Share

Menghadapi Tetangga julid

***

Aku tertawa mendengar penuturannya. Wanita yang kutaksir seumuran dengan Ayah itu mengerutkan keningnya melihat ke arahku. Mungkin dia pikir aku akan terpancing emosi dan marah-marah nggak jelas karena di tuduh hamil? Oh, tentu tidak! Itu hanya akan membuat orang lain membenarkan ucapan Bu Nurma.

Pelan-pelan aku menjelaskan pada ibu-ibu yang kebetulan sedang berbelanja kalau memang kemarin sedang masuk angin saja, buka hamil. Beberapa nampak percaya dengan ucapanku, dan benar saja, beberapa yang lain nampak meragukan kebenaran yang kuucap, terbukti dari bibir mereka yang mencebik.

"Jangan suka suudzon, Bu Nur! Hati-hati loh, Putri kan juga perempuan." Bu Tari mulai menimpali.

"Ya beda dong! Jangan samakan Putri dengan Nina, lagipula nih ya, Putri itu enggak merantau, kalau hangout juga masih saya pantau. Asal Bu Tari tau, teman-temannya aja berkelas."

"Kelas berapa Bu?" Aku menanggapi ucapannya dengan bergurau.

"Kelas Nol Besar," jawab Bu Tari cepat. Akhirnya kami semua tertawa, tentu saja kecuali Bu Nurma. Hatinya mungkin sangat kesal karena gagal menyebarkan gosip kehamilanku.

"Halah, tunggu aja sampai lima bulan lagi. Paling juga perutmu nanti membesar," sahut Bu Nurma, senyuman sinis terpatri di wajahnya.

"Ya silahkan, kalau Ibu mau nunggu perut saya membesar juga boleh. Tapi jangan kecewa nanti kalau apa yang Bu Nur tuduhkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada."

"Kita lihat saja ya Ibu-ibu, empat atau lima bulan lagi pasti perut dia mmbesar. Secara hidup di kota itu pergaulan bebas. Mau apa-apa ngga ada orang tua yang mengingatkan," serunya lagi. "Kalau anak saya, udah saya larang pergi ke kota. Saya masih mampu menghidupi Putri, secara suami juga gajinya gede, beda sama Ayahmu. Ya kan, Nin?"

"Eh, Bu. Dari kemarin kenapa suka sekali membahas pekerjaan Ayah saya?" Tanganku berkacak pinggang. Lama-lama mulut Bu Nurma semakin tidak bisa dikondisikan. "Jangan-jangan Ibu memang iri karena punya anak yang hobynya cuma keluar-keluar nggak jelas. Udah nggak kerja, nggak bisa membantu orang tua yang ada malah menadahkan tangan doang. Kalau saya sih malu, Bu!" sahutku geram. Bibir Bu Nurma seketika mengatup. Wajahnya kulihat memerah setelah aku mengatakan kebenaran tentang anaknya.

Bukan niatku ingin sombong karena bisa bekerja dan membantu orang tua. Tapi Bu Nurma memang harus dilawan, jika tidak mungkin aku akan semakin dia hina di depan Ibu-ibu yang lain.

"Segala ngatain saya hamil, Ibu juga awasin pergaulan Putri, jangan taunya dia main-main doang di luar, yakin nggak main-main yang lain?" sindirku sarkas.

Bu Nurma mendorong bahuku kasar. Kulihat dadanya naik turun menahan marah. "Jaga mulutmu, Nina!"

"Untuk apa saya menjaga mulut kalau anda sendiri tidak bisa menjaga ucapan di depan semua orang, hah? Bu Nur pikir saya takut, begitu?"

"Memang ya, kelamaan hidup di kota bikin dia ngga punya sopan santu ke yang lebih tua!"

Aku meraup udara rakus. Sebenarnya ada masalah apa wanita tambun ini dengan keluargaku, kenapa begitu nyinyir mulutnya seakan-akan kami adalah keluarga yang pantas dihina.

"Jangan bawa-bawa kota, Putri nggak hidup di kota aja sikapnya begitu buruk. Coba tanya Ibu-ibu yang lain," sahutku ketus.

Bu Nurma mencebik. Dia membuang muka dan berkata, "Nih, Kang. Hitung!" Sekantong kresek hitam di berikan pada Mamang Sayur dengan sedikit kasar. Ucapanku barusan seakan menjadi telak bagi Bu Nurma. Makanya, jangan suka mencubit hidup orang lain kalau nggak mau dicubit balik. Jadi malu kan? 

"Totalnya enam puluh tujuh ribu, sama kemarin hutangnya dua puluh lima ribu, jadi total semuanya sembilan puluh dua ribu, Bu."

"Halah, kebiasaan! Gak perlu pake dua ribu. Nih, uangku seratus ribu, harus kembali sepuluh ribu." Bu Nurma menyodorkan uang seratus ribu pada Mamang Sayur. Kami yang melihat hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Bayangkan saja jika banyak pembeli yang seperti Bu Nurma, betapa tercekiknya hidup para Tukang Sayur. Mereka berjualan dengan untung yang tidak seberapa, tapi pembeli masih saja tega memangkas jumlah uang yang harus dibayar, padahal bisa jadi, uang sekecil itulah yang menjadi laba mereka, para penjual di sekitar kita.

"Nih Bu, kembaliannya delapan ribu ya! Maaf, untung saya sedikit, Bu. Pedagang kecil kayak saya nggak pernah ngambil untung banyak."

"Alasan aja kamu! Yaudah, yang dua ribu aku mintain kangkung nih dua ikat." Seperti tak bersalah, Bu Nurma berlalu sambil mengambil kangkung sekenanya. Padahal dua ikat kangkung bisa terjual sebesar empat ribu rupiah.

"Astaghfirullah, ada ya orang kayak gitu?" lirih Mamang Sayur. Ibu-ibu kembali menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Bu Nurma. 

Aku pulang dan menceritakan semua ucapan Bu Nurma pada ibu. Ibu hanya tersenyum dan mengatakan agar aku bisa sabar menghadapi Bu Nurma. Karena kelak, waktu yang akan menunjukkan kebenarannya. Mendengar petuah yang keluar dari mulut Ibu, aku pun hanya mampu mengangguk sambil tersenyum. Kalau lawannya ibu, mau dijulidin model gimana pun, jawabanya hanya sabar. Tapi aku tidak menyesal sudah melawannya di tempat Mamang tadi. Biar enggak tuman gituloh. Ah! 

"Apa Nia kerja disini aja ya Bu, kan ada perusahaan baru, kali aja keterima?" Aku mengutarakan niatku pada ibu. Bukan karena apa, jika ada lapangan kerja yang lebih dekat, kenapa mencari yang jauh? Gaji besar pun rasanya percuma jika kehidupan di kota serba mahal. Belum untuk makan sehari-hari, biaya kos, skincare, kiriman orang tua, terkadang aku harus rela mengencangkan ikat pinggang demi pendidikan Dana dan Sari. 

Jika aku bekerja di kota ini, bisa pulang dan pergi dari rumah. Tidak jauh dari orang tua yang terpenting. Apalagi jika bisa memantau pendidikan Dana dan Sari.

"Dicoba saja dulu, Nak. Siapa tau rezeki kamu."

"Siap, Bu Bos!" Aku mengangkat satu tangan tanda hormat. "Besok Nina akan coba kirim lamaran kesana. Mohon doanya, Ibu Suri." Ibu tertawa mendengar aku menyebutnya Ibu Suri. Percayalah, tidak ada yang mampu membuat hati tentram dan damai selain senyuman tulus di wajah kedua orang tua. 

"Iya pasti! Tanpa kamu minta pun, pasti ibu akan selalu mendoakan." Aku memeluk tubuh ibu, rasanya bahagia sekali memiliki ibu sepertinya. Disaat para tetangga sibuk membuat pesta besar-besaran untuk menikahkan anak mereka, ibu justru sibuk mengantar aku ke kota. "Nikmati masa mudamu, bekerja dengan baik, agar punya bekal keahlian suatu saat nanti." Itu pesan ibu waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di kota sebelah.

Rumahku memang masih masuk wilayah kabupaten, namun kabupaten yang sedikit pelosok sekali. Adat-adat disini masih sangat kental. Hanya beberapa ibu yang mempunyai pemikiran modern. Bu Tari adalah salah satunya.

Keesokan harinya ....

"Mau kemana, Nin? Udah kayak mau kerja kantoran aja bajumu!" cibir Bu Nurma, matanya menelisik ujung bawah hingga ujung atas bagian diriku.

"Mau melamar kerja Bu, kebetulan ada perusahaan baru disini. Memang kenapa kalau pakaian saya seperti orang kantoran? Daripada anak Ibu selalu pakai baju kekurangan bahan!" sindirku. 

"Ngakunya dari kota, tapi nggak modis!" ketusnya. "Putri juga mau melamar disana kok Eh, palingan kamu enggak keterima deh, Nin. Masa iya melamar pekerjaan pakai celana kulot begitu. Anakku aja pakai rok span pendek. Cantik, nggak buluk kayak kamu."

Sabar Nina, sabar! Ingin sekali rasanya mulut Bu Nurma itu kusiram air cuka, biar dia tau bagaimana kecutnya ucapannya itu. Kalau tidak ingat pesan ibu, sudah aku lawan tuh orang. Dasar tua-tua nggak ada akhlak!

"Sudahlah, mending nggak udah berangkat, yang ada malah kamu malu nanti kalau nggak lolos interview. Balik aja ke kota, biar nggak ada yang tau kalo perut kamu nanti makin besar."

Aku mengeluarkan motor dari dalam pagar. Kusenggol saja pundak Bu Nurma sekalian, biar tau rasa.

"Oo ... Dasar gemblung! Anak nggak tau sopan santun. Diomongin baik baik malah ngajak ribut."

Aku tersenyum, Bu Nurma malah seperti ketakutan melihat senyumanku. Apa dia pikir aku mau mencakar wajahnya? Kalau terkena panas wajah Bu Nurma seperti terbakar, merah padam. Andaikan boleh, sudah tak sobek-sobek itu mulut. Astaghfirullah!

"Sudah ya Bu, Nina mau nutup pagar, pulang gih, ibu saya lagi istirahat. Jangan digangguin! Urusan saya diterima apa enggak, bukan urusan ibu. Doakan saja supaya anak ibu itu lolos interview. Jangan ngurusin saya!"

Aku berlalu dari hadapan Bu Nurma. Kulihat dari kaca spion dia mencak-mencak marah. Telunjuknya menuding kepergianku. Entah apa saja sumpah serapah yang keluar dari mulutnya.

Bersambung

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status