Share

TETANGGA DARI NERAKA
TETANGGA DARI NERAKA
Penulis: Maulina Fikriyah

Nyinyiran Tetangga

***

"Wah, ada Neng Nina. Mau belanja apa nih, biar Mamang siapkan!" Mamang Sayur tersenyum ramah di depanku. Suasana gerobak Tukan Sayur yang kebetulan sedang sepi, membuatku leluasa memilih sayuran segar untuk memasak hari ini.

Jika dihitung, ini adalah kali kedua aku kembali pulang ke kampung setelah 3 tahun aku mengabdikan diri di kota seberang. Bukan tanpa alasan, aku bekerja banting tulang untuk menyokong hidup Bapak dan Ibu, serta biaya sekolah kedua adikku, Sari dan Dana.

Ayah yang notabenenya hanyalah seorang tukang becak, seringkali penghasilannya tidak menentu. Apalagi sekarang Dana sudah menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, dan Sari yang setahun lagi lulus Sekolah Menengah Atas.

Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, aku berangkat ke kota untuk mengadu nasib. Terbayang wajah Ayah dan Ibu jika aku harus berdiam diri di rumah hanya menunggu jodoh datang. Sudah menjadi hal lumrah disini, perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena kodratnya berada di dapur, sumur dan kasur.

Namun, aku bersyukur ketika Ayah dan Ibu tidak mengekang keinginanku untuk bekerja mengadu nasib di kota sebelah. Sempat mendapat penolakan. Tentu. Orang tua mana yang rela hidup jauh dari anak-anaknya, apalagi di jaman yang sudah mulai rawan melepas anak gadis sendirian di kota orang. Ayah sempat menentang keras permintaanku untuk bekerja dengan jarak yang lumayan jauh dari rumah. Tapi aku berhasil meyakinkan Ayah dan Ibu, hingga akhirnya mereka memberikan restunya padaku.

"Wah mau belanja ya, Nin?" seloroh Bu Nurma.

Melihat beberapa Ibu-ibu sudah datang dan memutari gerobak Mamang Sayur, aku mengulurkan tangan pada mereka satu per satu. Di kampungku, menjadi hal yang wajib ketika kita baru saja kembali bersua dengan tetangga setelah merantau cukup lama.

Para Ibu-ibu yang memang masih bertetangga dekat dari rumah menyambut uluran tanganku. Wajar saja jika mereka kaget tiba-tiba aku berada di tempat Mamang Sayur mengingat baru hari ini aku bisa keluar rumah dan bertemu beberapa tetangga dekat disini. Biasanya Ibu yang berbelanja, tapi karena hari ini Ibu sedikit masuk angin, maka aku yang menggantikannya.

Bukan karena aku tidak ingin keluar rumah. Bukan. Dua hari yang lalu aku datang hampir tengah malam. Beruntung suasana terminal masih sedikit ramai hingga tidak membuatku khawatir saat menunggu jemputan dari Ayah. Ketika pagi menjelang, Ibu malah jatuh sakit, membuatku harus ekstra merawatnya. Ayah bahkan melarangku memasak, dia rela membeli lauk jadi untuk makan kami sekeluarga.

"Iya, Bu. Kebetulan ibu sedang masuk angin, jadi saya yang menggantikan belanja," sahutku.

"Makanya, makanan itu harus yang sehat. Jangan taunya tahu sama tempe doang, Nin! Bilangin tuh Ibumu, masa anak kerja di kota belanjanya suka bayem sama tempe melulu. Malu dong sama Kang Sayur," seloroh Bu Nurma dengan melirik sinis ke arahku.

"Kalau untuk belanja bahan pokok, Ibu sudah beli di pasar gede, Bu. Disini tinggal beli yang belum ada aja. Lagian tempe dan tahu juga kaya protein kok. Kenapa harus malu, kan nggak ngutang sama Mamang. Ya nggak, Mang?" Mamang mengacungkan jempolnya lalu kembali berkutat menghitung belanjaan seseibu di sampingku.

"Halah, sok-sokan bilang protein. Dimana-mana itu ikan yang bikin sehat, bukan tahu sama tempe. Pantes saja ayah kamu terlihat lemas. La wong makannya nggak empat sehat lima sempurna!" Pedasnya ucapan Bu Nurma menelusup ke gendang telingaku sepagi ini. Jika saja tidak menjaga unggah-ungguh, sudah kulibas mulutnya dengan ulekan cabe sekilo.

Saat hendak membalas ucapan pedas Bu Nurma, kurasakan ada tangan yang mengusap punggungku. Kulirik Bu Tari tersenyum sambil berbisik, "Ngalah aja, bisa kemana-mana nanti yang dibahas. Sabar ya!" Aku mengangguk dan tersenyum.

"Wong susah aja gayanya bikin aku eneg! Ayahnya juga cuma tukang becak tapi kalo ngomong sok bilang tempe sama tahu itu protein. Bilang aja nggak bisa beli ayam atau ikan. Gitu kan beres! Sok pinter!"

"Ada yang salah kalau Ayah saya tukang becak, Bu? Saya mau beli tempe, tahu atau ayam sekalipun, kenapa Bu Nurma sewot?" Tidak kuperdulikan usapan tangan Bu Tari. Jika sudah menyangkut pekerjaan Ayah, hatiku mendadak panas. "Meskipun tukang becak, tapi pekerjaan Ayah saya halal. Ibu ngiri karena melihat saya kerja di kota, iya?"

"Eh, aku ini udah pengalaman kerja di kota. Siapa bilang kerja di kota itu enak, bayaran gede. Nyatanya nih, di depan mata, pulang dari kota malah beli tempe sama tahu. Nggak ibunya, nggak anaknya, sama aja!"

Tanganku terkepal mendengar cibiran demi cibiran yang keluar dari mulut Bu Nurma. Kenapa dia yang kebakaran jenggot kalau keluargaku makan tempe atau tahu? Toh, selama ini kami memang terbiasa makan seadanya meskipun emang penghasilanku cukup untuk membeli makanan enak. Bagiku, tidak melulu pakai lauk ikan atau ayam, tempe dan tahu juga kaya akan protein.

Berkali-kali kurasakan usapan lembut di punggung. Aku tau, Bu Tari mungkin tidak ingin aku meladeni Bu Nurma yang memang terkenal tidak mau kalah itu. Akhirnya, dengan sekuat tenaga menutup mulut, aku berhasil meredam emosiku agar tidak memuncak saat ini juga. Bu Tari ada benarnya juga, untuk apa aku melawan ucapan Bu Nurma, yang ada dia malah mencari topik lain untuk menyudutkanku.

"Sudah Mang! Cepat ini hitung, lama-lama mual aku kalau ngeliat tempe sama tahu." Bu Nurma menyerahkan sekantong kresek hitam pada Mamang.

"Tujuh puluh lima ribu, pas nggak pake koma," ujar Mamang Sayur dengan candanya yang khas.

"Ini lima puluh ribu dulu, kurangnya besok. Uangku seratus ribuan semua. Malas mau bolak balik kesini," ucapnya ketus dengan kembali menyelipkan dompet di sela-sela ketiaknya.

"Eh, biar nanti saya ambil ke rumah Bu Nurma aja. Saya ada kok kembaliannya," sahut Mamang dengan memainkan kedua alisnya.

Bu Nurma membanting seikat kangkung di depan Mamang. Aku sedikit kaget dengan tingkahnya yang tiba-tiba anarkis begini.

"Aku bilang besok ya, besok, Mang!" bentak Bu Nurma. Dia kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya.

"Utang maneh," gumam Mamang Sayur sembari mengelap peluh menggunakan topi usang miliknya.

Beberapa Ibu-ibu menertawakan Mamang yang sudah kecolongan. Mungkin bagi mereka, gumaman Mamang barusan hanyalah sebuah kelakar. Tapi tidak menurutku, ada sebuah kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya. Aku paham, berjualan seperti ini memang harus pandai-pandai memutar modal. Jika banyak pembeli yang berhutang, tidak menutup kemungkinan Mamang akan kehabisan modal dan akhirnya berhenti berjualan.

Kasihan. 

Meskipun dipaksanya senyuman tipis terbit di bibir Mamang, aku mengerti, rasa tidak enak hati membuat dirinya harus kembali mengalah pada pembeli.

Bersambung

    

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melimel Saja
bener banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status