Share

Pertemuan Pertama

Sera baru saja selesai mandi saat suara ponselnya kembali bersuara nyaring. Dengan mengenakan handuk sebagai pembungkus tubuh telanjangnya, Sera keluar dari kamar mandi untuk melihat si penelepon.

Kali ini pemilik nama ‘Ardhi Prasetyo’ yang muncul di layar. Badan Sera langsung panas, entah karena apa. Detak jantungnya berkejaran.

Sera membiarkan ponsel itu berdering lama sebelum akhirnya dengan sangat terpaksa Sera menggeser layar untuk mengangkat panggilan telepon itu.

“Saya mau bicara,” ucap suara dingin dari seberang telepon. Dingin sekali. Dingin yang membekukan tulang.

Sera menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh.

“Kasih saya waktu sepuluh menit untuk siap-siap,” jawab Sera dengan menahan getaran dalam suara.

“Saya nggak punya banyak waktu. Cepatlah keluar! Waktu saya terlalu mahal untuk dibuang sia-sia hanya untuk nunggu kamu. Keluar sekarang!”

Dengan tubuh bergetar, Sera keluar dari kamar. Tangan kanannya menggenggam ponsel. Sementara tangan kirinya mencengkeram handuk di atas dadanya.

Di depan sana, di sofa kulit panjang berwarna cokelat yang berada di ruang tengah, seorang Ardhi Prasetyo duduk dengan begitu angkuhnya. Tatapan mata laki-laki itu mengarah ke layar TV yang hitam.

Sera bahkan tidak perlu repot bertanya bagaimana cara laki-laki itu masuk. Tentu saja karena laki-laki itu memiliki akses penuh atas apartemen yang ditempatinya kini.

Saat Sera berjalan mendekat. Ia berhenti di ujung sofa, berjarak sekitar satu meter dari laki-laki itu. Dan Sera langsung dapat menghidu aroma mint dan sitrus yang bercampur dengan bau rokok di sekitar laki-laki itu.

Anehnya tubuh Sera bereaksi hebat. Detak jantungnya berdebar keras tak terkendali. Suhu tubuhnya seperti melonjak tinggi. Panas dan sesak.

Saat Ardhi menoleh dan langsung bertatap mata dengan Sera, sesuatu seperti sengatan listrik menjalar di tubuh Sera.

Laki-laki itu menaikkan ujung bibir. Tersenyum sinis lalu itu berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. “Apa kamu sedang berusaha menggoda saya dengan keluar hanya mengenakan handuk?”

Sera melotot. Ia menahan napas hingga sesak semakin memenuhi dada. Ucapan Ardhi barusan benar-benar kurang ajar. Sera menekan amarah sambil memegangi ujung handuknya.

"Kamu yang tadi minta saya buat cepat-cepat keluar," geram Sera.

Ardhi tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan untuk didengar.

"Mendekatlah!" perintah Ardhi. Menunjukkan kediktatoran yang entah kenapa terlihat mengesalkan.

Sera mendekat dengan kaki gemetar.

Ardhi melihat gestur itu dan kembali tertawa. Kali ini terdengar mengejek.

Sera benar-benar tak mengerti. Sebenarnya ada masalah apa laki-laki ini? Kenapa sinis sekali terhadapnya?

"Kalau kamu mau meniduri saya, nggak usah basa-basi. Bukankah itu yang kamu inginkan dengan datang kemari?"

Mata Ardhi menyipit saat Sera menyerangnya dengan kata-kata pedas.

Ardhi terkekeh lalu tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan gestur mengusir. Sera yang berjarak satu meter darinya itu mengernyit bingung.

Dengan malas Ardhi memandang Sera dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Nggak akan menyenangkan kalau langsung ke menu utama, bukan? Saya bukan tipe orang yang akan mengajak tidur seorang wanita saat pertama kali bertemu. Bukankah itu terkesan kurang beretika?” ujar Ardhi lagi dengan sinis. 

Sera melongo selama beberapa detik. Tak menyangka akan mendapat respons serupa.

"Kenapa cuma diam di situ? Kamu nggak paham manner atau bagaimana?" 

"Apa maksudmu?"

"Pakai bajumu! Apa begini cara kamu menyambut orang yang pertama kali kamu temui? Dengan langsung menyerahkan badan?" decih Ardhi. "Saya sudah berbaik hati untuk melepaskan kamu, tapi kamu malah maunya bermain-main sama saya? Besar juga nyalimu," cetusnya kemudian.

Berengsek!

Satu kata itu sudah cukup untuk mendeskripsikan Ardhi Prasetyo yang kasar dalam berkata-kata dan dingin dalam setiap tindakan dan tatapan. Tidak menyangka kalau seorang Ardhi Prasetyo adalah jelmaan iblis yang sesungguhnya.

Tanpa memberikan balasan atas ucapan kasar Ardhi, Sera berbalik masuk ke dalam kamar. Melemparkan ponsel ke atas ranjang, kemudian berganti pakaian dengan cepat. Tadinya, sebelum Ardhi sampai, Sera sudah berniat untuk memberikan sambutan yang layak seperti yang Adi minta. Walaupun tak benar-benar mahir berdandan, kalau hanya mengaplikasikan riasan simpel di wajah, Sera pun masih bisa. Namun, karena terlanjur kesal kepada Ardhi yang mengintimidasi dari awal kemunculannya, Sera malas bahkan hanya untuk mengenakan lipstik di bibir merah mudanya.

Setelah mematut diri di cermin, memastikan bahwa pakaian yang ia kenakan tak terlalu ketat di badan, Sera keluar kamar sembari merapikan rambut dengan jemari tangan.

Di luar, Ardhi masih setia menunggu. Saat terdengar pintu dibuka, Ardhi melepaskan fokus dari ponsel ke arah Sera yang kikuk dan canggung berjalan mendekat ke arahnya.

Masih dengan gaya angkuhnya, Ardhi tersenyum miring. Menikmati pemandangan di depannya dengan senang hati. Ia adalah laki-laki yang dominan dan suka memegang kuasa atas seseorang. Mendapati seorang perempuan takluk tanpa perlawanan adalah hal yang paling menyenangkan untuknya.

Setelah puas memindai gerak-gerik Sera yang antara ketakutan dan salah tingkah, Ardhi perlahan mendekat. Memangkas jarak hingga mereka berdua berdiri berhadapan dengan jarak satu langkah.

Laki-laki itu menjulang di depan Sera. Tinggi dan gagah. Menambah aura dominasi menguar dari dirinya membuat Sera ciut. Dalam sekejap Sera mungkin akan remuk dalam kungkungan laki-laki itu.

"Lumayan juga," komentar Ardhi. "Saya penasaran bagaimana rasanya bermain-main sama kamu."

Sera tak bergerak dari posisinya. Meski berusaha untuk tidak tegang, nyatanya ia tak bisa.

“Lihat mata saya, Sera,” bisik Ardhi sambil sedikit menunduk. Suaranya yang dingin menghantarkan geletar yang menggelikan di perut Sera dan membuat bulu kuduk perempuan itu berdiri.

Perlahan, Sera menaikkan pandangan dan langsung bersitatap dengan mata elang Ardhi yang menghunus tajam. Mematikan saraf dalam tubuhnya hingga perempuan itu membeku kaku.

Paras rupawan laki-laki itu bahkan tidak terlalu menolong Sera untuk tetap berpegang pada kewarasan. Sera merasakan ketakutan yang luar biasa tetapi tak bisa melepaskan diri.

Sebelum pikirannya melayang jauh, tiba-tiba ia tersentak saat Ardhi mendekatkan wajah. Sera memejamkan mata dan tidak sadar sudah menggigit bibir bawahnya dengan kuat saat jari embusan napas pelan Ardhi menggelitik gendang telinganya.

"Duduklah, Sera. Jangan terlalu tegang. Saya nggak menggigit." Suara berat Ardhi itu membuat Sera semakin hilang akal.

Menelan ludah, Sera memberanikan diri membuka mata. Jantungnya berkejaran saat tangan Ardhi menyentuh dagunya. Membuat Sera refleks mendongak dan bertemu mata dengan mata gelap Ardhi. Kemudian dalam sedetik, bibir Sera dikecup perlahan.

Belum sempat Sera memproses apa yang sedang terjadi, Ardhi menjauhkan diri. Ia kembali duduk seolah yang barusan tadi bukan apa-apa. Sementara itu, Sera seperti lupa cara bernapas.

“Kita mulai pelan-pelan saja. Saya tahu kamu butuh adaptasi,” ujar Ardhi sembari menyandarkam punggung di sofa dengan nyaman. "Kenapa masih berdiri di situ? Duduklah!"

Sera yang seperti ornag linglung, duduk di sofa yang berseberangan dari Ardhi. Hal itu membuat Ardhi tersenyum sinis.

"Kenapa? Kamu takut sama saya?" sindir Ardhi.

Refleks Sera menggeleng. "Nggak," jawabnya cepat.

Lagi, Ardhi menyuguhkan senyum sinis yang terlihat sangat memuakkan di mata Sera. "Kamu nggak bisa membohongi saya. Mata dan gestur tubuh kamu menjelaskan semuanya."

Sera mendengkus dalam hati. Memangnya siapa yang tidak takut jika berhadapan dengan laki-laki seperti Ardhi yang dingin dan angkuh itu?

“Kamu bisa menikmati fasilitas di sini tanpa perlu membayar uang sepeser pun. Adi yang akan mengisi kulkas dengan stok makanan selama kamu tinggal di sini. Kamu tidak akan kelaparan. Barang-barang yang ada di apartemen ini juga bisa kamu pakai sesukamu,” kata Ardhi sambil mengutak-atik ponsel. Matanya sudah tak lagi memandangi Sera.

Jantung Sera seakan tertohok oleh sesuatu yang keras. Apa ini fungsinya ia jadi istri Ardhi? Hanya untuk direndahkan?

“Satu hal yang perlu kamu ingat, kamu membayar semua ini dengan tubuh kamu. Jadi, jangan lagi perlihatkan air mata kamu di depan saya setelah ini. Saya paling benci perempuan lemah.”

Mendegar suara Ardhi yang sedingin es itu dengan cepat menyadarkan Sera untuk tidak menunjukkan sisi rapuhnya di depan laki-laki sialan itu. Menghadapi laki-laki seperti Ardhi akan lebih mudah jika ia juga bersikap sama kerasnya. Air mata hanya akan membuat Sera semakin dipandang sebelah mata. Sera akan tunjukkan bahwa ia bukanlah wanita yang lemah, yang takluk hanya karena seorang Ardhi Prasetyo.

“Satu lagi, jangan bermain api dengan laki-laki lain karena tubuh kamu adalah milik saya. Kamu tentunya nggak akan mau tahu apa yang bisa saya perbuat kalau kamu berani macam-macam.”

to be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status