Share

Dihina Norak

***

Sesampainya di depan gedung tinggi nan menjulang, aku segera memarkirkan motor dan membawa langkah kaki dengan gesit menuju tempat berlangsungnya interview. Benar saja, ada Putri yang sudah duduk dengan anggun di salah satu kursi tunggu bagi kami, para pejuang amplok coklat.

Debar demi debar di dada kurasakan dengan nikmat. Satu per satu dari kami masuk ke dalam ruangan. Hingga tibalah giliranku, setelah Putri yang lebih dulu masuk barusan.

"Dih, norak banget! Nggak bakalan deh keterima, gayanya aja kampungan!" cibir Putri lirih, namun indra pendengarku menangkap jelas ucapannya.

Aku mengedikkan bahu, malas saja jika harus berdebat di tempat umum begini. Jangan sampai aku memberikan kesan yang buruk padahal diterima kerja juga belum.

Melihatku berlalu tanpa menanggapi ucapannya, kulirik Putri mengehentak-hentakkan kakinya.

Kami kembali ke ruang tunggu setelah melalui proses interview yang cukup menengangkan. Tidak banyak memang yang ditanyakan, hanya seputar pernah bekerja dimana, punya pengalaman apa dan lulusan tahun berapa. Itu saja, tapi tetap saja bagiku sangat mendebarkan. Seorang wanita cantik mengatakan pada kami untuk pulang, karena pengumuman diterima atau tidaknya di perusahaan ini, akan segera dikabarkan melalu sambungan telepon. Kecewa. Tentu saja. Aku pikir setelah interview berlangsung, pengumuman siapa yang lolos seleksi bisa kudengar hari ini. Tapi sayang, tiap perusahaan tentu beda kebijakan.

"Pulang ah, aku yakin besok pasti ditelepon!" ujar Putri di depanku dengan mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai indah dan legam. "Eh, Nin ... jangan sampai ngiri ya kalau aku nanti keterima. Secara aku modis begini, tapi kamu ...." Dia tidak melanjutkan ucapannya tapi justru tertawa begitu lebar.

"Iri sama kamu? Yakin situ punya kelebihan yang pantas aku iriin?" sahutku dengan menarik ujung bibir.

Putri mencebik dan berlalu dari hadapanku. Nggak anak, nggak Ibu kelakuan sama aja. Minus! Satu per satu dari kami melenggang meninggalkan ruang tunggu di kantor ini. Termasuk aku. 

***

Terhitung sudah dua hari sejak aku mengajukan permohonan kerja di perusahaan baru itu, tapi tak kunjung juga mendapatkan telepon. Sedangkan besok jatah cutiku sudah habis. Mau tidak mau, aku harus kembali lagi ke kota jika memang tidak mendapat panggilan bekerja di perusahaan yang tempo hari kudatangi.

"Bu, besok aku harus kembali ke kota. Jatah cuti lima hari sudah selesai," ujarku pada Ibu yang terlihat sibuk menumis bumbu.

Aku sedang membantu ibu memasak di dapur. Meskipun yang kulakukan hanyalah mengupas bawang, karena ibu merupakan tipe orang yang tidak suka diganggu ketika sedang masak. Katanya takut merusak cita rasa kalau makanan jika diolah oleh banyak tangan. "Camplang" kalau kata orang Jawa.

"Cepet banget ya, Nin? Kayanya baru kemarin deh kamu pulang," sahut Ibu dengan suara yang terdengar sendu. "Kalau memang sampai nanti siang belum mendapat telepon dari perusahaan baru itu, artinya memang rejeki kamu nggak disana, Nak."

Aku mengangguk pasrah, "Aku tau, Bu. Meskipun ingin sekali aku bisa bekerja di dekat sini dan bisa membantu Ibu setiap hari di rumah." 

"Berhenti kerja aja gimana?" 

Aku menggelengkan kepala cepat, Ibu memang suka sekali menggodaku dengan mengatakan hal demikian. Tapi aku tetap pada pendirianku, aku ingin bekerja hingga membuahkan kesuksesan yang akan mengantarkan Ayah dan Ibu pada rasa bangga. Masih teringat jelas di ingatan, setelah kelulusan sekolah, aku merengek semalaman agar diberi ijin untuk bekerja di kota. Lalu saat aku sudah menggapai keinginanku, mana mungkin kusia-siakan begitu saja. Ada masa depan Dana dan Sari yang harus kuperjuangkan. Meskipun Ayah sejujurnya tidak pernah melepas tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, namun aku cukup tahu diri sebagai anak tertua.

Tok ... Tok ... Tok

"Spada! Ada orang di dalam?"

Aku yang tengah duduk di kursi dapur dan menyaksikan Ibu yang sedang memasak, mendadak menghentikan obrolan mendengar suara yang berasal dari depan.

"Tuh, suara soulmate ibu udah manggil," kelakarku ketika menyadari jika itu adalah suara Bu Nurma.

"Heh, nggak boleh gitu! Bagaimanapun hubungan dengan tetangga itu lebih dekat, Nin. Kalau ada apa-apa pasti yang sigap duluan ya tetangga." Ibu mendelik ketika aku mengatakan hal yang dia anggap tidak pantas untuk kukatakan.

"Kalau ada makanan lebih misalnya," jawabku cekikikan. Sontak Ibu memukul lenganku lembut.

Teringat waktu itu, ketika ibu mengadakan syukuran pada hari kelulusanku. Bukan syukuran mewah, hanya sekedar membuat beberapa kotak nasi kuning untuk dibagikan pada para tetangga. Sengaja memang jika Ibu tidak meminta bantuan pada tetangga yang lain karena takut merepotkan, lagi pun, seperti yang aku bilang, itu hanya syukuran kecil-kecilan.

Entah bagaimana awalnya, Bu Nurma yang kebetulan letak rumahnya berhadapan dengan rumahku, mengetahui jika ibu sedang masak banyak. Pura-puralah dia datang, sekedar basa-basi lalu tanpa diperintah oleh Sang Empunya rumah, dia mengambil dua kotak nasi beserta dua potong ayam panggang dengan alasan karena sudah membantu Ibu. Padahal sejak datang, kuperhatikan Bu Nurma hanya sibuk berbicara dan tentu saja tangannya juga sibuk keluar masuk ke dalam toples yang berisi kue kering. Tapi bukan Ibu namanya jika melarang Bu Nurma membawa makanan dari rumah, Ibu bahkan menambahkan beberapa buah ke dalam kantong kresek yang hendak Bu Nurma bawa.

Keluargaku memang bukan dari kalangan orang berada, tapi untuk urusan camilan, Ibu tidak pernah sampai kehabisan makanan ringan. Ada saja yang akan beliau olah untuk isian toples.

"Ini loh Bu Narti, Asistenku tadi aku suruh bikin bubur merah, ya ... hitung-hitung sebagai syukuran kecil-kecilan untuk Putri. Dia kan sudah dapat panggilan kerja di perusahaan baru itu. Eh, ngomong-ngomong, Nina pasti nggak lolos ya? Wajar sih, secara penampilan mereka beda banget. Nina itu hidup di kota udah lama kok masih udik aja." Bu Nurma berbicara panjang lebar menyanjung anaknya, sedangkan aku dia jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Ibu hanya tersenyum tipis menanggapi nyinyiran Sang Ratu Nyinyir. Sejenak terlintas di benakku untuk mengajari Ibu agar sedikit mau membalas ucapan pedas dari orang lain.

"Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Mungkin rejeki Nina bukan di perusahaan itu. Kalau bagi saya, dimanapun nanti anak saya bekerja, yang penting didapat dengan cara yang halal," sahut Ibu membuat bibir Bu Nurma mencebik dengan jelas.

"Oalah, Bu Narti. Ngomong aja terus terang kalau kamu itu kecewa sama Nina. Apalagi dengar Putri mau kerja di perusahaan baru, pasti ngiri kan?"

Aku melangkah mendekati Ibu, mulutku sudah siap untuk membalas pedasnya ucapan Bu Nurma. Tapi lagi-lagi Ibu melarang. Pergelangan tanganku dicekal lembut dengan menggelengkan kepalanya pelan. Kuhela nafas panjang, mau tidak mau, aku kembali mengalah.

Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau ibu yang berhadapan dengan Bu Nurma jelas saja Ibu hanya tersenyum tipis. Padahal sejak tadi mulutku seolah hendak meledak. Siapa juga yang merasa iri karena Putri berhasil lolos interview, lagi pun, aku melamar kerja tersebab memang memiliki alasan tersendiri. Tapi kenapa bisa-bisanya Bu Nurma mengatakan hal demikian. Heran deh!

"Bu, yuk ... masaknya dilanjutin lagi," kataku pada Ibu. "Mari, Bu Nur ... makasih ya bubur seupritnya ini." Aku memiringkan sepiring bubur pemberian Bu Nurma tepat di depan wajahnya. Biar saja, lagipula memang bubur pemberiannya hanya seuprit.

Kugandeng tangan ibu untuk masuk ke dalam rumah. Gegas pintu kututup dengan cepat sebelum Bu Nurma membuka mulutnya untuk menghardikku.

"Anak nggak punya sopan santun! Bilang aja kamu ngiri karena Putri lebih unggul dari kamu!" teriak Bu Nurma dari luar. 

Ibu mengurut punggungku lembut dan berbisik, "Sabar saja."

"Sabar terus yang Ibu katakan! Bu Nur itu sudah keterlaluan sama keluarga kita, Bu," kataku geram. "Ada aja yang mau dia gunjingkan tentang aku. Yang hamil duluan lah, yang ngiri sama anaknya lah. Sebenarnya dia itu kenapa sih sama keluarga kita, heran aku, Bu!" Aku berbicara panjang lebar menyayangkan sikap Bu Nurma yang tidak pernah berhenti berbuat Julid pada keluarga kami.

"Kamu tau slogan orang akan mencari gara-gara karena mereka ingin diperhatikan?"

Aku mengangguk. "Itu yang terjadi pada Bu Nurma. Tujuan dia memang ingin Ibu perhatikan, dia ingin Ibu terpancing sama ucapannya selama ini, Nina. Dengan begitu Bu Nur akan merasa dirinya menang karena bisa membangkitkan kemarahan Ibu, dan dia ... dia akan semakin berkoar-koar di depan banyak orang karena Ibu sudah melawan. Kebayang kan gimana capeknya menghadapi orang seperti Bu Nur?" Lagi-lagi aku mengangguk. Yang Ibu katakan memang benar, tapi tetap saja aku tidak bisa sesabar Ibu, apalagi mulut tetangga depan rumah itu tidak pernah merasa bersalah dengan ucapannya selama ini.

"Cara menghadapi orang seperti itu hanyalah diam. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan karena dibalas pun percuma, hanya berbuntut panjang dan Ibu tidak mau bermasalah dengan para tetangga."

"Tapi Bu Nur memang selalu cari masalah, Bu," paparku. "Ibu tau kan dia suka sekali membanding-bandingkan aku sama anaknya? Gedek loh aku!"

Ibu tertawa. Dia merengkuh bahuku dan berkata, "Mungkin Bu Nur caper sama kamu, minta diperhatikan," godanya sambil berlalu meninggalkanku di ruang tamu.

"Ibu!" teriakku kesal. Ibu justru cekikikan dan kembali melanjutkan acara memasaknya di dapur.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status