Share

Tuduhan hamil

***

Sepulang dari berbelanja, aku memilih bungkam atas apa yang sudah aku dengar di tempat Mamang. Sekalipun ingin rasanya aku menceritakan pada Ibu apa yang sudah Bu Nurma katakan tentang keluarga kami. Tapi, melihat Ibu yang masih lemas dengan wajah yang semakin memucat, aku lebih memilih menelan semua ucapan pedas Bu Nurma. 

Ibu menungguku memasak di dapur. Terkadang aku merasa tidak berguna sebagai seorang anak, bahkan untuk mengolah masakan saja harus dipandu Ibu tentang bumbu-bumbu apa saja yang harus aku pakai. Tapi jujur, aku memang tidak pandai memasak. 

"Enak, Mbak?" tanya Sari, dia menarik satu kursi dan mendaratkan bokongnya disana.

"Tentu, siapa dulu dong yang masak?" Aku mengangkat kerah baju dan membusungkan dada.

"Halah, sama aja kayak Ibu yang masak. Nasib amat punya Mbak nggak bisa masak!" cibir Dana. Aku melayangkan tinju ke lengannya, membuat lelaki yang tingginya sudah hampir menyamaiku itu meringis kesakitan.

Ibu hanya tersenyum melihat kami bertikai di pagi hari. Entah mengapa, aku juga merasa suasana semakin hidup saat kita sering bercanda dengan keluarga. Tidak lama setelah itu, Ayah datang, membuat kami seketika diam dan duduk dengan tenang di kursi makan.

Sari membantuku membereskan piring kotor, sementara Ibu sudah kembali ke kamar. Semoga setelah kepulanganku ini, Ibu semakin membaik dan keadaannya semakin sehat. 

Setelah tidur siang, entah kenapa badanku tiba-tiba terasa kurang sehat. Mungkin efek dari cuaca yang kini mulai tidak menentu. Terkadang panas, namun sejam lagi bisa saja hujan. Imun tubuhku seperti mulai melemah. Perutku terasa mual seperti tengah diaduk. Saat Ibu sudah benar-benar sembuh, malah giliran aku yang jatuh sakit. 

"Permisi! Spadaaa!"

Aku yang sengaja rebahan di depan Televisi mendengar suara orang dari depan. Sejak dulu, aku tidak terbiasa tidur berlama-lama di dalam kamar meskipun dalam kondisi sakit. Aku merasa tubuhku akan semakin melemah jika tidak dipaksa bangun. Kebetulan, Ibu sedang memasak bubur di dapur untukku. Dana dan Sari sudah berangkat ke sekolah sejak tadi, sementara Ayah juga sudah pergi mengais rejeki seperti biasa.

Meskipun aku sudah bekerja, tidak menjadikan alasan Ayah untuk bermalas-malasan hanya menunggu uang kiriman dariku. Aku ingat, Ayah pernah bilang bahwa harga diri laki laki terletak pada dia bekerja atau tidak. Dan kini aku mengerti alasan Ayah tetap pergi mencari nafkah karena ingin memberikan contoh pada kami, jika lelaki seharusnya tidak lemah sekalipun keadaan tidak berpihak padanya. Sangat jelas terekam di otak, saat Ayah pergi pagi-pagi buta dan pulang hampir tengah malam, demi bisa membayar uang kelulusanku. Jika mengingat perjuangan Ayah, aku tidak pernah bisa menahan butiran bening hingga luruh dari kelopaknya.

"Halooo ... Spadaaa ...!"

Teriakan dari depan membuatku tersadar dari lamunan. Kuseka sudut mata yang sedikit berair mengingat perjuangan Ayah demi anak-anaknya. Dengan langkah gontai dan kepala yang terasa berputar, aku berjalan menuju pintu hendak melihat siapa yang datang.

Aku membuka pintu, "Waalaikumsalam," kataku, meskipun aku dengar dengan jelas jika wanita di depanku ini tidak mengucap salam. "Maaf, Bu. Ada perlu apa ya?" tanyaku basa-basi.

"Mbok yo disuruh masuk dulu, nggak sopan banget orang tua disuruh berdiri di depan pintu," gerutu Bu Nurma. Aku mengangguk dan mempersilahkan dia masuk ke dalam rumah.

"Iya, silahkan!"

Kubuka pintu rumah lebar-lebar. Mata Bu Nurma seolah tengah memindai tiap perabotan di rumahku. Bibirnya bahkan kulihat sesekali mencebik saat netranya menangkap perabotan yang harganya lumayan menguras kantong.

"Mana ibumu?" Bu Nurma mendaratkan bokongnya di kursi kayu yang kubeli dari gaji pertamaku selama bekerja di kota.

Kulihat Bu Nurma berdecak kagum dan mengelus-elus pegangan kursi dengan lembut. Aku rasa, Bu Nurma sedang menghayati duduk di kursi Keraton Jawa. Wanita bertubuh tambun itu menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. Aku begidig ngeri, tiba-tiba merasa aneh dengan sikap Bu Nurma.

"Maaf, Bu. Ibu lagi masak di dapur. Tolong tunggu sebentar, saya panggilkan!" Ucapanku membuat Bu Nurma membuka matanya dan membuang muka ke arah lain. Dia mengangguk, tangannya dikibaskan ke udara seperti sedang mengusirku agar segara pergi. Sejenak aku merasa seperti dialah Sang Empunya Rumah. 

"Punya anak gadis kok kerjaannya leyeh-leyeh terus. Orang tua masih saja disibukkan urusan dapur. Kalau nggak mau repot, panggil Asisten Rumah Tangga dong! Lihat tuh si Putri, udah bisa nyewa ART buat aku!" 

Tak kuhiraukan ocehan Bu Nurma. Malas sekali rasanya harus mendengar dia merepet tentang anaknya yang sejak dulu tidak bersahabat denganku. Sekalipun kita satu tingkat kelulusan, bahkan satu sekolahan saat itu, tapi aku dan Putri hampir tidak pernah bertegur sapa. Putri terkenal dengan sosok yang pemilih dalam berteman.

"Dasar gak ada akhlak! Kelamaan hidup di kota jadi nggak punya unggah-ungguh!"

Aku menarik nafas panjang, jika saja boleh, ingin kusiram wajah wanita di depanku ini menggunakan air sebaskom. Ingin sekali dihormati, tapi dia bahkan lupa bagaimana cara menghormati orang lain.

"Oalah, Bu Nurma toh. Maaf, saya lagi buatin Nina bubur. Kalau boleh tahu, ada apa ya, Bu?" tanya Ibu ramah. Aku turut duduk di sebelah Ibu dengan penasaran. Pasalnya, sepagi ini Bu Nurma sudah bertandang ke rumahku, padahal aku yakin, bahkan para Ibu-ibu yang lain sedang memasak menyiapkan sarapan untuk keluarga mereka.

"Ya iseng aja sih! Aku tuh di rumah nggak ada kerjaan, main-main sebentar di rumahmu yang kecil banget ini masa nggak boleh? Ada tetangga mampir kok pertanyaanmu gitu amat!"

Aku menganga tidak percaya. Sosok seperti apa sebenarnya yang menjadi tetangga kami ini? Sejak kecil aku tinggal di kampung ini, kenapa baru sekarang aku tau jika Bu Nurma itu ternyata nyebelin banget!

Pagi-pagi mengetuk pintu rumah orang. Aku kira ada hal penting, nggak taunya malah iseng-iseng doang. Dia pikir rumah kami tempat pergosipan apa?

"Ah, tapi maaf, Bu. Saya mau lanjutin masak bubur dulu. Biar Nina yang nemenin Bu Nurma ngobrol ya," tutur Ibu hendak berlalu dari hadapan kami.

"Itu kenapa nggak Nina aja yang disuruh masak? Pulang dari kota bisanya nyusahin orang tua, masa sekedar masak bubur aja nggak bisa?"

Lagi, ucapan Bu Nurma terdengar sangat pedas di telingaku. Tapi kulihat Ibu hanya tersenyum tipis dan menepuk bahuku lembut, "Nina lagi nggak enak badan Bu, masuk angin," ujar Ibu mencoba menjelaskan keadaanku yang sebenarnya.

"Udah dibawa periksa?"

Ibu melihat ke arahku dengan kening berkerut. Aku mengedikkan bahu, mungkin memang Bu Nurma terbiasa ke dokter saat masuk angin. Meskipun dalam keluargaku cara mengobatinya hanya cukup istirahat dan tidak telat makan. Aku mencoba berpikir positif pada saran yang Bu Nurma lontarkan.

"Nggak perlu Bu, ini cuma masuk angin biasa kok." Aku menimpali ucapan Bu Nurma. Bergegas ibu kembali ke dapur meneruskan acara memasaknya setelah berpamitan pada Bu Nurma selaku tamu agung di pagi hari.

"Kamu hamil kan? Makanya nggak mau diajakin periksa. Udah ngaku aja daripada entar ketahuan kalau udah gede tuh perut!" Ucapan sinis dari mulutnya keluar begitu saja tanpa disaring terlebih dahulu. Dadaku seperti sedang ditekan dengan kuat, sesak, sakit, saat tuduhan Bu Nurma meluncur begitu saja.

"Alhamdulillah tidak Bu, saya bisa menjaga diri meskipun hidup di kota, lagipula tidak semua kota mempunyai pengaruh buruk bagi masyarakatnya. Tergantung bagaimana kita bersikap dan menempatkan diri agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang Agama."

"Ya, mana ada maling ngaku. Lagipula tanda-tanda hamil muda itu memang mirip seperti orang yang lagi masuk angin!" Mulutnya tak henti melukai hati, sementara tangannya sibuk merogoh toples berisi cemilan di atas meja.

"Maaf Bu, kalau memang tidak ada keperluan yang penting, lebih baik Bu Nurma pulang, saya ingin istirahat, kebetulan ibu juga sedang masak."

Matanya melotot ke arahku, "Kamu ngusir saya?" Bu Nurma bangkit dari duduknya dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Saya benar-benar minta maaf, Bu. Tapi memang sepertinya kedatangan Bu Nurma hanya ingin membuat keributan di rumah saya. Sejak tadi mulut Ibu tidak berhenti mencibir bahkan sudah menuduh saya yang tidak-tidak. Silahkan Ibu pulang saja."

"Baru bisa kerja di kota aja gaya kamu udah kayak yang paling kaya. Ingat, Nin. Ayah kamu cuma tukang becak, kulkas baru juga paling hasil kredit."

Wah, ternyata matanya awas juga. Daritadi berbicara sambil mengamati isi rumah. 

"Alhamdulillah, saya bisa beli cash Bu. Silahkan keluar, pintunya hendak saya tutup."

Bu Nurma mencebik, "Ini jajan apasih, nggak enak banget." Dia merogoh lagi isi toples dan dengan langkah ogah-ogahan keluar dari rumahku.

Gegas kututup pintu setelah Bu Nurma keluar. Kurang kerjaan banget pagi-pagi ngajakin gibah. Jadi kesel kan!

***

"Nin, gimana? Udah berapa bulan? Udah periksa belum? Positif kan?" Bu Nurma mencecarku dengan banyak pertanyaan. Di depan para ibu ibu yang sedang berbelanja, Bu Nurma seolah sedang menggiring opini bahwa aku sedang hamil.

"Positif apa Bu?" Aku pura pura tidak mengerti. Bagaimana bisa positif, melakukan aja belum pernah. Astaghfirullah!

"Iya Bu Nur, positif apa ini?" Seseibu turut menimpali. Bu Nurma tersenyum penuh arti. Sepertinya bahagia sekali ucapannya ada yang menanggapi.

"Kemarin Nina itu sakit, masuk angin kata ibunya. Ya udah, aku suruh periksa, siapa tau hamil. Secara dia kan hidup di kota sendiri. Pergaulan bebas!"

Bersambung

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status