Share

Rejeki tidak Tertukar

***

Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.

Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan.

"Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.

Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang mengingat rumah kami hanya memiliki tiga kamar tidur. Satu untuk Ayah dan Ibu, untuk Dana dan terkahir kamar yang kutempati bersama Sari. Semoga tabungan yang kusisihkan suatu saat nanti bisa untuk biaya renovasi rumah. 

"Selamat pagi," sapa seorang perempuan dari seberang sana.

"Dengan Nina Kamilah?" 

Aku mengangguk, "Selamat pagi, Bu. Ya, saya Nina Kamilah."

"Baik, kami dari Perusahaan Karya Mitra ingin mengabarkan jika Mbak Nina diterima bekerja di sini. Apa bisa datang besok pagi untuk melanjutkan interview penempatan jabatan?"

Aku hampir saja memekik girang. Kututup mulutku rapat-rapat dengan air mata yang sudah menggenang. "Bi-- bisa, saya bisa, Bu. Baik, besok saya akan datang."

"Terima kasih, Mbak Nina. Besok bisa langsung temui Bu Dina selaku Assisten HRD di Perusahaan kami ya. Jangan terlambat, sebelum pukul 08.00 harus sudah di tempat. Mengerti?"

"Baik, Bu. Terima kasih."

Tut ....

Panggilan diakhiri membuatku menangis seketika. Bayangan bisa bekerja tanpa harus  merantau ke kota membuatku bahagia sekali. Saking bahagianya sampai air mata enggan berhenti mengalir.

Aku berlari kecil setelah meletakkan ponsel di atas nakas. Tujuanku kali ini adalah Ibu. Berkat doa-doanya aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan.

Kupeluk tubuhnya dari belakang. Ibu nampak sibuk dengan tumisan di atas wajan. "Kenapa? Pagi-pagi sudah merajuk begini. Kalau nggak mau kembali ke kota juga tidak apa-apa, Nak," kata Ibu lirih.

Aku menggeleng tegas. "Ibu selalu begitu," rutukku berpura-pura kesal. "Aku nggak mau merepotkan Ayah sama Ibu di rumah. Aku sudah dewasa, jika bisa bekerja kenapa harus berdiam diri di rumah," kataku tegas.

"Ibu tau nggak ...."

"Nggak tau, kan belum cerita," selanya membuatku gemas. 

Aku terkekeh, sedekat ini memang hubungan kami. Anak-anak Ibu dan Ayah tidak pernah merasa sendiri karena mereka adalah orang tua yang begitu mengerti keadaan anak-anaknya. Bahkan kebohongan sekecil apapun, Ibu akan mudah mengendusnya.

"Barusan dapat telfon, aku keterima kerja, Bu," seruku.

Ibu seketika menoleh. Kulihat kedua netranya menganak sungai. Hingga sepersekian detik, dia memelukku dengan begitu erat. 

"Ibu menangis bukan karena apa, Nak. Ibu bahagia bisa melihat kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan."

Aku mengangguk mengerti, "Yang terpenting, aku bisa setiap hari bertemu Ibu dan Ayah," tuturku lirih.

Ibu mengusap punggungku dengan lembut. Berkali-kali bibirnya mengucap syukur atas apa yang kudapatkan sekarang.

"Tapi sudah terlanjur masak banyak ini. Gimana dong, Bu?"

"Ya nggak gimana-gimana, Nin. Nanti kan bisa dibagi-bagi ke tetangga. Kenapa bingung?" jawab Ibu enteng. "Yang harus kamu ingat, pasrahkan semuanya kepada Allah, karena apa yang kamu anggap baik belum tentu baik, Nak. Pun sebaliknya. Jadi apapun keputusannya nanti, terima dengan ikhlas ya. Bekerja dengan jabatan apapun yang terpenting halal. Kamu mengerti?" Ibu mengusap pipiku lembut.

"Manja amat!" cibir Sari membuat aku dan Ibu tergelak. "Yok ah, Kak. Aku bantu pilih baju." Dia menarik tanganku menuju kamar dan meninggalkan Ibu yang masih menatap kami berdua.

"Pakai setelan yang rapi, nggak perlu terlalu seksi," tegur Sari. Aku mengangguk dan memukul lengan adikku itu dengan lembut. "Siap, Bos!" kataku. Sari mencebik dan membantuku memilih pakaian di dalam lemari. 

***

Aku mengeluarkan motor dari dalam pagar. Jangan mengira rumah kami dilengkapi gerbang yang menjulang tinggi. Pagar yang kumaksud disini adalah pagar yang sengaja dibuat bapak mengitari rumah agar ayam tetangga tidak mudah masuk. Pagar pohon bambu. 

"Udah rapi aja, Nin? Pasti mau balik ke kota ya?" sapa Bu Nurma. "Duh, kasihan sekali kamu. Berharap bisa diterima bekerja di Perusahaan baru, tapi malah nggak lolos. Lihat, Putri! Dia sudah mulai bekerja dari kemarin."

Aku mencebik. Paham sekali kemana arah pembicaraannya kali ini. Apalagi kalau bukan membanding-bandingkan aku dan anaknya lagi. Seolah-olah aku tidak boleh lebih unggul dari Putri.

"Permisi, Bu. Kalau mau menyombongkan anak anda, mungkin lain kali saja ya. Saya buru-buru," kataku tanpa menatap wajah Bu Nurma. "Oh ya, kebetulan hari ini saya juga akan bekerja disana. Jadi jangan sok merasa kasihan sama saya."

"Sombong! Paling-paling juga nanti jadi tukang sapu. Mending balik aja deh ke kota," sahut Bu Nurma seraya mengibas-kibaskan tangan di depan wajah. "Lagipula kalau dibandingkan sama anakku, kamu itu kalah jauh. Putri modis, sementara kamu kampungan!"

Sabar Nina, sabar!

"Iya deh iya, yang anaknya modis. Tolong menyingkir sebentar ya, Bu. Saya mau lewat, tau sendiri kan badan situ lebar."

Bu Nurma mendelik. Kedua tangannya berkacak pinggang menatapku. "Kamu ngatain saya, hah?"

"Ya terserah sih. Kalau merasa badan segede gaban ya syukur, kalau nggak merasa ya sudah. Doain saya ya, Bu. Permisi!"

"Buat apa saya doain kamu. Anak juga bukan! Lihat saja, kamu pasti jadi tukang sapu di Perusahaan baru itu. Jabatanmu jauh di bawah Putri!" teriaknya lantang.

Aku menghela napas kasar. "Udah tau saya bukan anak anda, ngapain Bu Nur sibuk ngurusin saya sih? Anak sendiri aja belum tau disana kerjanya jadi apa."

"Dasar anak tidak punya sopan santun! Dibilangin dari tadi ngeyel aja terus. Daripada kamu sakit hati sama Putri nih ya, mending kamu balik aja ke kota. Nggak usah deh sok nyaingin anak saya."

Lama-lama terpancing juga emosiku pagi ini. "Eh Bu Nurma yang cantik jelata kayak hewan melata. Yang ngiri sama anak ibu juga siapa? Tolong ya, Bu ... jangan suka menyangkut-pautkan saya sama Putri. Nggak jelas banget sih jadi orang," gerutuku kesal.

"Minggir! Kalau nggak, saya tabrak nih!"

Bu Nurma berkacak pinggang dengan kedua mata melotot ke arahku. Gegas saja kutarik gas motor dan meninggalkan Bu Nur yang masih mencak-mencak di belakang sana.

"Bocah gemblung! Dari kota nggak punya adab!" teriaknya lantang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status