Share

Ardhi Prasetyo

Ardhi adalah sosok laki-laki yang sangat passionate dalam bekerja. Disiplin adalah motto hidupnya. Dan ia mewajibkan itu menjadi motto pegawai di kantornya. Sekali melanggar kedislipinan yang laki-laki itu terapkan, bisa dipastikan karirnya akan langsung tamat saat itu juga. Karena kedislipinan inilah yang semakin memajukan perusahaan. Para karyawan sudah terbiasa dengan ritme kerja Ardhi Prasetyo meski laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu baru menduduki posisinya sebagai CEO sejak setahun yang lalu, menggantikan Randi Prasetyo, sang ayah yang terkena stroke dan sampai kini hanya bisa beraktivitas seperti sedia kala. Separuh tubuhnya lumpuh hingga ke mana-mana harus duduk di atas kursi roda selama sisa hidupnya.

Kedatangan Ardhi di kantor pusat yang berada di daerah Sudirman−pada sebuah gedung tinggi di lantai 30−disambut para pegawai yang berjumlah enam belas−delapan pegawai laki-laki dan delapan pegawai perempuan−dalam balutan pakaian yang rapi. Mereka berjajar di lorong masuk, membungkuk ke depan sekitar 15 derajat kemiringan.

“Selamat pagi," ucap Ardhi kepada para pegawai yang menyambut kedatangannya. 

Di luar dugaan, wajah kaku dan dingin yang selalu menjadi wajah sehari-hari Ardhi itu sedikit mengendur. Mengulas senyum yang begitu tipis di bibir setelah mengucapkan selamat pagi. Para pegawainya membalas dengan ucapan selamat pagi yang lebih lantang dan kompak.

Setelah duduk nyaman di kursi kebesarannya, tangannya terulur, meminta Adi menyerahkan tab yang menampilkan indeks saham hari ini. Keluarga Ardhi Prasetyo tidak hanya dikenal sebagai kelurga pengusaha kelapa sawit, namun juga sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Kalau ditotal, keluarga Ardhi Prasetyo memiliki tujuh belas mall besar yang tersebar di kota-kota di seluruh negeri.

Ardhi menggumam begitu melihat layar tab. Meski perusahaannya mengalami kenaikan saham sebanyak dua persen, Prasetyo Grup masih betah bertahan di posisi dua sejak berminggu-minggu yang lalu. Posisi pertama masih di tempati oleh Sinuaji Grup yang bergerak dalam bisnis bidang pariwisata dan perhotelan.

“Hari ini ada pertemuan penting yang harus saya hadiri?” tanya Ardhi sembari menyerahkan tab ke arah Adi.

“Hanya ada satu meeting penting, Pak. Pagi ini pukul sepuluh untuk membahas pembukaan cabang baru di Surabaya. Selebihnya saya bisa meng-handle pekerjaan Bapak.” Adi menjawab dengan lugas. “Setelah makan siang, Bapak akan dijemput oleh supir yang akan mengantarkan Bapak sampai ke rumah.”

“Nanti malam saya ada janji bertemu orang,” protes Ardhi. “Saya pulang ke rumah dengan mobil saya saja. Tanpa sopir,” titah laki-laki itu kemudian.

Adi tersenyum tipis dan mengangguk. “Baik, Pak.”

Setelah obrolan singkat dengan Adi terhenti, suara ketukan pintu terdengar, kemudian masuk seorang laki-laki muda yang membawa tumpukan kertas yang sudah dijilid.

“Saya mau menyerahkan beberapa berkas yang perlu ditanda tangani, Pak,” ucap laki-laki muda itu.

Meski berhadapan dengan dua lelaki sangar yang memiliki muka siap tempur, laki-laki muda itu tidak gentar. Adalah hasil dari tempaan Ardhi saat laki-laki muda itu masih menjadi pegawai magang dan Ardhi masih menjadi Direktur Pemasaran.

Ardhi menggerakkan tangan, yang menjadi tanda untuk laki-laki muda itu membuka berkas yang ia tempeli dengan pembatas berwarna-warni. Meletakkannya di meja pada sudut yang pas, tepat di depan Ardhi.

“Besok kamu ikut saya meninjau mall di Kelapa Gading,” ucap Ardhi sembari membubuhkan tanda tangan basah.

“Saya, Pak?” Laki-laki itu menunjuk dirinya dengan bingung.

“Kenapa? Tidak mau?” decak Ardhi.

“Mau, Pak!”

Ardhi memicing kesal. Benar bahwa laki-laki muda di depannya itu adalah juniornya yang cukup ia sukai karena keuletannya dalam bekerja. Namun, tidak jarang laki-laki muda itu agak 'lemot' seperti sekarang ini.

“Kamu sudah jadi mendaftar menjadi member golf di Pondok Indah?” tanya Ardhi kemudian. Lanjut menandatangani halaman lain dari berkas yang diajukan laki-laki muda itu.

“Belum, Pak.”

“Kenapa belum?” protes Ardhi dengan geram. Ia kembali mengangkat kepala dan menghunus tatapan tajam. Merasa kesal karena perintahnya diabaikan anak buahnya. “Saya sudah menyuruh kamu mendaftar sejak bulan lalu.”

Laki-laki muda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia meringis, menunjukkan raut bingungnya. “Saya masih tidak tahu alasan saya mendaftar. Saya bahkan tidak bisa bermain golf," ujaraya mencari alasan. 

"Saya tahu kamu tidak bisa bermain golf." Ardhi menghela napas lelah. “Saya minta kamu mendaftar supaya bisa belajar. Adi bisa carikan kamu tutor.”

“Untuk apa, Pak?”

“Memangnya kamu mau tetap menjadi pegawai dengan level seperti sekarang untuk bertahun-tahun ke depan? Atua mungkin seumur hidupmu?” cecar Ardhi.

Semua berkas sudah ditandatangani. Dan Ardhi belum mau membiarkan laki-laki muda itu pergi.

“Tentu tidak, Pak. Saya jelas ingin mengembangkan karir saya.”

“Di luar kantor saya?”

“Eh? Maaf, Pak.” Laki-laki muda itu kembali kebingungan.

Ardhi menyandarkan punggung di kursi kemudian melipat lengan di depan dada. “Kenapa minta maaf? Saya cuma tanya.”

“Bukan begitu, Pak.”

“Pokoknya kamu segera daftar dan belajar supaya tidak malu-maluin kalau nanti kamu diangkat jadi manajer," ujar Ardhi yang mulai hilang kesabaran.

“Saya? Jadi manajer?”

“Kenapa? Keberatan? Tidak sanggup?”

Benar-benar sikap yang menjengkelkan. Di balik sikap dinginnya ternyata Ardhi cukup cerewet.

“Bukan, Pak.”

Ardhi berdecak. “Sudah sana kamu keluar. Waktu saya terbuang sia-sia hanya untuk membujuk kamu join member golf.”

“Saya akan mendaftar hari ini, Pak. Saya janji,” ujar laki-laki muda itu dengan membungkukkan badan tanda hormat lalu keluar ruangan dengan langkah tegap percaya diri.

Namanya Hasan Rukmana. Satu-satunya pegawai yang menjadi favoritnya karena semangat juang yang tinggi, juga keteguhan dan ketangkasannya dalam bekerja.

“Adi, kamu bantu Hasan untuk beradaptasi. Sebelum rapat direksi dua bulan lagi, saya mau Hasan sudah siap untuk dicalonkan sebagai Manajer Pemasaran.”

Adi mengangguk dengan sopan. Tanpa perlu diperintah dua kali, ia akan langsung melaksanakan titah atasannya.

Ardhi kembali melihat bursa saham dan memikirkan strategi yang sekiranya bisa mendongkrak bisnisnya dan menjadi yang pertama. Rasanya ia sungguh geram terus berada di bawah Grup Sinuaji.

"Maaf, Pak Ardhi. Ibu Sera baru saja mengabari saya kalau beliau pergi untuk ikut kursus merangkai bunga," kata Adi.

Ardhi melirik sekilas ke arah Adi yang tadinya sudah keluar ruangannya itu kini kembali masuk.

"Biarkan saja."

"Apa saya perlu mengirimkan pengawal untuk memantau Ibu Sera?" tanya Adi kemudian.

Ardhi berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak perlu. Bilang saja kalau dia harus mengabari setelah selesai kursus."

"Mengabari Bapak?" tanya Adi.

"Mengabari kamu, Adi," geram Ardhi. "Saya mungkin akan agak lama di rumah orang tua saya nanti."

"Baik, Pak."

Ardhi mengangguk. "Ya sudah, kamu boleh keluar."

"Meeting akan berlangsung pukul sepuluh ya, Pak. Masih ada tiga puluh menit untuk bersiap-siap. Bapak butuh kopi?" tawar Adi sebelum beranjak. Pasalnya hari ini Ardhi sama sekali tidak meminta Adi untuk menyiapkan kopi.

"Saya sudah minum kopi di rumah," jawab Ardhi cuek.

Adi mengangguk paham dan keluar ruangan dengan senyum terkulum. Atasannya yang terkenal dingin itu tidak sadar kalau dia baru saja mengatakan 'rumah' untuk menyebut apartemennya yang ditempati Sera. Sebuah kemajuan yang membuat Adi sedikit lega karena atasannya memang tidak seburuk itu. Laki-laki berhati dingin itu hanya sedang membentengi diri agar tidak kembali terluka karena seorang wanita. Adi berharap kehadiran Sera di hidup Ardhi akan terus memberikan pengaruh yang positif.

Adi duduk di kursi kerjanya lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Ia mengetikkan balasan untuk Sera yang tadi sempat mengiriminya pesan.

Adi Kurniaawan

Bu Sera, tolong kabari ke mana saja Anda akan singgah hari ini.

Jawaban dari Sera datang dua menit kemudian.

Ibu Sera

Ardhi bilang apa?

Adi Kurniawan

Beliau mengizinkan Ibu pergi asal tetap mengabari saya

Ibu Sera

Baiklah. Terima kasih, Adi.

Adi Kurniawan

Sama-sama, Bu.

Kalau butuh jemputan saya bisa mengirim supir untuk Ibu.

Ibu Sera

Nggak perlu. Saya lebih suka naik taksi.

Adi Kurniawan

Baik Bu.

Dan begitulah akhir dari percakapan singkat antara Adi dan Sera melalui pesan. Adi sudah menyelesaikan titah Ardhi dengan baik.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jess
berarti ardhi nanti juga bisa kena stroke
goodnovel comment avatar
Mikayla Azahra
Suka kebalik nyebut nama terus aku nya hehe . Adi sama ardhi .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status