Share

Tingkah Aneh Ardhi

Menjadi seorang istri di saat umurnya bahkan belum menginjak usia dua puluh tiga tahun jelas tidak pernah terlintas dalam benak Sera. Ia sudah merancang masa depan dengan baik. Setelah lulus kuliah ia akan melamar kerja di tempat yang direkomendasikan oleh dosen pembimbingnya. Rencana berumah tangga jelas belum ada di agendanya untuk lima tahun ke depan.

Namun, sayangnya bayangan itu buyar seketika karena hidup Sera berubah sekejap hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari sebulan.

Bulan lalu, ia masih bisa memakan masakan ibunya yang paling juara. Bulan lalu, ia masih bisa menikmati waktu dengan ayahnya, menemaninya menonton tayangan sepak bola di tengah malam, jalan-jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan, makan bubur ayam di pinggir jalan, berbelanja di supermarket dengan membawa daftar yang telah dituliskan oleh ibunya, sungguh … terlalu banyak waktu yang ia habiskan dengan ayahnya. Bulan lalu, ia bisa keluar rumah dengan teman-temannya tanpa beban, pergi ke mall, nonton film, nongkrong di warung kopi yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.

Dan hari ini, terhitung dua puluh satu hari setelah kepergian orang tuanya dari dunia, Sera berada di sebuah kamar di unit apartemen mewah, sedang melayani suaminya yang lagi-lagi hanya datang saat sedang membutuhkan pelampiasan seks.

You smell so good, baby,” desah Ardhi di telinga Sera. Laki-laki itu sedang bergerak di atas tubuh Sera yang bergerak seirama, sama bergairahnya.

“Panggil nama saya, Sera," kata Ardhi lagi. Laki-laki itu memacu gerakan yang membuat Sera menggeletar.

Sera menggigit bibir dan menggeleng kecil. Menahan suara-suara seduktif yang kemungkinan akan memancing Ardhi hingga menggila. Waniita itu mengalihkan tatapan ke mana saja selain ke wajah Ardhi yang begitu dekat. Namun, hanya sekejap ia kembali ditarik Ardhi untuk menatapnya. Jemari milik laki-laki di atasnya itu menekan dagunya.

“Jangan mengalihkan tatapan dan jangan menggigit bibir kamu. Saya yang punya kuasa atas bibir kamu. Saya nggak suka milik saya ini luka.” Jemari Ardhi membelai bibir Sera yang merah dan bengkak, bekas ciuman kasarnya. Laki-laki itu masih bergerak dengan ritme yang pelan. Memastikan Sera sudah sepenuhnya nyaman dan terbiasa dengan dirinya.

Sera melepas gigitan pada bibir bawahnya. Bersamaan dengan jepitan jari-jari panjang milik Ardhi pada putingnya yang mencuat kaku, Sera meloloskan desahan. Desahan lirih yang disukai Ardhi sejak pertama kali mendengar itu keluar dari bibir Sera.

“Panggil nama saya, Sera,” perintah Ardhi lagi. Ia mempercepat gerakan masih sambil memainkan payudara Sera yang menjadi pemandangan indah untuknya.

Sekali lagi Sera menggeleng. Wajahnya memerah karena malu dan desakan gairah.

Satu kali gelengan makan Ardhi akan mempercepat gerakan. Membuat Sera semakin menggila.

C’mon, Sera.”

Lagi, Sera menggeleng gelisah. Bukan karena penolakan. Namun, karena desakan kuat dari tubuhnya yang mendamba tubuh Ardhi di atasnya. Hingga akhirnya Sera mendesah kuat. Tangannya berpegangan pada lengan liat Ardhi yang berwarna cokelat gelap terbakar matahari. Sebelah tangannya yang lain mencengkeram sprei hingga kusut. Rasanya terlalu nikmat hingga ia tidak bisa lagi menahan teriakan. Meneriakkan nama Ardhi berkali-kali, disusul seringai dan erangan dari bibir Ardhi yang juga meneriakkan nama Sera.

Oh my God,” erang Sera. Sensasi yang berbeda dengan saat pertama ia berhubungan badan dengan Ardhi. Malam itu, di samping kenikmatan yang ia rasakan, ia pun harus menahan sakit. Malam ini, hanya nikmat dan nikmat yang menguasai pikirannya. “Ardhi!” desah Sera lagi. Wanita itu berkali-kali melenguh. 

Kepala Sera lesak menekan bantal saat wanita itu membusungkan dada. Ia hampir menuju klimaks dan mulutnya tanpa sadar meminta Ardhi untuk bergerak lebih cepat. Ardhi menyeringai dan menuruti kemauan Sera tanpa banyak protes. Mengantarkan Sera menuju awang-awang. Tubuh Sera bergetar hebat saat mencapai puncak kenikmatan.

Ardhi menurunkan tempo gerakannya. Menikmati berbagai ekspresi di wajah Sera yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Ardhi masih bergerak pelan hingga Sera kembali menapak bumi.

Tanpa perlu minta izin, Ardhi kembali bergerak. Berbeda dengan yang tadi, Ardhi bergerak dengan cepat dan brutal. Ia mencari pegangan dengan menjatuhkan telapak tangan di atas payudara milik Sera yang putingnya masih menegang. Sebelah tangannya menahan pinggul Sera, menahan agar tetap mengetat, tidak menjauh darinya. Sera pasrah, membiarkan lenguhannya kembali lolos.

Disela-sela erangan dan napas yang berkejaran, Ardhi mengumpat berkali-kali. Ungkapan kenikmatan yang tiada tara saat ia menuju puncak pelepasan. Ardhi menyentak dengan begitu kuat hingga Sera harus berpegangan pada kepala ranjang agar tidak terserak.

Ardhi ambruk menimpa tubuh Sera. Melesakkan kepala di ceruk leher Sera yang penuh bekas merah yang ia ciptakan dan warnanya yang berubah pekat. Deru napasnya yang tidak teratur menerpa leher wanita itu, mengalirkan desiran halus di dada yang langsung Sera sisihkan. Rasa itu tidak boleh ada. Setidaknya sampai Ardhi benar-benar mau menganggapnya seorang istri yang tidak perlu disembunyikan keberadaannya dari dunia. Dan Sera amat sangat tahu bahwa momen itu kemungkinan tidak akan pernah ada.

Bermenit-menit mereka berada di posisi itu hingga Ardhi melepaskan diri. Berguling ke sisi kanan Sera. “Kamu masih minum pil, kan?” tanya Ardhi sambil meraih tisu yang berada di atas nakas. Menyeka sisa-sisa pergumulan mereka berdua dengan telaten, kemudian melemparkan gumpalan tisu yang ia bentuk bola ke tempat sampah.

Sera termangu pada posisi telentang dengan kepala menengadah ke langit-langit. “Ya,” jawabnya dengan suara serak. Tentu saja Ardhi akan menanyakan itu setiap mereka selesai melakukan seks. Benar, seks. Hanya seks. Bukan bercinta.

Ardhi turun dari ranjang. Meraih celana bokser yang terlempar di dekat meja rias. Mengenakannya dalam diam lalu kembali ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Sera yang sudah menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.

Sera mengernyit. Merasa aneh saat Ardhi ikut menyimpan tubuhnya di balik selimut.

“Kamu mau menginap?” tanya Sera sangsi. 

Ardhi yang saat itu dalam posisi telentang dengan kedua lengan di bawah kepala, menelengkan kepala hingga matanya menangkap ekspresi bingung di wajah Sera. Bibirnya tertarik ke atas. Seringaian sinis terbit. “Menginap? Kamu lupa kalau ini apartemen saya?”

“Jadi, kamu mau tidur di sini?” ralat Sera langsung.

“Kenapa? Kamu keberatan?”

“Bukan begitu.”

“Lalu apa?”

Sera tidak menjawab. Ia tidak menemukan jawaban yang tepat. Ia hanya sedang merasa aneh karena tingkah aneh laki-laki di sampingnya itu.

Decakan kecil lolos dari bibir Ardhi. “Tidur, Sera. Ini sudah jam dua pagi. Saya butuh bangun jam enam dan saya mau sudah ada sarapan sebelum jam tujuh.”

“Kamu juga mau sarapan di sini?”

Lagi, Ardhi menyeringai tipis. “Kenapa kamu seolah-olah tidak suka saya ada di sini? Sebenci itukah kamu sama saya?"

“Karena biasanya kamu yang kelihatan enggan berada di sekitar saya,” balas Sera dengan berani saat melihat wajah Ardhi yang melunak, "kamu juga kelihatannya membenci saya."

“Dasar wanita. Sukanya menyimpulkan sendiri," gumam Ardhi. Sama sekali tidak menjawab kebingungan Sera. Ardhi berbalik memunggungi Sera sebelum kembali berkata, "Saya tidur. Kamu jangan berisik dan banyak gerak. Saya tidak suka aktivitas tidur saya diganggu.”

“Saya bisa pindah kalau gitu," ucap Sera.

Sera sudah bergerak turun saat Ardhi berbalik dan menarik lengan wanita itu hingga terduduk kembali di atas ranjang. “Siapa yang menyuruhmu pindah? Apa ada kata-kata saya yang mengandung kata-kata agar kamu pindah?” protes Ardhi kesal.

Sera agak kaget mendengar nada suara Ardhi yang bertambah satu oktaf. Laki-laki di depannya itu benar-benar perlu belajar cara mengendalikan emosi. “Nggak ada. Tapi saya nggak yakin saya anteng kalau tidur. Jadi lebih baik saya pindah biar kamu bisa tidur nyenyak.”

“Don’t think too much and just sleep here!” titah Ardhi. Menajamkan tatapan mata meski kelopaknya sudah memberat.

“Saya-”

“Berhenti membantah, Sera! Saya paling tidak suka dibantah!” sembur Ardhi. Laki-laki itu menarik lengan Sera hingga wanita itu jatuh terbaring pada posisi aneh.

Fine. Kita tidur sekarang dan besok pagi kamu nggak boleh protes karena ulah saya saat tidur," terang Sera jengah.

Ardhi mendengkus. Membiarkan Sera kembali turun untuk mengenakan piama. Setelah wanita itu berbaring pada posisi telentang, Ardhi kembali memunggungi wanita itu. Tidak sampai lima menit ia sudah jatuh terlelap.

to be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status