Share

Malam Pertama

Berbeda dengan sikapnya yang selalu bertingkah layaknya bajingan, Ardhi memperlakukan Sera dengan sangat berhati-hati saat mereka berhubungan badan untuk pertama kalinya. Saat Sera menunjukkan kesakitan, Ardhi akan berhenti, bertanya pada Sera apakah perempuan itu baik-baik saja.

Sera tidak bisa untuk tidak terenyuh karena tidak menyangka Ardhi akan memperlakukannya dengan sangat lembut seakan tidak mau menyakitinya. Saat Sera tak mampu untuk menahan air mata karena merasa ngilu yang luar biasa di bawah sana pun Ardhi dengan sabar menghapus air matanya.

Perempuan itu bahkan bisa dengan jelas melihat wajah memuja Ardhi saat mereka berdua bergelung dalam gairah yang menyala. Sera merasa seperti sedang dicintai dan dihargai dengan penuh kasih.

Sera merasa hampir gila saat mereka mencapai puncak kenikmatan yang membuat Sera menggeletar. Pelepasan yang sungguh menakjubkan, walaupun harus dibarengi dengan perih yang menggila.

Keduanya saling merengkuh, menormalkan debaran jantung dan deru napas yang berkejaran, lalu saling berebut oksigen yang menipis di antaranya. Ardhi berkali-kali menciumi puncak kepala Sera sembari mengelus lengan telanjang Sera dengan gerakan naik turun.

Mereka berdua bertahan dalam posisi Sera berada di bawah kungkungan Ardhi selama beberapa menit hingga Ardhi melepaskan diri. Menggeser tubuhnya hingga berada di sisi kanan Sera lalu menarik selimut untuk menutupi tujuh telanjang mereka berdua.

Selama beberapa menit mereka hanya saling diam, membiarkan suara jarum jam mengiringi sausana panas yang masih menguar di antara kedua manusia itu. Sera tidak tahu dan tidak bisa menebak apa arti diamnya Ardhi. Sementara Sera, ia diam karena memang tidak tahu apa yang harus ia bicarakan dengan Ardhi. Tidak ada topik yang bisa ia angkat walaupun sejatinya Sera bukanlah orang yang pendiam dan mudah canggung. Namun, berhadapan dengan Ardhi jelas hal yang berbeda. Laki-laki itu memang hangat di atas ranjang, tetapi menilik dari sikap Ardhi setiap berhadapan dengannya jelas membuat Sera kebingungan.

Baru akan terlelap dan mulai masuk ke dalam mimpi, Sera seperti dijatuhkan dari lantai teratas gedung apartemen itu dan langsung kembali pada kenyataan saat Ardhi turun dari ranjang, mengenakan pakaiannya yang berserakah di lantai kamar−pada akhirnya mereka tetap melakukannya di atas ranjang di kamar yang selama seminggu terakhir ini ditiduri oleh Sera−lalu berkata, “Kamu tidur saja. Saya harus pulang.”

Pulang. Kata yang sekarang terasa asing dan menakutkan di telinga Sera. Pada akhirnya dirinya hanyalah tempat singgah sementara bagi Ardhi. Laki-laki itu memiliki rumahnya sendiri untuk pulang dan sudah jelas kalau itu bukanlah dirinya.

“Saya akan ke sini lagi besok malam,” ucap Ardhi tanpa menoleh sama sekali ke arah Sera yang terduduk di atas ranjang dengan selimut membalut tubuh telanjangnya. Laki-laki itu sibuk dengan tangannya yang sedang memasang arloji di pergelangan tangan kirinya.

“Jangan lupa pilnya kamu minum,” perintah Ardhi sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan.

Sera menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya setelah sisa-sisa pergumulan mereka di ranjang dan juga perih di hatinya yang menyesakkan. “Please, jangan besok.”

Ardhi akhirnya menatap Sera dengan tatapan bingung dan kesal. “Kenapa saya nggak boleh ke sini besok? Salah kalau saya datang ke apartemen saya sendiri?”

“Badan saya sakit. Saya nggak bisa melakukannya lagi.”

Laki-laki itu langsung berdecak. “Nggak usah munafik, Sera. Kamu coba ingat-ingat berapa kali kamu meneriakkan nama saya tadi.”

Harga diri Sera seakan hancur berkeping-keping mendengar penuturan Ardhi yang seolah-olah hanya dirinya yang menikmati penyatuan tubuh mereka tadi. Sera sadar, inilah Ardhi yang sesungguhnya. Laki-laki gila yang tidak pernah memedulikan perasaan orang lain.

“Setidaknya kasih saya waktu,” pinta Sera. Menjaga suaranya agar tidak terdengar memelas. Saya bukan budak seks yang bisa kamu peralat sesukanya, lanjut Sera dalan hati.

“Kamu akan baik-baik saja. Nggak usah manja,” tandas Ardhi dengan tatapan tajanm.

Laki-laki itu kemudian berbalik memunggungi Sera dan menghubungi seseorang melalui ponsel.

“Adi, siapkan mobil saya. Saya tunggu di lobi. Lima menit lagi saya turun,” ucap Ardhi kepada asistennya dengan tegas. Sama sekali tidak ada celah untuk dibantah. Tidak peduli sekarang sudah pukul dua dini hari, laki-laki bernama Adi itu harus selalu siap sedia untuk melayani kebutuhan bos besarnya.

Helaan napas yang berat keluar dari bibir Sera saat Ardhi selesai berbicara dengan Adi dan laki-laki langsung meninggalkan kamarnya tanpa pamit. Menoleh sebentar ke arah Sera pun tidak ia lakukan.

Kantuk yang tadi menaungi Sera kini lenyap tak bersisa. Lalu sambil menahan perih ia bergerak dari posisinya, menyingkap selimut lalu berjalan tertatih ke arah lemari untuk mengambil kaus dan langsung mengenakannya tanpa bra. Kaus besarnya itu menutupi hingga setengah pahanya membuat Sera tidak repot untuk mengenakan celana dalam.

Masih dengan tertatih, Sera keluar kamar dan menuju ruang tengah untuk mengambil ponsel lalu berjalan ke arah pantri.

Perempuan itu membuat secangkir cokelat hangat yang belakangan menjadi favoritnya selama tinggal di apartemen itu. Setelah beberapa kali membaca dari beberapa sumber, Sera cukup paham mengapa setiap kali meminum cokelat ia menjadi lebih rileks dan suasana hatinya berangsur membaik. Kandungan-kandungan dalam cokelat itulah yang bisa membangkitkan setitik hormone kebahagiaan dalam tubuhnya. Terkadang tidak sepenuhnya manjur, tetapi setidaknya Sera tidak akan terlalu larut dalam kesedihan karena setiap sesap cokelat yang ia minum selalu membuat Sera menjadi satu tingkat lebih tenang. Itu saja sudah lebih dari cukup untuknya.

Sera tersenyum miris. Ya, setidaknya ia masih cukup waras untuk tetap bisa menjadikan cokelat sebagai hal yang favorit dalam hidupnya.

***

Sera tidak sadar sudah duduk di pantri selama berjam-jam saat ponselnya berbunyi, menandakan waktu subuh sudah datang. Perempuan itu langsung masuk ke dalam kamar dan bergegas untuk segera mandi. Badannya sudah sangat lengket karena malam panas yang membuatnya kehabisan energi dan juga mengeluarkan banyak keringat.

Perempuan itu mengguyur badannya dengan air dari shower yang hangat-hangat kuku. Baru sebentar ia merasakan kenyamanan akan siraman air itu Sera kembali merasakan perih di bagian selangkangan.

Ardhi benar-benar laki-laki gila yang tak berperasaan kalau malam nanti dia akan benar-benar datang dan memaksa Sera untuk mau melakukannya lagi di saat badannya sedang remuk seperti sekarang ini.

“Kamu kuat, Sera! Kamu bisa melewati semua ini,” ucap Sera lirih sembari mengusap mukanya berkali-kali.

Cukup lama Sera menghabiskan waktunya di kamar mandi sebelum akhirnya keluar dengan mengenakan jubah mandi dan handuk yang melilit kepala. Saat melirik ke arah jam yang cukup besar menempel di dinding, Sera langsung mendesah. Masih pukul lima pagi, tetapi Sera sudah bingung mau melakukan apa hari ini.

Saat tangannya sibuk berkutat dengan hairdryer, Sera teringat akan pesan dari Edo kemarin siang. Seketika Sera langsung mematikan hairdryer dan meraih ponselnya.

Dalam kegamangan, Sera mengetikkan balasan singkat. Kemungkinan Sera akan menyesal setelah ini, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia harus mulai menjaga sikap, biar bagaimanapun keadaan rumah tangganya sekarang, ia adalah perempuan yang sudah bersuami. Walaupun nyatanya posisi itu hanyalah hasil dari sebuah jebakan yang dibuat oleh orang tuanya sendiri.

Edo

Kamu pindah ke mana, Sera?

Kenapa mendadak?

Sera menatap pesan yang datang dari Edo beberapa menit setelah balasan darinya terkirim dengan sedih. Ia bahkan tidak bisa jujur mengenai keadaannya sekarang. Ia terlalu malu dan rendah diri. Walaupun Edo tidak akan memandangnya dengan sebelah mata, Sera tetap tidak kuasa bercerita tentang hal yang menimpanya setelah kepargian orang tuanya. Sera tidak ingin dikasihani. Sudah cukup ia mendapat tatapan-tatapan itu saat orang tuanya dikuburkan. Ia tidak ingin lagi melihat tatapan itu, terlebih dari Edo.

Sera

Maaf, untuk saat ini aku nggak bisa bilang

Edo

Aku akan tunggu kamu, Sera

Tolong kasih kita kesempatan

“Aku suka kamu, Do, tapi sekarang aku sudah bersuami,” lirih Sera sembari menatap foto Edo di layar ponselnya. “Aku nggak tahu bagaimana nasibku setelah ini. Kalau Ardhi sudah bosan denganku, kemungkinan dia akan membuangku. Dan aku sudah nggak punya muka lagi untuk ketemu kamu.”

Sera

Jangan menungguku, Do. Please

Sera baru akan kembali mengetikkan sesuatu saat tampilan layarnya berganti menunjukkan adanya panggilan masuk dari Edo. Ia menimang beberapa saat sebelum mengangkat panggilan itu yang langsung disambut oleh suara Edo yang terdengar frustrasi.

“Kamu kenapa tiba-tiba berubah?”

“Maaf, Do.”

“Maaf untuk apa? Karena udah ninggalin aku setelah kamu bilang kamu mau jadi pacarku saat wisuda nanti? Atau karena kebohongan kamu yang bilang kalau kamu nggak punya perasaan yang sama?”

“Aku minta maaf untuk keduanya.”

Cut that bullshit, Ra! You already promised me!” teriak Edo dari ujung telepon. Sera cukup terkejut saat mendengar Edo mengumpat, karena sejauh yang Sera tahu laki-laki itu memiliki kepribadian yang santun dan lembut. Sera merasa bersalah karena Edo menjadi seperti ini karenanya. Ia juga bisa ikut merasakan kefrustrasian Edo di seberang sana. Namun, sayangnya ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kenapa, Sera?” tanya Edo dengan putus asa.

“Aku mau fokus dengan diriku sendiri untuk saat ini.”

“Kamu bisa fokus ke diri kamu sendiri tanpa perlu membuang aku. Kita lewati sama-sama, please.” Edo memohon dengan suara yang terdengar putus asa, membuat Sera sama hancurnya.

“Aku nggak bisa, Do.”

“Kamu kejam, Sera.”

“Aku tahu. Aku minta maaf,” ujar Sera sembari menahan air mata. Edo adalah laki-laki yang begitu baik dan tulus. Melepaskan Edo artinya membuang seluruh kepercayaan yang sudah laki-laki itu berikan dan akan sulit untuk membuatnya kembali lagi nantinya.

“Kalau kamu segitu menyesalnya udah nyakitin aku, kamu seharusnya nggak ngelakuin itu.”

Benar. Seharusnya Sera tidak melakukan itu dan mempertahankan Edo di sisinya. Tetapi jelas tidak mungkin karena itu sama saja mengibarkan bendera perang terhadap Ardhi Prasetyo. Tidak hanya dirinya yang akan semakin hancur, tetapi Edo juga akan merasakan kehancuran itu karena Sera tahu betul bahwa Ardhi tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Sera tentu tidak akan mampu bertahan kalau ia harus melibatkan Edo juga dalam masalahnya.

Kalau bisa memilih, tentu ia tidak ingin berada di sini, terkurung dalam ruangan yang menggerogoti jiwanya secara perlahan. Kalau bisa ia ingin mengatakan semuanya kepada Edo, tetapi ia jelas tidak bisa. Ia tidak ingin menjadi orang yang egois yang menahan Edo dalam hidupnya yang sudah kacau. Walaupun itu artinya ia harus menjauhkan Edo dari hidupnya.

to be continued.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Indra Fatiria
sedihhhh banget
goodnovel comment avatar
Achikandry
mantap dan terharu
goodnovel comment avatar
Kagura
tubuh bukan tujuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status