Sera bangun pukul lima. Tidak lebih dari dua jam ia terlelap. Pagi yang tidak seperti biasanya karena ada satu makhluk asing yang berbagi ranjang yang sama dengannya semalam. Pertama kalinya tidur di atas ranjang yang sama dengan Ardhi membuatnya resah dan gelisah. Logikanya meneriakkan protes, namun sudut hatinya juga tidak tinggal diam. Menurut si sudut hati, hal ini wajar karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah di mata agama. Logikanya berteriak sebaliknya. Tahu bahwa mereka bukan pasangan suami-istri yang normal layaknya pasangan di luar sana. Sera tidak tahu mana yang normal untuk hubungan yang terjalin dengan Ardhi saat ini. Di dalam kamar mandi, Sera mengguyur tubuh dari ujung kepala dengan air dingin dari shower. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil. Sedingin apa pun cuaca di pagi hari, ia tidak pernah mau mandi dengan air hangat dan ini berlangsung sampai ia dewasa.
Ardhi adalah sosok laki-laki yang sangat passionate dalam bekerja. Disiplin adalah motto hidupnya. Dan ia mewajibkan itu menjadi motto pegawai di kantornya. Sekali melanggar kedislipinan yang laki-laki itu terapkan, bisa dipastikan karirnya akan langsung tamat saat itu juga. Karena kedislipinan inilah yang semakin memajukan perusahaan. Para karyawan sudah terbiasa dengan ritme kerja Ardhi Prasetyo meski laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu baru menduduki posisinya sebagai CEO sejak setahun yang lalu, menggantikan Randi Prasetyo, sang ayah yang terkena stroke dan sampai kini hanya bisa beraktivitas seperti sedia kala. Separuh tubuhnya lumpuh hingga ke mana-mana harus duduk di atas kursi roda selama sisa hidupnya.Kedatangan Ardhi di kantor pusat yang berada di daerah Sudirman−pada sebuah gedung tinggi di lantai 30−disambut para pegawai yang berjumlah enam belas−delapan pegawai laki-laki dan delapan pegaw
Pulang ke rumah itu artinya Ardhi siap mendengarkan omelan sang ibu yang katanya rindu kepada anaknya yang jarang pulang. Padahal hampir setiap dua minggu sekali Ardhi menyempatkan untuk pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu yang katanya kesepian.“Boy! I miss you soooo much!”Itu adalah teriakan dari seorang wanita berusia hampir enam puluh tahun. Tampilan wanita itu begitu anggun dan rapi. Tubuh sintalnya terbalut terusan selutut sederhana yang berwarna merah muda. Meski terlihat sederhana, namun semua orang tahu bahwa harga dari baju itu jelas tidak murah. Rambut pendek sebatas bahu yang sebagian sudah memutih itu tertata rapi. Tampilan sederhana tapi berkelas. Itulah definisi yang cocok untuk wanita yang biasa dipanggil Ardhi dengan sebutan Ibu. Mantan aktris terkenal pada zamannya. Selia Prasetyo, istri tercinta ayahnya.“I miss you too, Ibu!” Ardhi
Selia menatap Ardhi dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Keluarga Tarendra sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, namun Ardhi dan kedua orang tuanya belum beranjak dari posisi masing-masing.“Ibu dan Ayah kenapa nggak bilang sama saya dulu tentang hal ini?” tanya Ardhi dengan menahan kesal.“Seharusnya kamu sudah paham, Ardhi. Dua bulan lagi rapat direksi. Kamu sudah harus bertunagan sebelum itu kalau tidak mau menyerahkan posisimu sebagai CEO," ujar Selia dengan gusar.Ardhi tak gentar dan menatap ibunya tanpa berkedip. “Tidak akan ada pertunangan, Bu. Saya tidak berniat menikahi Thalia.”“Cepat atau lambat kamu tetap akan menikah. Dengan Thalia atau bukan," tegas Selia. Wanita paruh baya itu pun menatap anak semata wayangnya dengan ketegasan yang nyata.Ardhi menautkan jari-jemarinya. "Saya tahu, Bu. Kalau sudah saatnya menikah, saya akan
Sera tersenyum lebar saat menginjakkan kaki di sebuah rumah minimalis bergaya bohemian bercat cokelat yang di depannya terdapat berbagai tanaman bunga yang amat sangat cantik. Sera bisa mengenali beberapa jenis bunga di sana.Di antaranya ada bunga krisan, mawar dengan berbagai jenis warna, lili, gerbera, carnation, matahari, gardenia, daffodil, dan hydrangea. Sudah seperti toko bunga saja. Sera tersenyum. Terasa sangat menyejukkan mata.Tempat kursus merangkai bunga itu terlihat lengang. Sera membuka pintu dan langsung terdengar lonceng di atasnya.Di ruangan yang cukup lebar itu tertata beberapa baris meja yang di setiap mejanya terdapat bunga-bunga yang sempat Sera lihat di depan. Sudah ada empat orang perempuan yang datang. Sera tersenyum menyapa mereka.“Mau ikut kursus merangkai bunga juga?” tanya perempuan yang mengenakan jilbab berwarna merah muda.“Iya,” jawab
Sera kaget saat masuk ke dalam apartemen dan mendapati Ardhi tertidur di sofa dalam posisi duduk. Laki-laki itu masih mengenakan baju kerja yang sama dengan yang ia kenakan tadi pagi. Bahkan sepatunya tidak dilepas. Benar-benar kebiasaan yang sesungguhnya tidak Sera sukai. Namun, Sera jelas tak punya kuasa untuk meminta Ardhi untuk menuruti wanita itu agar mau melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang tepat berada di dekat pintu masuk. Bisa-bisa Sera malah disembur dengan kata-kata menyakitkan karena laki-laki itu tidak suka diatur.Tidak suka diatur tapi hobinya mengatur orang lain. Yah, begitulah Ardhi.Sera geleng-geleng kepala kecil melihat Ardhi di posisi itu, kemudian memilih untuk langsung ke kamar untuk bersih-bersih badan yang terasa lengket dan gerah karena keringat. Meninggalkan Ardhi yang masih lelap bahkan saar Sera keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah segar.Menuju ke dapur, Sera membuka kul
Keanehan Ardhi masih belum usai. Laki-laki itu mengatakan akan tetap tinggal dan tidur di apartemen lagi. Laki-laki itu bahkan menwarakan untuk makan malam bersama setelah berhubungan seks yang luar biasa sore tadi.Sera bingung bagaimana caranya menolak. Karena sebagian besar hatinya mengaminkan keberadaan Ardhi di apartemen ini adalah jawaban dari Tuhan atas doanya yang mengharapkan pernikahan yang normal. Ya, Sera sedikit merevisi doanya. Tidak lagi mengharapkan pernikahan yang harmonis, namun cukup sebuah pernikahan normal seperti saat ini. Dengan Sera yang duduk berseberangan dengan Ardhi di pantry.Mereka memutuskan makan di pantry karena Sera protes saat Ardhi mengusulkan makan di ruang makan. Ruangan yang masih ada jejak-jejak percintaan, setidaknya di kepala Sera yang makin ternodai.“Mendapat pelajaran apa saja tadi?”“Hah?”“Tadi kamu bilang pergi kurs
“Hasan ke mana?” tanya Ardhi melihat ke sekeliling. Mood-nya menurun drastis ketika ia sampai di kantor dan tidak menemukan keberadaan Hasan padahal sudah hampir pukul setengah sembilan. Jelas saja Ardhi sewot, mobilitas di kantor itu sudah harus aktif sejak pukul delapan dan saat ini sudah lewat dari setengah jam namun batang hidung Hasan belum tampak juga. “Masih di perjalanan, Pak. Kendaraannya sempat mogok,” “Alasan basi. Awas saja, setelah ini saya pecat dia!”Ardhi berdecak malas. Baru kemarin dirinya menggebu karena ingin segera mencalonkan Hasan menjadi Manajer Pemasaran, hari ini rasanya Ardhi ingin membatalkan niatnya itu karena kesal. Waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menunggui anak buahnya itu padahal sudah ia ingatkan kemarin untuk ikut melakukan kunjungan ke mall yang berada di Kelapa Gading. Mall yang resmi dibuka saat Ardhi ditunjuk sebagai CEO menggantikan ayah