***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas
***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d
***"Akhirnya motor baruku datang juga. Beli kontan dong, makasih ya, Mas sudah diantar ke rumah." Suara Bu Nurma terdengar hingga depan rumahku.Aku yang baru saja pulang dari kantor dibuat tercengang dengan pemandangan di depan rumahnya. Bagaimana tidak ... motor baru yang Bu Nurma beli sama persis dengan motor baru punyaku. Sengaja nih orang!Enggan dikira ingin tau, aku gegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke arahnya."Huuu, pasti ngiri deh!" teriaknya lantang.Di balik pintu aku mengelus dada perlahan-lahan. Jangan sampai emosi meledak saat ini juga. Iri dia bilang? Bukannya yang lebih dulu beli motor itu aku?Argh, entahlah! Bisa gila aku lama-lama kalau masih saja menggubris ucapan Bu Nurma. Benar kata Sari, kalau mau diam ... maka jangan peduli sedikitpun. Kalau mau lawan, jangan pernah ragu. Bertindak jangan setengah-setengah atau Bu Nur tidak akan jera."Ngapain sih di depan pintu sambil merem?"
***"Haduh, Nina ... ada makanan nganggur nggak? Perutku rasanya perih, melilit. Duh ... duh ... mana nungguin Putri dari tadi belum juga pulang," keluhnya sembari memegang perutnya yang buncit.Aku mencebik. "Mana nomor Putri, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Bibir Bu Nurma mengerucut, dia merogoh saku daster dan menyerahkan ponselnya ke arahku. "Nih! cari saja sendiri, nama kontaknya Putri membanggakan!"Lagi-lagi aku dibuat menghela napas panjang. Ucapan Bu Nurma seperti memiliki artian khusus apalagi ketika matanya melirik tajam ke arahku.Apa maksudnya?Ingin membuktikan di depanku kalau Putri itu anak yang membanggakan begitu?Tidak ingin berlama-lama berada di dekat Bu Nurma, segera aku menekan nomor Putri agar wanita paruh baya yang sebenarnya sedang menyandang gelar musuh bebuyutan ini segera enyah dari depanku.Tut ... Tut ... Tut ....Lama ....Cukup lama sekali panggilanku tidak
***"Wah, ada Neng Nina. Mau belanja apa nih, biar Mamang siapkan!" Mamang Sayur tersenyum ramah di depanku. Suasana gerobak Tukan Sayur yang kebetulan sedang sepi, membuatku leluasa memilih sayuran segar untuk memasak hari ini.Jika dihitung, ini adalah kali kedua aku kembali pulang ke kampung setelah 3 tahun aku mengabdikan diri di kota seberang. Bukan tanpa alasan, aku bekerja banting tulang untuk menyokong hidup Bapak dan Ibu, serta biaya sekolah kedua adikku, Sari dan Dana.Ayah yang notabenenya hanyalah seorang tukang becak, seringkali penghasilannya tidak menentu. Apalagi sekarang Dana sudah menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, dan Sari yang setahun lagi lulus Sekolah Menengah Atas.Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, aku berangkat ke kota untuk mengadu nasib. Terbayang wajah Ayah dan Ibu jika aku harus berdiam diri di rumah hanya menunggu jodoh datang. Sudah menja
***Sepulang dari berbelanja, aku memilih bungkam atas apa yang sudah aku dengar di tempat Mamang. Sekalipun ingin rasanya aku menceritakan pada Ibu apa yang sudah Bu Nurma katakan tentang keluarga kami. Tapi, melihat Ibu yang masih lemas dengan wajah yang semakin memucat, aku lebih memilih menelan semua ucapan pedas Bu Nurma.Ibu menungguku memasak di dapur. Terkadang aku merasa tidak berguna sebagai seorang anak, bahkan untuk mengolah masakan saja harus dipandu Ibu tentang bumbu-bumbu apa saja yang harus aku pakai. Tapi jujur, aku memang tidak pandai memasak."Enak, Mbak?" tanya Sari, dia menarik satu kursi dan mendaratkan bokongnya disana."Tentu, siapa dulu dong yang masak?" Aku mengangkat kerah baju dan membusungkan dada."Halah, sama aja kayak Ibu yang masak. Nasib amat punya Mbak nggak bisa masak!" cibir Dana. Aku melayangkan tinju ke le
***Aku tertawa mendengar penuturannya. Wanita yang kutaksir seumuran dengan Ayah itu mengerutkan keningnya melihat ke arahku. Mungkin dia pikir aku akan terpancing emosi dan marah-marah nggak jelas karena di tuduh hamil? Oh, tentu tidak! Itu hanya akan membuat orang lain membenarkan ucapan Bu Nurma.Pelan-pelan aku menjelaskan pada ibu-ibu yang kebetulan sedang berbelanja kalau memang kemarin sedang masuk angin saja, buka hamil. Beberapa nampak percaya dengan ucapanku, dan benar saja, beberapa yang lain nampak meragukan kebenaran yang kuucap, terbukti dari bibir mereka yang mencebik."Jangan suka suudzon, Bu Nur! Hati-hati loh, Putri kan juga perempuan." Bu Tari mulai menimpali."Ya beda dong! Jangan samakan Putri dengan Nina, lagipula nih ya, Putri itu enggak merantau, kalau hangout juga masih saya pantau. Asal Bu Tari tau, teman-temannya aja berkelas."
***Sesampainya di depan gedung tinggi nan menjulang, aku segera memarkirkan motor dan membawa langkah kaki dengan gesit menuju tempat berlangsungnya interview. Benar saja, ada Putri yang sudah duduk dengan anggun di salah satu kursi tunggu bagi kami, para pejuang amplok coklat.Debar demi debar di dada kurasakan dengan nikmat. Satu per satu dari kami masuk ke dalam ruangan. Hingga tibalah giliranku, setelah Putri yang lebih dulu masuk barusan."Dih, norak banget! Nggak bakalan deh keterima, gayanya aja kampungan!" cibir Putri lirih, namun indra pendengarku menangkap jelas ucapannya.Aku mengedikkan bahu, malas saja jika harus berdebat di tempat umum begini. Jangan sampai aku memberikan kesan yang buruk padahal diterima kerja juga belum.Melihatku berlalu tanpa menanggapi ucapannya, kulirik Putri mengehentak-hentakkan kakinya.