Share

Rumah Tangga

Sera bangun pukul lima. Tidak lebih dari dua jam ia terlelap. Pagi yang tidak seperti biasanya karena ada satu makhluk asing yang berbagi ranjang yang sama dengannya semalam. Pertama kalinya tidur di atas ranjang yang sama dengan Ardhi membuatnya resah dan gelisah.

 

Logikanya meneriakkan protes, namun sudut hatinya juga tidak tinggal diam. Menurut si sudut hati, hal ini wajar karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah di mata agama. Logikanya berteriak sebaliknya. Tahu bahwa mereka bukan pasangan suami-istri yang normal layaknya pasangan di luar sana. Sera tidak tahu mana yang normal untuk hubungan yang terjalin dengan Ardhi saat ini.

Di dalam kamar mandi, Sera mengguyur tubuh dari ujung kepala dengan air dingin dari shower. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil. Sedingin apa pun cuaca di pagi hari, ia tidak pernah mau mandi dengan air hangat dan ini berlangsung sampai ia dewasa.

Wanita itu tidak banyak menghabiskan watu di kamar mandi. Keluar dengan mengenakan jubah mandi dan mengeringkan rambut panjangnya menggunakan handuk. Matanya langsung tertuju pada makhluk ‘asing’ yang posisi tidurnya menjadi tengkurap dengan kedua tangan tersimpan di bawah bantal.

 

Sera mendekat dengan gerakan pelan, menaikkan selimut yang melorot hingga memperlihatkan bagian punggung Ardhi yang tanpa baju−ada bekas cakaran melintang yang memerah, Sera tahu betul itu ulahnya semalam, bokser yang menggantung dan sedikit tersingkap menampilkan paha yang kuat dan atletis hingga memperlihatkan betis yang berbulu cukup lebat. Sera seperti diingatkan saat kaki yang kekar itu bergesekan dengan kakinya yang ramping. Wanita itu hampir mengumpat saat merasakan kedutan aneh menjalar di antara kedua pahanya.

Setelah menaikkan selimut hingga sebatas leher, Sera keluar dari kamar. Mencari tempat terjauh dari Ardhi untuk mengamankan kewarasan yang menipis. Dalam hati ia berkali-kali menggumankan mantra yang kurang lebih berbunyi seperti ini, “Ingat Sera, kamu cuma dijadikan budak seks oleh laki-laki itu. Tidak boleh pakai perasaan.”

Sera menuju pantry, menyeduh teh dari bunga chamomile kering yang dibelikan oleh Adi atas pesanannya. Wanita itu juga memesan bunga rosella, krisan, dan bunga telang kering. Juga teh hijau dan teh hitam yang popular di kalangan masyarakat. Ia mulai suka minum teh sejak ia memutuskan untuk berhenti minum kopi. Ia sempat keracunan kafein karena minum kopi sampai bergelas-gelas dalam sehari hingga asam lambungnya naik dan harus dilarikan ke rumah sakit. Itu saat ia semester enam yang artinya sudah lebih dari setahun yang lalu.

Setengah enam lewat sedikit, Sera membuka kulkas−yang tadi sebelum menyeduh the sudah sempat ia buaka dan tutup kembali hanya untuk mengecek untuk menyiapkan sarapan Ardhi. Semalam, setelah Ardhi lelap, Sera menyempatkan untuk membuka ponsel dan menghubungi Adi. Menanyakan perihal sarapan Ardhi.

Sera mengeluarkan bahan-bahan diantaranya seplastik roti tawar yang baru berkurang dua lembar−Sera mengambil empat lembar−lalu mengeluarkan wortel, kubis, bawang bombay, dua lembar kornet dan keju cheddar serta bahan-bahan lain yang ia perlukan untuk membuat sandwich. Ya, sarapan sehari-hari Ardhi adalah sandwich dan kopi. Begitu kata Adi.

Sementara Sera membuatkan sarapan untuk Ardhi, di kamar yang mereka tiduri semalam, laki-laki itu tengah menggeliat malas sesaat setelah mendengar suara alarm yang berbunyi nyaring. Memekakkan telinganya hingga mencipta gerutuan kesal dari bibir Ardhi.

Butuh beberapa waktu untuk Ardhi hingga matanya terbuka. Menyipit saat cahaya dari sisi kanannya menabrak wajah. Gorden berwarna putih yang menutupi pintu menuju balkon sudah terbuka. Sesaat kemudian kepalanya tertengok ke kanan dan kiri, meniti ruangan yang bukan tempat di mana ia biasa terbangun.

Desahan kecil keluar dari bibirnya saat teringat semalam ia memutuskan untuk tinggal dan tidur di satu kamar yang sama dengan Sera−wanita yang telah menjadi istrinya sejak tiga minggu yang lalu−untuk pertama kalinya.

Sisi kirinya sudah kosong. Tangannya otomatis tergerak untuk meraba lapisan sprei di sana. Sudah dingin. Itu artinya Sera sudah terbangun sejak lama, atau mungkin diam-diam pindah ke kamar sebelah saat ia sudah lelap. Ardhi tidak terlalu memusingkan itu dan memilih langung turun dari ranjang untuk segera mandi.

Ia keluar dari kamar mandi−tidak lebih dari lima belas menit−dengan handuk putih terlilit di bagian pinggang, menutupi tubuh bagian bawahnya hingga sebatas dengkul, dan mendapati Sera sedang berdiri membelakanginya. Menata pakaian kerja miliknya di atas ranjang yang sudah rapi.

“Adi mengantarkan pakaianmu tadi,” ucap Sera.

 

Wanita itu berbalik setelah mendengar suara pintu yang terbuka. Tatapannya tertuju langsung pada tubuh Ardhi yang masih basah. Terlihat seperti bintang iklan sabun. Juga tidak melewatkan gerakan seksi−Sera pasti sudah gila−saat Ardhi mengusap tengkuk dengan handuk kecil.

“Saya sudah siapkan sarapan,” kata Sera lagi dengan gugup. Saat ini ia sedang mati-matian menahan diri untuk tidak menelan ludah. Pertahanan dirinya sungguh lemah. Ia merapal mantra dalam hati agar tidak goyah.

Ardhi mengangguk. Berjalan mendekat ke arah Sera yang berdiri membatu seperti patung. “Kamu mau menunggui saya pakai baju?” tanyanya dengan melempar tatapan aneh kea rah Sera.

Yang ditatap tidak kunjung berkedip. Jiwanya seperti tidak ada di tempat.

“Sera, saya tanya kamu mau menunggui saya pakai baju?” ulang Ardhi dengam geram.

“Hah?”

Hanya respons singkat itu yang keluar dari bibir Sera. Benar-benar menguji kesabaran Ardhi padahal hari masih terlampau pagi.

“Saya mau pakai baju. Kamu mau tetap di sini karena ingin melihat saya mengenakan baju?” Ardhi mengulangi dengan intonasi yang lebih keras dengan penekanan kata di mana-mana.

Sera seketika tersadar dan menggeleng cepat. Wajahnya mungkin sudah semerah tomat karena malu. “Saya keluar,” ujar Sera dan kabur dari kamar secepat angin berhembus.

***

Pukul setengah tujuh tepat saat Ardhi menampakkan diri di pantry yang menyatu dengan dapur, dalam setelan kemeja slim-fit pas badan berwarna putih bersih, celana abu-abu yang tersetrika halus dan klimis. Jatuh dengan begitu tepat membungkus kaki panjang nna kekar milik Ardhi. Jas berwarna senada dengan celananya dan dasi berwarna hitam bergaris tersampir di lengan kiri. Memperlihatkan jam tangan mahal yang menyembul dari lengan bajunya yang sudah dikancingkan. Tangan kanannya menenteng ponsel. Sibuk membaca sesuatu dari layar enam inch itu. Definisi kesempurnaan yang tergambar jelas di kepala Sera.

Sera menemani Ardhi memakan sarapannya dalam diam. Lebih tepatnya tidak tahu harus mengobrolkan masalah apa. Sudah berapa kali ia bilang, mereka bukan pasangan suami-istri yang normal. Dan yang ia tahu, obrolan pagi yang manis penuh cinta hanya ada pada pernikahan normal. Benar, ia dan Ardhi tidak ada di posisi itu. Jadi, Sera memilih diam. Ardhi pun, tidak ada tanda-tanda mau membuka percakapan. Berminat sedikit pun tidak.

Sandwich empat potong yang berbentuk segitu itu berkurang dua. Dihabiskan oleh Ardhi hanya dalam beberapa menit. Kemudian menandaskan kopi hitam buatan Sera yang terasa pas di lidahnya saat ia cecap.

“Bantu saya pasang dasi,” ucap Ardhi.

Sera mengikuti gerakan mata Ardhi yang menatap dasi yang tersampir di punggung kursi yang tidak ditempati.

“Kenapa? Tidak bisa memasang dasi?” ejek Ardhi begitu menemukan ekspresi kebingungan di wajah Sera.

“Oh, nggak. Saya bisa, kok.” Sera tersenyum tipis. Beranjak dari duduknya untuk mengambil dasi itu dan memasangkannya di balik kerah kemeja Ardhi. Ia bisa memasang dasi sejak SMP. Diajari oleh ibunya. Katanya ia harus bisa melakukan itu agar suatu saat nanti bisa membantu sang ayah−yang sudah diajarkan cara memasang dasi namun tak kunjung bisa.

Berbeda dengan saat ia membantu memasangkan dasi untuk sang ayah, tangan Sera gemetaran. Seperti ada yang menabuh genderang di jantungnya hingga berdegup kencang. Sera membenci perasaan ini ketika tubuhnya bereaksi begitu mengerikan setiap kali berada di sekitar Ardhi.

Sera berhasil mengikatkan dasi dengan rapi setelah beberapa kali gagal dengan hasl yang tidak bagus. Meski begitu Ardhi tidak protes. Laki-laki itu dengan sabra menunggu Sera menyelesaikan pekerjaannya.

“Kamu harus mulai membiasakan diri mengikat dasi.” Ucapan itu bernada perintah namun berhasil menimbulkan gejolak aneh yang lagi-lagi harus segera Sera tepis agar tidak mengendap dan mengembang menjadi sesuatu yang berbahaya.

“Saya mau ikut kursus boleh?”

“Kursus apa?”

“Merangkai bunga. Saya bosan terkurung di sini.”

“Tidak ada yang mengurung dan menahanmu di sini.”

“Jadi, saya boleh ikut kursus?”

“Terserah dirimu. Itu bukan menjadi urusanku selama kamu tidak melupakan tugasmu.”

Tugasnya sebagai pemuas seks, maksud laki-laki itu? Sera tersenyum getir. Hanya sesaat sebelum menghapus senyum itu dari wajahnya dan menampilkan wajah datar. Tidak hanya Ardhi yang bisa mengklaim wajah sedatat tembok. Dirinya juga bisa. “Kamu tenang saja. Yang kamu butuhkan cuma badan saya yang pasrah di bawah kamu setiap kamu minta. Iya, saya tahu.”

Rahang Ardhi mengeras. Bayang wajahnya menggelap. Menghapus semua kelunakan yang sempat terpatri di sana. “Apa maksudmu berkata seperti itu?”

Sera ingin sekali menjawab, “Memangnya apa lagi? Saya di sini memang hanya untuk memuaskanmu, bukan?” Namun yang keluar dari bibirnya hanyalah, “Tidak ada. Kamu berangkat saja. Sudah hamper jam tujuh. Adi sudah menunggu di parkiran.”

Ardhi langsung berbalik meninggalkan Sera setelah menarik jas dan mengenakannya dengan cepat. Sera sekali lagi tidak melewatkan adegan yang tanpa cacar itu dengan bibir yang hamper menganga. Cepat sekali perubahan emosi dalam dirinya setiap kali menyangkut tentang Ardhi, dan juga tentang sikap laki-laki itu terhadapnya.

Normalnya, pasangan suami istri yang akan berpisah di pagi hari mereka akan berpamitan dengan mesra. Sang istri membawakan jas dan tas kerja hingga dpan pintu saat suami sedang mengenakan kaus kaki dan sepatu. Lalu berlanjut, entah itu berciuman di bibir, memberikan kecupan ringan di pipi, atau sang istri mencium punggung tangan suami. Namun, sekali lagi, Ardhi dan Sera bukan pasangan suami-istri yang normal. Boro-boro berciuman, sekadar berpamitan pun tidak.

Ardhi pergi. Seperti hari-hari sebelumnya. Meninggalkan pintu berdebam tanpa menatap Sera sama sekali.

 

to be continued.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jessica Sims
kok kyk film fifty shade of grey ya? apa biru dr film itu?
goodnovel comment avatar
Achikandry
histeris dan mengharukan
goodnovel comment avatar
Syam Anugrah Iman
its no bad....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status