah, sedangkan Kakek Heraldo tengah bersama mereka di sana.

Tetapi, meskipun begitu ia tidak melupakan sopan santunnya. Nara menoleh sembari mengatakan, "Kek, saya pamit kembali ke kamar. Kakek jangan banyak bergadang. Tetaplah jaga kesehatan~!"

Cklek! Ardhan menutup pintu itu kembali dengan wajah dinginnya.

"Mas, kenapa kita terburu-buru pergi dari sana?" tanya Nara dengan nada berbisik.

Ardhan menoleh sembari menatap kedua mata Nara. "Saya tidak mau kamu mengatakan hal konyol seperti tadi lagi!" balasnya dengan nada pelan.

Perlahan, mereka saling melepas genggaman tangan tersebut. "Kamu ikut dengan saya!"

"Ada apa lagi?" tanya Nara, bingung. Ia masih belum memahami apa yang diinginkan suaminya.

"Ikut saja!"

Nara pun kemudian melangkahkan kakinya mengikuti Ardhan yang tengah menjepit kertas tiket diantara jari telunjuk dan jari tengahnya tersebut.

Hingga, sesampainya di kamar. Ardhan langsung meletakkan tiket tersebut di meja.

"Saya mengantuk. Kamu boleh tidur di tempat tidur, biar saya yang tidur di sofa."

Nara tidak membantah. Ia bahkan tidak menjawab perkataan Ardhan.

"Biarkan saja kalau itu memang sudah menjadi pilihannya," umpat Nara pelan. "Tapi ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status