Share

TERPAKSA AKU PERGI,MAS
TERPAKSA AKU PERGI,MAS
Penulis: Mini Yuet

Bab 1. Harus Ikut Suami

Setelah ayahku meninggal, semua harta ayah sudah habis untuk biaya pengobatan. Hanya sisa sedikit. Aku mendapatkan uang dari Emak sisa penjualan tanah dan rumah. Aku hanya menurut ketika uang itu diminta oleh suamiku. Hingga adikku Wawan sangat tidak suka dengan sikap suamiku. Sebagai saudara laki-laki dia tidak terima ketika Mas Dani memperlakukan aku seperti itu.

"Mas, uang segitu kasih saya aja. Nanti aku belikan rumah di sini. Tanahnya bisa numpang saya dulu," saran Wawan pada suamiku.

"Gak usah. Dia kan istriku jadi ya harus nurut sama aku," tegas Mas Dani suamiku.

"Kamu nurut sama aku to, Dek?" tanya Mas Dani dengan memandang tajam ke arahku.

"Iya Mas. aku nurut saja," jawabku.

"Tuh Wan. Dia nurut denganku," sahut Mas Dani dengan bangga.

"Tapi Mas. Di sini Mbak Minah kan bisa dekat dengan Emak dan saudara yang lain," bantah Wawan adik laki-lakiku.

"Sudahlah Wan. Kamu jangan ikut campur. Dia itu istriku jadi aku berhak sepenuhnya atas istriku," sahut Mas Dani.

"Kamu harus ikut aku ke kampungku lo Dek," ucap Mas Dani.

"Iya Mas," sahutku lemas.

Aku tidak mampu membantah semua ucapan Mas Dani. Apalagi saat ini baru saja mempunyai bayi. Otomatis aku tidak bisa berbuat banyak.

Aku baru saja melahirkan anak keduaku Zaki Pratama. Aku adalah istri kedua dari Dani Pratama. Baru saja satu bulan aku melahirkan putra kedua, aku harus meninggalkan kampung halamanku karena semua rumah dan tanah harus dujual untuk pengobatan almarhum Bapak.

Walaupun Bapak sudah meninggal tapi kami sudah lega paling tidak kami sebagai anaknya sudah berusaha semaksimal mungkin.

Sejak Mas Dani memutuskan untuk membawa kembali ke kampung halamannya, aku tidak bisa tidur. Mana mungkin aku akan tinggal di kampung itu. Sementara istri pertama Mas Dani juga berada di kampung itu. Cuma beda dukuh saja. Aku tidak bisa membayangan hidup satu kampung dengan istri pertama Mas Dani.

Lalu aku juga harus tinggal di mana? Apakah aku harus tinggal dengan kakak iparku?

"Dek, Zaki sudah tidur belum?" tanya Mas Dani sambil memelukku.

"Masih netek, Mas," jawabku.

"Kamu belum sembuh ya, Dek?" tana Mas Dani sambil menciumi leherku.

Dalam keadaan seperti itu, aku juga ikut merasakan suatu yang mulai bergejolak. Namun, aku masih belum selesai nifas. Keinginan Mas Dani begitu kuat hingga dia memelukku. Tangannya mencoba membangkitkan gairah.

"Sabar Mas, aku belum bersih," jawabku dengan halus untuk menolaknya.

Mas Dani memang mempunyai libido yang sangat tinggi. Dia sudah tidak sabar ingin segera minta dilayani.

"Hmmm. Kok lama sekali sih, Dek. Ya sudah aku keluar dulu lah mencari udara segar," sahut Mas Dani dengan kesal.

Aku tidak memperdulikan kemana mas Dani pergi. Sambil mengusap air mata yang mulai menetes.Tanganku mengusap kepala Arsyad yang tidur pulas di samping Zaki.

Aku sangat kahwatir dengan uang pemberian emak yang diberikan pada suamiku. Sepertinya Mas Dani tidak tenang tinggal di rumah kalau sudah pegang uang. Katanya Mas Dani ingin buka usaha kecil-kecilan dengan uang pemberian emak. Aku hanya percaya dengan Mas Dani.

Keputusan suamiku untuk membawaku pulang ke kampungnya sempat membuat gelisah. Sementara emak tidak tahu kalau sebenarnya Mas Dani dan istri pertamanya belum cerai. Dulu menikah denganku dia mengaku perjaka. Aku hanya percaya saja. Bagaimana tanggapan tetangga kalau tahu aku tinggal satu kampung dengan istri pertama Mas Dani.

Akhirnya karena kecapaian aku tertidur dengan posisi miring sambil menyusui Zaki yang masih berusia hampir sebulan lebih.

Sebelum Subuh aku sudah bangun. Zaki dan Arsyad masih tidur. Aku segera membantu emak yang sudah sibuk di dapur.

"Min, suamimu belum pulang, to?" tanya Emak sambil duduk di depan tungku batu. Kami tidak mempunyai kompor gas hanya tungku yang terbuat dari tumpukan bata yang disusun. Emak mencari kayu bakar dan menggunakan batang jagung yang sudah dipanen.

"Belum Mak," jawabku singkat sambil mengucek ompol Zaki yang menumpuk.

"Kamu jadi pindah ke kampung suamimu, Min?" tanya Emak.

"Ya jadi Mak. Lagian aku mau tinggal di mana? Sebentar lagi rumah ini juga dibongkar oleh pembelinya. Emak ikut Dek Dilla," sahutku.

Rumah tempat tinggal kami satu-satunya memang harus dijual untuk menutupi kekurangan biaya rumah sakit Bapak. Sehingga aku terpaksa ikut Mas Dani dibawa pulang ke kampungnya. Aku juga belum tahu mau tinggal di mana.

"Kamu sebenarnya bisa beli rumah yang kecil dari sisa penjualan rumah ini yang Emak berikan padamu," ujar Emak lagi.

"Iya Mak. Tapi Mas Dani gak mau. Dia ingin bawa aku dan anak-anak pulang kampung," jawabku.

"Ya sudah. Nanti uangmu diminta Dani, gak tau juntrungnya," gerutu emak.

Aku hanya diam tidak menyahut ucapan Emak. Mas Dani memang punya tabiat buruk yaitu suka main judi. Tapi aku selalu percaya dengannya tidak mungkin dia akan menghabiskan uang sisa penjualan rumah.

Dengan gelisah aku menunggu kepulangan Mas Dani. Sepertinya dia lupa memberikan uang untuk belanja dan jajan buat Arsyad. Aku hanya pegang uang sedikit untuk belanja Emak dan anak-anaku. Hingga Arsyad berangkat ke sekolah hanya jajan sedikit. Sebenarnya anak itu masih merengek tapi aku meyakinkan kalau ayahnya pulang pasti dibelikan mainan.

Hngga siang, suamiku belum juga pulang. Kemana aku harus mencarinya sedangkan ponsel saja tidak punya. Kejadian seperti ini sudah sering dia lakukan. Pergi dari rumah tanpa kabar baru pulang seminggu kemudian tanpa membawa uang. Dia bilang sedang ikut ke bengkel untuk memperbaiki bis tarikannya yang rusak.

Aku sudah sibuk dengan Zaki yang masih menyusu. Hingga sore Mas Dani baru pulang dengan mata yang merah. Aku menyambutnya dan berusaha ramah dengannya.

"Dek, mulai nanti malam kita akan pindah ke kampungku!" titah Mas Dani langsung masuk ke dalam bilik.

Aku segera menyusulnya. Namun dia tertidur dengan suara dengkurnya yang keras. Aku tinggalkan Zaki menangis di ayunan bambu. Aku tidak mengerti mengapa Mas Dani secara tiba-tiba menyuruhku untuk berkemas. Padahal emak sudah bikang kalau boleh menempati rumah ini sampai akhir bulan sebelum rumah ini dibongkar.

Kugendong Zaki sebentar lalu menyusuinya setelah bayiku tertidur aku segera mengambil tas besar untuk mengemasi semua baju dan perlengkapan Arsyad sekolah. Aku tidak punya apa-apa. Hanya perabot dapur sedikit serta baju milikku.

Emak menghampiri dan duduk di samping bale panjang tempat aku melipat baju Zaki dan Asyad. Sementara Zaki terlelap dalam tidurnya. Arsyad main ke rumah tetangga yang tidak jauh dari rumah kami.

"Min, kamu jadi ikut dengan suamimu?" tanya Emak sedih.

"Iya, Mak," sahutku lemah.

"Lalu kalian mau tinggal dimana?" tanya emak lagi.

"untuk sementara mungkin ikut dengan Mbak Ira kakaknya," jawabku tanpa menatap mata Emak.

Aku tahu emak bakal sedih kalau aku jadi ikut dengan Mas Dani. Emaklah yang paling tahu seluk beluk rumah tanggaku yang sering berantem gara-gara ekonomi. Bahkan dulu aku pernah mondar mandir dari Jakarta ke kampung karena ikut dengan Mas Dani. Setelah badai yang menimpa keluargaku dengan kepergian Bapak karena sakit diitambah harus dijualnya semua aset tanah dan rumah untuk biaya rumah sakit. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain harus nurut dengan Mas Dani. Apalagi aku baru saja melahirkan.

"Coba tanyakan pada Dani,kemana uang yang sudah emak berikan padanya. Apa kamu gak dikasih sama sekali?" tanya Emak.

"Iya Mak, coba aku tanyakan," ujarku sambil berdiri.

"Mas, uangku dari Emak mana?" tanyaku sambil memegang pundaknya.

"Dih kamu kok berisik amat sih. Aku barusan kena polisi. Uangnya sudah habis!" teriak Mas Dani dengan menyikutku.

Mendengar ucapannya di sela tidur dan bau alkohol yang menyengat badanku lemas. Bagaimana mungkin uang sebanyak itu bisa habis dalam waktu semalam. lalu apa yang aku punya saat ini? Aku ingin teriak memaki diriku sendiri. Ya Allah, cobaan apa lagi ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status