Satu minggu berlalu sejak Ardhi untuk pertama kalinya bertandang dan yang Sera lakukan hanyalah berdiam diri di apartemen. Menyiksa diri hanya dengan makan buah-buahan yang tersedia di kulkas. Ia tidak nafsu makan sama sekali. Setiap kali mencoba memasukkan nasi, ia akan langsung muntah. Dan itu cukup membuatnya tersiksa. Ditambah dengan kepala yang berdenyut nyeri membuatnya semakin malas untuk berbuat sesuatu.
Namun, pada akhirnya ia memaksakan diri untuk tetap makan dan menguatkan diri. Ia tidak akan membiarkan dirinya tumbang hanya karena seorang iblis tak berperasaan seperti Ardhi.
Sera keluar dari apartemen dan menuju sebuah kedai kopi di pojok kota yang biasa ia datangi selama ia menyelesaikan skripsi. Waktu menunjukkan pukul dua siang, dan kedai cukup lengang. Hanya ada beberapa orang yang menempati kursi-kursi kayu di dalam sana. Setelah memesan, Sera memilih untuk naik ke rooftop dan duduk di kursi paling ujung yang dekat dengan batas pagar yang terbuat dari kaca bening.
Lalu lintas kota yang padat langsung memenuhi mata Sera disertai suara bising klakson dan kendaraan yang lalu lalang. Isi kepalanya lagi-lagi mengingat kejadian malam bersama Ardhi di apartemen yang masih sering membuat Sera merinding. Sensasi aneh di tubuhnya seperti masih lekat menempel di ingatan dan Sera akan semakin dibuat jijik setelahnya.
Sera menghela napas berat.
Apa yang akan terjadi setelah ini?
Tidak ada kabar apa pun setelah malam itu, bahkan Adi juga tidak menghubunginya sama sekali. Seharusnya Sera merasa tenang karena itu artinya ia masih bisa mengulur dan mempersiapkan diri. Ya, mempersiapkan diri untuk masuk ke jurang.
Sera tersenyum kecut. Malam itu, setelah kalimat-kalimat menyakitkan terlontar dari bibir Ardhi, laki-laki itu langsung pergi tanpa menoleh sama sekali. Sera cukup lega karena ia tidak dipaksa malam itu juga untuk melayani Ardhi dan berhubungan badan dengan laki-laki itu. Namun, tetap saja, hari itu cepat atau lambat akan datang.
“Silakan, Mbak,” ucap seorang pelayan laki-laki dengan senyum ramah di bibir. Laki-laki itu mengantarkan segelas cappuchino dingin dan sepotong blackforest yang tadi Sera pesan.
“Terima kasih, Mas,” balas Sera disertai senyum di bibir.
Laki-laki itu melebarkan senyum dan berlalu pergi.
Setelah kepergian pelayan itu, ponsel miliknya berbunyi menampilkan pesan grup dan juga dari beberapa teman yang mengungkapkan belas sungkawa atas kepergian orang tua Sera.
Satu pesan yang menarik perhatiannya adalah dari salah satu kakak tingkatnya di kampus yang mendapat jadwal sidang skripsi yang sama dengan dirinya. Laki-laki bernama Edo itu mengirim pesan singkat dan mengajaknya untuk bertemu.
Memang beberapa bulan terakhir ini mereka berdua sudah jarang bertemu di luar kampus karena kesibukan masing-masing. Terakhir kalinya adalah saat Sera sidang skripsi. Sekitar empat bulan yang lalu.
Sera ingin mengabaikan pesan itu, tetapi juga tergelitik untuk menyanggupi ajakan Edo. Toh, dia sedang tidak ada kerjaan juga.
Tangannya bergerak membuka pesan itu dan mengetikkan balasan, tetapi terhenti saat suara Ardhi terngiang-ngiang di otaknya dan membuatnya pening. Ardhi dengan jelas mengatakan padanya untuk tidak bermain api dengan laki-laki lain.
Sera mencebik kesal. Ia ingin marah karena rasanya ini seperti pengekangan yang tidak tahu tempat. Ia sudah hampir gila karena orang tuanya sendiri membuat dirinya terjebak menjadi istri siri yang tidak dianggap dan seperti tak ada harganya sama sekali, dan sekarang ia harus menerima kenyataan kalau untuk menikmati hidup saja ia dibatasi oleh benang yang akan menjerat lehernya sendiri kalau ia kelewatan.
Saat kepalanya sedang sibuk memaki Ardhi dan segala ucapan sampah laki-laki itu, ponselnya yang satu lagi berdering.
Bukan hal yang baik tentunya karena nama Adi Kurniawan terpampang di layar.
“Saya sudah mengisi stok di kulkas dengan bahan-bahan makanan yang masih segar. Semuanya menyehatkan. Saya harap Anda mengolah bahan-bahan itu dengan baik karena Bapak Ardhi tidak akan suka kalau Anda sakit karena makan sembarangan,” ucap Adi. Suara besar milik laki-laki itu juga terdengar sama dinginnya dengan Ardhi, tetapi terdengar lebih baik di telinga Sera.
Sera tersenyum pahit. Lagi-lagi ia tidak menanggapi semua perintah-perintah yang diucapkan oleh Adi.
“Bapak Ardhi hari ini pulang dari perjalanan bisnisnya dan akan mengunjungi Anda sekitar pukul sepuluh malam nanti.”
Punggung Sera menegak. Waktu ‘mempersiapkan diri’ sudah habis. Malam ini, mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus kembali berhadapan dengan Ardhi.
“Sekali lagi saya ingatkan untuk jangan sekali-kali membuat Bapak Ardhi kecewa dengan sikap minus Anda di depan beliau.”
Sera menyesap kopinya untuk sedikit meredam kepanikan dalam dirinya yang merangsek dan menguasai tubuhnya. Mau selama apa pun waktu yang ia punya, tentu kesiapan untuk menyerahkan dirinya pada laki-laki bernama Ardhi Prasetyo itu tidak akan pernah ada. Ia tidak akan pernah siap.
Memangnya siapa yang sanggup menyerahkan tubuh pada seseorang yang bahkan tidak mau menghargai dirinya barang sedikit pun.
Jadi, bagaimana agar ia tidak hancur nantinya?
Bagaimana ia akan bertahan setelah ini?
Sera tersesat dalam jurang hitam yang menariknya hingga ke dasar bumi. Sesak dan kengerian itu nyata. Tidak ada lagi tempat untuk kakinya berpijak dengan aman.
Seluruh harga dirinya akan habis setelah ini.
Dengan tubuh yang seperti kehilangan nyawa, Sera meninggalkan mejanya dengan cappuchino yang hanya berkurang sedikit dan blackforest-nya masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Bahkan melupakan pesan dari Edo di ponsel pribadinya yang belum sempat ia balas.
***
Menjelang malam, Sera baru sampai di depan gedung apartemen setelah berkeliling menyusuri jalanan Jakarta tanpa arah. Kakinya kebas karena sama sekali tidak beristirahat barang sedikit pun setelah menempuh jarak berkilo-kilo jauhnya dengan berjalan kaki.
Ia menyapa satpam dengan senyum palsu yang tercetak di wajah dan berlalu ke arah lift yang mengantarkannya ke unit apartemennya. Unit yang lebih pantas disebut sebagai penjara yang memerangkap dirinya dengan sadis.
Sesampainya di dalam, ia langsung masuk ke kamar mandi, menyalakan shower. Membiarkan tubuhnya yang berbalut celana jin dan kemeja tipis berwarna putih itu basah dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Entah sudah berapa lama waktu yang Sera habiskan di bawah guyuran air dingin dari shower yang masih menyala, saat ia merasakan badannya menggigil dan mulai kisut. Dengan asal ia melepas pakaian hingga tak tersisa benang satu pun yang melekat di badan lalu mengatur suhu air yang dingin menjadi cukup hangat. Ia tentu tidak akan membiarkan dirinya sakit. Sudah cukup hati dan jiwanya saja yang merasakan hujaman rasa sakit. Ia masih butuh badan yang sehat untuk menopang hidupnya.
Tepat pukul setengah sepuluh malam, Sera sudah selesai berdandan. Ia berpakaian rapi dengan mengenakan salah satu gaun yang harganya belasan juta itu dengan perasaan tidak nyaman. Gaun merah marun selutut dengan kerah sabrina yang tampak sederhana tetapi mampu memberikan kesan yang berbeda setelah melekat pas di tubuhnya yang cukup berisi. Montok di tempat-tempat yang seharusnya.
Sera lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecut. Kondisi ini terasa sangat lucu dan mengenaskan di saat bersamaan. Saat ia seharusnya sudah cukup bahagia dengan sebatas menonton tayangan drama di TV, ia malah terjebak di ruangan luas yang sangat mewah namun terasa sesak itu dan menunggu didatangi oleh seseorang yang membutuhkan dirinya untuk menyalurkan birahi.
Sera tersentak saat suara bel terdengar dari arah pintu. Sera bergegas keluar dari kamar dan mendekat ke arah interkom untuk melihat siapa yang datang.
Sera menahan napas saat melihat siapa yang datang. Tentu saja laki-laki yang sama yang mengunjunginya minggu lalu dan meninggalkan dirinya dalam keadaan kacau.
Dengan langkah kaki yang berat, Sera berjalan ke depan dan membukakan pintu.
Ardhi Prasetyo berdiri angkuh di luar sana. Ekspresi dingin di wajahnya menambah kekakuan dan keangkuhan laki-laki itu.
Penampilan Ardhi masih sama. Jas necis yang membungkus badan gagahnya yang terbalut kemeja berwarna moka, dipadukan dengan celana yang senada dengan warna jas. Rambut tebal laki-laki itu tersisir rapi.
“Sudah puas memandangi wajah saya?”
Sera mengumpat dalam hati sembari melebarkan pintu untuk mempersilakan Ardhi itu masuk ke dalam apartemen. Kali ini, laki-laki itu melepaskan sepatu pantofelnya terlebih dahulu baru melangkah masuk.
Sera mengikuti dari belakang setelah memastikan pintu tertutup dan terkunci otomatis.
Sera memperhatikan dengan gusar saat Ardhi melepaskan jas dengan gerakan luwes, menyampirkannya di lengan sofa, baru kemudian mendudukkan bokong di sofa masih dengan gaya angkuhnya.
“Perlu kamu tahu bahwa walaupun saya memakai kondom, kamu tetap harus minum obat agar tidak tumbuh sesuatu yang sama-sama tidak kita inginkan di rahimmu,” ucap Ardhi tanpa basa-basi. Kejam dan sinis.
Sera berdiri kaku dengan jarak lebih dari satu meter di depan Ardhi yang terpisah oleh meja. Ia sudah tahu, bahkan ia sudah meminumnya sejak pertama kali ia bertatap muka dengan Ardhi di apartemen itu minggu lalu. Lagi-lagi atas perintah Adi. Sera menemukan dua strip pil KB yang sudah disiapkan Adi di meja pantri dilengkapi dengan note yang berisi jadwal minum pil dengan benar.
“Apa kita akan melakukannya di sini?” tanya Sera menebalkan muka.
Ardhi tertawa. Bukan jenis tawa yang enak didengar tentu saja. “Kamu berpikir kamu layak untuk tidur dengan saya di ranjang?”
“Saya cuma nanya. Kalau gitu, kita bisa mulai sekarang, kan?” tanya Sera dengan sabar. Biar bagaimanapun Ardhi adalah suaminya sekarang.
“Kamu nggak punya suara di sini untuk mengatur saya. Saya sudah bilang kalau kamu harus nurut sama saya.”
“Fine. Sekarang kamu mau apa? Lakukan saja.”
Ardhi mengangkat sedikit ujung bibirnya ke atas. “Saya mau kamu striptease di depan saya.”
Sera mencoba menguatkan hati. Ini masih belum seberapa. Ini hanya awal dan neraka yang sesungguhnya masih menanti di depan sana.
Rasanya tidak ada gunanya ia berdandan karena pada akhirnya semua itu tidak ada artinya. Ardhi hanya menginginkan tubuhnya.
“Kamu nggak dengar apa kata saya?”
Pada akhirnya Sera langsung menarik ujung gaunnya ke atas dengan perlahan, dengan detak jantung yang ikut menggila.
to be continued.
Berbeda dengan sikapnya yang selalu bertingkah layaknya bajingan, Ardhi memperlakukan Sera dengan sangat berhati-hati saat mereka berhubungan badan untuk pertama kalinya. Saat Sera menunjukkan kesakitan, Ardhi akan berhenti, bertanya pada Sera apakah perempuan itu baik-baik saja. Sera tidak bisa untuk tidak terenyuh karena tidak menyangka Ardhi akan memperlakukannya dengan sangat lembut seakan tidak mau menyakitinya. Saat Sera tak mampu untuk menahan air mata karena merasa ngilu yang luar biasa di bawah sana pun Ardhi dengan sabar menghapus air matanya. Perempuan itu bahkan bisa dengan jelas melihat wajah memuja Ardhi saat mereka berdua bergelung dalam gairah yang menyala. Sera merasa seperti sedang dicintai dan dihargai dengan penuh kasih. Sera merasa hampir gila saat mereka mencapai puncak kenikmatan yang membuat Sera menggeletar. Pelepasan yang sungguh menakjubkan, walaupun harus dibarengi dengan perih yang menggila. Keduanya saling merengkuh, meno
Menjadi seorang istri di saat umurnya bahkan belum menginjak usia dua puluh tiga tahun jelas tidak pernah terlintas dalam benak Sera. Ia sudah merancang masa depan dengan baik. Setelah lulus kuliah ia akan melamar kerja di tempat yang direkomendasikan oleh dosen pembimbingnya. Rencana berumah tangga jelas belum ada di agendanya untuk lima tahun ke depan.Namun, sayangnya bayangan itu buyar seketika karena hidup Sera berubah sekejap hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari sebulan.Bulan lalu, ia masih bisa memakan masakan ibunya yang paling juara. Bulan lalu, ia masih bisa menikmati waktu dengan ayahnya, menemaninya menonton tayangan sepak bola di tengah malam, jalan-jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan, makan bubur ayam di pinggir jalan, berbelanja di supermarket dengan membawa daftar yang telah dituliskan oleh ibunya, sungguh … terlalu banyak waktu yang ia habiskan dengan ayahnya. Bulan lalu, ia bisa keluar ru
Sera bangun pukul lima. Tidak lebih dari dua jam ia terlelap. Pagi yang tidak seperti biasanya karena ada satu makhluk asing yang berbagi ranjang yang sama dengannya semalam. Pertama kalinya tidur di atas ranjang yang sama dengan Ardhi membuatnya resah dan gelisah. Logikanya meneriakkan protes, namun sudut hatinya juga tidak tinggal diam. Menurut si sudut hati, hal ini wajar karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah di mata agama. Logikanya berteriak sebaliknya. Tahu bahwa mereka bukan pasangan suami-istri yang normal layaknya pasangan di luar sana. Sera tidak tahu mana yang normal untuk hubungan yang terjalin dengan Ardhi saat ini. Di dalam kamar mandi, Sera mengguyur tubuh dari ujung kepala dengan air dingin dari shower. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil. Sedingin apa pun cuaca di pagi hari, ia tidak pernah mau mandi dengan air hangat dan ini berlangsung sampai ia dewasa.
Ardhi adalah sosok laki-laki yang sangat passionate dalam bekerja. Disiplin adalah motto hidupnya. Dan ia mewajibkan itu menjadi motto pegawai di kantornya. Sekali melanggar kedislipinan yang laki-laki itu terapkan, bisa dipastikan karirnya akan langsung tamat saat itu juga. Karena kedislipinan inilah yang semakin memajukan perusahaan. Para karyawan sudah terbiasa dengan ritme kerja Ardhi Prasetyo meski laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu baru menduduki posisinya sebagai CEO sejak setahun yang lalu, menggantikan Randi Prasetyo, sang ayah yang terkena stroke dan sampai kini hanya bisa beraktivitas seperti sedia kala. Separuh tubuhnya lumpuh hingga ke mana-mana harus duduk di atas kursi roda selama sisa hidupnya.Kedatangan Ardhi di kantor pusat yang berada di daerah Sudirman−pada sebuah gedung tinggi di lantai 30−disambut para pegawai yang berjumlah enam belas−delapan pegawai laki-laki dan delapan pegaw
Pulang ke rumah itu artinya Ardhi siap mendengarkan omelan sang ibu yang katanya rindu kepada anaknya yang jarang pulang. Padahal hampir setiap dua minggu sekali Ardhi menyempatkan untuk pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu yang katanya kesepian.“Boy! I miss you soooo much!”Itu adalah teriakan dari seorang wanita berusia hampir enam puluh tahun. Tampilan wanita itu begitu anggun dan rapi. Tubuh sintalnya terbalut terusan selutut sederhana yang berwarna merah muda. Meski terlihat sederhana, namun semua orang tahu bahwa harga dari baju itu jelas tidak murah. Rambut pendek sebatas bahu yang sebagian sudah memutih itu tertata rapi. Tampilan sederhana tapi berkelas. Itulah definisi yang cocok untuk wanita yang biasa dipanggil Ardhi dengan sebutan Ibu. Mantan aktris terkenal pada zamannya. Selia Prasetyo, istri tercinta ayahnya.“I miss you too, Ibu!” Ardhi
Selia menatap Ardhi dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Keluarga Tarendra sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, namun Ardhi dan kedua orang tuanya belum beranjak dari posisi masing-masing.“Ibu dan Ayah kenapa nggak bilang sama saya dulu tentang hal ini?” tanya Ardhi dengan menahan kesal.“Seharusnya kamu sudah paham, Ardhi. Dua bulan lagi rapat direksi. Kamu sudah harus bertunagan sebelum itu kalau tidak mau menyerahkan posisimu sebagai CEO," ujar Selia dengan gusar.Ardhi tak gentar dan menatap ibunya tanpa berkedip. “Tidak akan ada pertunangan, Bu. Saya tidak berniat menikahi Thalia.”“Cepat atau lambat kamu tetap akan menikah. Dengan Thalia atau bukan," tegas Selia. Wanita paruh baya itu pun menatap anak semata wayangnya dengan ketegasan yang nyata.Ardhi menautkan jari-jemarinya. "Saya tahu, Bu. Kalau sudah saatnya menikah, saya akan
Sera tersenyum lebar saat menginjakkan kaki di sebuah rumah minimalis bergaya bohemian bercat cokelat yang di depannya terdapat berbagai tanaman bunga yang amat sangat cantik. Sera bisa mengenali beberapa jenis bunga di sana.Di antaranya ada bunga krisan, mawar dengan berbagai jenis warna, lili, gerbera, carnation, matahari, gardenia, daffodil, dan hydrangea. Sudah seperti toko bunga saja. Sera tersenyum. Terasa sangat menyejukkan mata.Tempat kursus merangkai bunga itu terlihat lengang. Sera membuka pintu dan langsung terdengar lonceng di atasnya.Di ruangan yang cukup lebar itu tertata beberapa baris meja yang di setiap mejanya terdapat bunga-bunga yang sempat Sera lihat di depan. Sudah ada empat orang perempuan yang datang. Sera tersenyum menyapa mereka.“Mau ikut kursus merangkai bunga juga?” tanya perempuan yang mengenakan jilbab berwarna merah muda.“Iya,” jawab
Sera kaget saat masuk ke dalam apartemen dan mendapati Ardhi tertidur di sofa dalam posisi duduk. Laki-laki itu masih mengenakan baju kerja yang sama dengan yang ia kenakan tadi pagi. Bahkan sepatunya tidak dilepas. Benar-benar kebiasaan yang sesungguhnya tidak Sera sukai. Namun, Sera jelas tak punya kuasa untuk meminta Ardhi untuk menuruti wanita itu agar mau melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang tepat berada di dekat pintu masuk. Bisa-bisa Sera malah disembur dengan kata-kata menyakitkan karena laki-laki itu tidak suka diatur.Tidak suka diatur tapi hobinya mengatur orang lain. Yah, begitulah Ardhi.Sera geleng-geleng kepala kecil melihat Ardhi di posisi itu, kemudian memilih untuk langsung ke kamar untuk bersih-bersih badan yang terasa lengket dan gerah karena keringat. Meninggalkan Ardhi yang masih lelap bahkan saar Sera keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah segar.Menuju ke dapur, Sera membuka kul