Share

Perjodohan Konyol

Pulang ke rumah itu artinya Ardhi siap mendengarkan omelan sang ibu yang katanya rindu kepada anaknya yang jarang pulang. Padahal hampir setiap dua minggu sekali Ardhi menyempatkan untuk pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu yang katanya kesepian.

“Boy! I miss you soooo much!”

Itu adalah teriakan dari seorang wanita berusia hampir enam puluh tahun. Tampilan wanita itu begitu anggun dan rapi. Tubuh sintalnya terbalut terusan selutut sederhana yang berwarna merah muda. Meski terlihat sederhana, namun semua orang tahu bahwa harga dari baju itu jelas tidak murah. Rambut pendek sebatas bahu yang sebagian sudah memutih itu tertata rapi. Tampilan sederhana tapi berkelas. Itulah definisi yang cocok untuk wanita yang biasa dipanggil Ardhi dengan sebutan Ibu. Mantan aktris terkenal pada zamannya. Selia Prasetyo, istri tercinta ayahnya.

I miss you too, Ibu!” Ardhi menyongsong Ibu dengan langkah-langkah besar agar bisa segera memeluk sang ibu yang membukakan pintu rumah sebesar istana itu.

Meski rumah sebesar istana, nyatanya Selia itu tidak mau merepotkan asisten rumah tangganya untuk membukakan pintu. Simpel saja, ia lebih suka menyambut anaknya tanpa interupsi siapa-siapa.

“Ayo, masuk. Ibu sudah masak banyak untukmu dibantu sama koki spesial," ucap Selia dengan senyum misterius yang terulas di bibir.

“Koki spesial? Siapa?” Ardhi mengernyit tidak mengerti. Pasalnya setiap ia pulang ke rumah, Selia biasa dibantu oleh asisten rumah tangga kalau sedang ingin memasak. Selia juga tidak akan repot memanggil koki hanya untuk makan siang.

Selia tersenyum lebar. Sangat lebar hingga membuat Ardhi semakin penasaran. Juga ada perasaan tidak enak di dada yang membayangi. Ardhi paling malas dengan kejutan yang disiapkan ibunya itu.

“Ayah tidur, Bu?” tanya Ardhi ketika mereka menuju ruang makan. Mereka berdua melewati ruang tamu yang super lebar, berjalan ke sisi kiri rumah yang hanya dibatasi oleh lemari-lemari besar berisi buku dan vas berisi bunga-bunga segar yang setiap hari diganti.

“Sudah menunggu di ruang makan.”

Benar-benar hal yang tidak biasa. Semenjak terkena stroke, Randi jarang mau makan di ruang makan lagi. Laki-laki itu lebih suka makan−disuapi oleh sang istri tentu saja−di taman belakang rumah sambil menunggui ikan-ikan di kolam yang ia ternak.

Ardhi dan Selia sampai di ruang makan yang di sana sudah ada beberapa orang. Randi duduk di ujung meja di atas kursi roda elektrik yang dudukannya cukup tinggi sehingga posisinya terlihat cukup jelas.

Di sisi kiri Randi, pada deret kursi kayu itu terduduk tiga orang. Sepasang suami istri yang sudah sangat Ardhi kenal. Mereka adalah Bayu Tarendra dan Ayudia Tarendra. Pasangan itu mengapit seorang wanita yang juga sudah Ardhi kenal baik. Thalia Tarendra. Anak tunggal pasangan Tarendra yang merupakan rekan bisnis ayahnya.

Ardhi menyalami Randi dan pasangan Tarendra dengan sopan. Sementara dengan Thalia, ia membiarkan pipinya dicium wanita itu.

“Yang dimaksud Ibu koki spesial itu Thalia, ya?” tanya Ardhi setelah bergabung dengan mereka.

Thalia Tarendra adalah chef terkenal yang wajahnya bisa dilihat di televisi pada acara Master Cooking. Wanita berdarah Minang dan Jerman itu lulusan Le Cordon Bleu Culinary Art. Sekolah kuliner terbaik di Prancis yang menjadi tujuan bagi mereka yang bercita-cita menjadi koki handal.

“Aku cuma bantu Tante Selia sedikit aja,” ucap Thalia dengan senyum terukir di bibir. Cantik sekali. Ardhi mengakui itu.

“Terima kasih,” kata Ardhi.

Di hadapan Ardhi terhidang beberapa masakan Indonesia yang menggugah seleranya. Di antaranya ada rendang, oncom Leunca, dan sop buntut untuk menu makan berat. Ketiganya adalah favorit Ardhi.

“Santai saja, Ardhi. Jangan terlalu formal. Pertemuan ini bukan untuk membahas bisnis,” ujar Bayu Tarendra.

Justru itulah yang membuat Ardhi gusar. Ardhi lebih mudah menghadapi orang-orang yang ingin berbisnis dan membangun relasi dengannya daripada membicarakan di luar itu. Lebih tepatnya Ardhi tidak suka berhubungan lebih dari sekadar menjadi relasi bisnis.

“Sebelum membahas yang lain, kita makan dulu saja. Kasihan putraku pasti sudah sangat kelaparan,” ucap Selia. Menahan semua ucapan penghuni ruangan itu.

Setelah acara makan siang yang berlangsung hening, mereka berpindah ke ruang keluarga. Ruangan yang sama besarnya dengan ruang tamu. Sofa-sofa besar dan mahal terhampar di tengah ruangan itu. Ada dua guci besar yang berada di pojok ruangan. Juga lemari dari kayu jati yang memuat penghargaan-penghargaan dan piala-piala yang diraih penghuni rumah itu.

“Ayah mau kamu segera menikah.” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Randi yang diucapkan dengan terbata-bata.

“Saya dan ayahmu sepakat untuk menjodohkan kalian berdua,” sambung Bayu Tarendra. Kalian berdua yang dimaksud siapa lagi kalau bukan Ardhi dan Thalia? Hanya ada dua orang berbeda gender di antara mereka berenam. 

“Aku sudah menikah, Yah,” batin Ardhi menjerit. Kata-kata itu tidak bisa terucap. Benar-benar konyol. Ia memperlakukan seseorang yang ia sebut istri dengan begitu jahat dan hanya mengingatnya saat terpojok begini. Benar-benat tidak tahu diri.

Akhirnya Ardhi hanya memandang Randi dengan tatapan protes. Tatapannya tidak berhenti di ayahnya. Ia mengedarkan ke berpasang-pasang mata yang juga menatapnya dengan penuh harap.

Ternyata, hanya dirinya yang keberatan. Bahkan Thalia terlihat santai dan menerima dengan tangan terbuka.

“Maaf, apakah perjodohan ini sebagai syarat kerjasama Prasetyo dan Tarendra?” tanya Ardhi.

Ada suara kesiap dari bibir Selia dan Ayudia Tarendra. Tidak menyangka Ardhi mengajukan pertanyaan itu.

"Kenapa kamu bicara seperti itu, Nak?" Selia mencoba menenangkan anaknya yang terlihat menahan amarah. Matanya menjelaskan semua emosi itu.

"Ini terlalu mendadak," ucap Ardhi menahan geraman di bibir.

“Kalian berdua cocok dan dekat, bukan? Usia kalian pun sudah nggak muda lagi, sudah patut untuk membentuk sebuah keluarga. Kalian berdua sama-sama tidak memiliki kekasih, bukan?” Bayu Tarendra lagi-lagi angkat bicara. Mewakili Randi yang jelas kesulitan untuk membuka suara karena penyakitnya.

Ardhi menatap Thalia. Namun, wanita itu sama sekali tidak membantu. Ardhi merasa dijebak oleh orang tuanya sendiri dan juga keluarga Tarendra.

“Saya−”

“Tarendra membutuhkan penerus perusahaan," Bayu Tarendra memotong ucapan Ardhi, "kalau kamu menikah dengan Thalia, otomatis perusahaan Tarendra akan menjadi tanggungjawabmu. Thalia sudah benar-benar tidak bisa diharapkan sebagai penerus.”

Ardhi menyipitkan mata sembari berpikir cepat. “Bagaimana dengan sepupu-sepupu Thalia?”

“Tidak ada yang secakap kamu dalam bekerja, Ardhi. Thalia juga menyukaimu.”

Untuk hal ini, Ardhi tidak kaget. Thalia pernah menyatakan perasaannya kepada Ardhi setelah lulus dari sekolah kulinernya di Prancis beberapa tahun yang lalu. Namun, Ardhi tidak menerimanya karena sudah memiliki kekasih. Kalau saat itu Ardhi tidak memiliki kekasih pun Ardhi tetap akan menolak dengan halus. Ia tidak pernah menyukai Thalia sebagai seorang wanita. Thalia lebih seperti seorang adik baginya.

“Apakah saya punya pilihan untuk mempertimbangkan ini dulu sebelum saya setuju atau menolak?” tanya Ardhi. Ya, Ardhi punya beberapa pertimbangan yang perlu ia pikirkan matang-matang.

“Ardhi, kenapa ngomong begitu?” tegur Selia dengan muka penuh penyesalan yang ia tujukan untuk ketiga tamunya.

“Yah, tolong kasih saya waktu untuk memutuskan,” ucap Ardhi kepada Randi yang belum bersuara lagi. Ardhi mengabaikan teguran ibunya. Kemudian menatap keluarga Tarendra. “Maaf Om, Tante, dan Thalia. Bukan bermaksud tidak hormat, hanya saja saya terlalu terkejut dengan ini semua. Saya butuh waktu untuk mengambil keputusan.

Sebelum para orang tua kembali angkat suara, Thalia menengahi. "Ardhi benar. Dia butuh waktu," ujar Thalia dengan santun. Ia menatap Ardhi dengan tatapn lembut. "Maaf Ar, orang tua kita yang terlalu bersemangat. Kamu pikirkan dulu, ya. Aku bisa menunggu. Setelah kamu tenang dan bisa berpikir jernih, hubungi aku bisa kan? Kita bicarakan ini sama-sama."

Ardhi menyampaikan terima kasih untuk Thalia melalui matanya. Meski ia kesal karena Thalia terima-terima saja dengan perjodohan konyol ini, Ardhi tidak bisa marah terlalu lama. Ia sudah lama mengenal Thalia dan wanita itu adalah sosok yang baik. Kemungkinan besar Thalia sulit menolak permintaan orang tuanya yang ingin segera melihat anak satu-satunya itu menikah dan punya keturunan yang bisa mempertahankan nama Tarendra.

to be continued.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
paijah08771622
Kenapa Ardhi tak terus terang kalo sudah menikah diam diam , laki laki lembek.
goodnovel comment avatar
Bihan Ailya
minang hadir ...️......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status