Share

Bab 2 PIndah

Mendapat pukulan dari Mas Dani, aku langsung keluar dari dalam bilik. Bagaimanapun aku harus menyembunyikan kesedihan ini di depan Emak. Dia tidak boleh tahu kalau aku dan Mas Dani sedang bertengkar gara-gara uang sisa penjualan rumah.

Semua bajuku dan anak-anak sudah masuk ke dalam tas besar. Tinggal membereskan perabotan dapur yang kupunya. Aku melihat Emak juga bersedih di dapur. Sepintas aku melihat mata tuanya berembun. Mungkin Emak juga bersedih karena aku harus meninggalkan kampung dan ikut dengan suami.

Aku ikut membantu emak masak dan mempersiapkan makan untuk Arsyad dan Mas Dani kalau bangun nanti. Hanya menu sederhana yaitu sayur bayam dan tempe. Tidak ada yang istimewa untuk makan sore.

Mas Dani keluar bilik dengan muka yang sangat kusut.

"Dek, aku lapar," ujar Mas Dani langsung duduk di kursi meja makan.

"Iya ini sudah aku persiapkan," jawabku dengan cepat mengambilkan piring dan menyendokkan nasi untuknya.

"Gimana kamu sudah siap, Dek?" tanya Mas Dani.

"Iya, Mas. Aku sudah memasukkan semua barangku di tas besar," jawabku.

"Ya sudah kalau gitu. Nanti malam ada mobil pick up yang akan datang untuk menjemput kamu dan semua barang kita," ujar Mas Dani sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

Aku hanya diam tidak berani membantah semua perkataan Mas Dani. Setelah selesai dia masuk ke dalam kamar kembali, sementara aku membereskan semua makanan yang ada di meja makan.

Ketika Mas Dani ke kamar mandi aku sangat penasaran dengan ponsel Mas Dani yang tergeletak di tempat tidur. Iseng aku membukanya. Tidak ada kesulitan bagiku karena ponsel itu masih model lama. Mataku membelalak ketika membaca pesan yang masuk. Di sana Mas Dani mengaku kalau duda dan tidak punya anak. Dia juga mengaku sebagai bos yang punya beberapa mobil.

Mas Dani memang pria yang mempunyai wajah tampan dengan kumis tipis yang melintang di atas bibir seksinya. Postur tubuhnya tinggi dengan senyum yang memikat. Berbanding terbalik denganku. Aku tidak terlalu cantik dengan mata sipit dan hidung yang standar. Gigi yang agak sedikit tonggos ke depan. Tapi aku mempunyai kulit yang sangat putih dan bersih serta bentuk badan yang bagus. Banyak orang bilang kalau aku sangat beruntung karena mendapatkan suami seganteng Mas Dani. Mereka hanya memandang luarnya saja tanpa melihat begitu menderitanya diriku.

Dadaku mendadak sesak dan nafasku turun naik. Cobaan apalagi ini. Kupikir suamiku sudah tobat karena sudah memiliki dua anak. Nyatanya masih saja dia menipu wanita lain dengan mengatakan kalau dia tidak punya keluarga.

Aku mencoba menghapus air mataku dan menghapus semua nomer yang berhubungan dengan wanita itu kemudian aku mengambil kartu yang ada di dalam ponsel jadul milik suamiku. Kemudian aku meletakkan kembali ponsel itu di atas ranjang.

Aku keluar menggendong Zaki yang menangis. Mas Dani mana pernah menyentuh Zaki. Walaupun dia adalah ayah kandungnya namun belum pernah sekalipun dia menggendong ataupun memangku Zaki. Entah apa salahnya.

"Dek Minah!" teriak Mas Dani sangat kencang hingga Emak keluar dari dapur. Dia hanya berdiri di depan ruang tamu.

"Ada apa, Mas?" jawabku kesal.

"Kamu apain Hpku? Kamu jangan lancang! Di kartu itu banyak sekali nomer penting," ujar Mas Dani dengan menaikkan nada suaranya.

Aku tidak menjawabnya karena masih kesal. Ketika melihat Emak berdiri di depan pintu. Mas Dani mengurungkan niatnya untuk memarahiku. Dia seperti kesal dan kembali ke bilik. Entah sampai kapan kehidupanku akan seperti ini. Selalu mengerti tentang keadaan suamiku. Karena aku masih cinta dengan pria itu dan bertahan demi anak-anaku.

Sekitar pukul tujuh malam. Mobil pick up warna hitam tiba di depan rumah. Semua barang sudah disiapkan di depan rumah. Tidak ada acara pamitan dengan kedua adikku. Bahkan mereka juga tidak ada yang datang melepas kepergianku dari kampung itu. Hanya emak yang kupeluk tanpa bisa berkata apapun. Emak hanya bisa menangis.

Semua barang dan tas besar milikku sudah dinaikkan ke atas mobil pick up. Arsyad langsung naik di jok depan sebelah supir. Sementara Aku menggendong zaki. Mas Dani pamit dengan emak. Aku tidak mampu melihat rumahku untuk yang terakhir kalinya. Rumah yang penuh perjuangan. Banyak sekali kenangan yang tertoreh di sana. Dulu aku dan bapak bahu membahu mengumpulkan uang untuk membangun rumah. Kini bapak pergi meninggalkan dunia ini dengan membawa rumah dan semua peninggalannya. Aku tidak mau bersedih atau meratapinya semuanya. Bagiku semuanya adalah takdir.

Dalam perjalanan Mas Dani hanya mendiamkanku. Dia tidak menyapa, bahkan sibuk dengan ponselnya. Entah dia mengirim pesan kepada siapa. Aku akan menghadapi kehidupan di kampung suamiku. Satu kampung dengan istri pertamanya dan saudara dari suamiku.

Setelah menempuh perjalanan setengah jam, mobil memasuki sebuah gang yang sempit. Rumah kakak iparku terletak di dalam gang itu. Tidak ada akses mobil sampai ke depan rumah kakak iparku. Terpaksa mobil pick up itu berhenti di pinggir jalan. Mas Dani turun dari mobil dan menurunkan semua barangku. Aku turun mendekap Zaki dalam gendongan sambil menggandeng tangan Arsyad. Aku melangkah pasti menuju ke rumah kakak iparku. Semoga aku bisa menjalani hidup dengan kakak iparku.

"Assalamualaikum," sapaku pada Mbak Desi, kakak iparku.

"Wa alaikum salam," sahut Mbak Desi langsung menyambutku dengan ramah.

"Masuk, Dek Minah. Sini Zaki aku gendong. Kamu bereskan semua barang yang ada di jalan," ujar Mbak Desi langsung mengambil Zaki dari dalam gendonganku.

Semua tetangga Mabk Desi memandangku dengan pandangan yang menyelidik.

"Mbak, istrinya Mas Dani ya?" tanya Sri salah satu tetangga Mbak Desi.

"Iya Mbak,"sahutku sambil menenteng tas besar bajuku. Mereka hanya melihat saja tanpa ada yang mau bantu mengangkat barangku. Aku hanya menghela nafas panjang.

Setelah semua barangku masuk ke dalam rumah Mbak Desi, aku istirahat sebentar sambil minum es. Tadi aku lihat Mas Dani dijemput temannya menggunakan sepeda motor. Aku agak kikuk ketika pertama kali masuk ke rumah Mbak Desi.

Mbak Desi adalah kakaknya Mas Dani. Dia adalah janda mempunyai dua anak laki-laki. Anak yang pertama sudah menikah dengan anak tetangga kampung. Sementara anak kedua masih bujang dan belum bekerja. Pekerjaan Mbak Desi adalah tukang urut yng suka menolong orang yang datang ke rumah. Zaki sudah tidur digendong Mbak Desi.

"Sini Mbak biar aku gendong Zaki," ujarku mencoba mengambil Zaki dari gendongan Mbak Desi. Biar aku bisa lekas rebahan dan istirahat sebentar.

"Biar Zaki ikut aku aja,Dek Minah. Oh ya tolong masakin mi rebus buat Mbak Desi, ya, Dek. Kebetulan tadi Mbak Desi belum makan," titah Mbak Desi kepadaku.

"Ya, Mbak. Di mana minya?" tanyaku agak kikuk karena belum pernah masuk ke dapur Mbak Desi .

"Itu lo di dalam lemari," sahut Mbak Desi.

Aku mencari mi yang dimaksut dengan Mbak Desi. Ternyata memang benar hanya ada sebungkus mi. Lalu bagaimana dengan anakku kalau minta nanti?

Melihat keadaan dapur mendadak kepalaku menjadi pusing. Dapur berantakan dengan piring bekas makan yang berserakan. Bau menyengat dari dapur yang hampir membuatku muntah.Benar-benar jorok kakak iparku ini. Baju kotor menumpuk di ember besar dalam kamar mandi. Lantai licin dan sampah juga membusuk lama tidak dibuang.

Aku sepertinya ingin berteriak dengan sekuat tenaga. Aku masuk ke dalam tempat yang paling menjijikkan di dunia. Kesan pertama dengan kakak iparku adalah dia hanya bisa memerintah dan tidak ada sisa makanan di dapur.

"Ya Tuhan, semoga aku kuat hidup satu atap dengan kakak iparku," bisikku.

Aku melamun hingga tidak sadar mi yang kurebus habis airnya. Tercium bau hangus di kompor.

"Aduh, alamat kena marah dari kakak iparku," pikirku. Wajahku sedikit pucat dengan jantung yang berdetak lebih kencang.

"Dek MInah!" teriak Mbak Desi dari luar.

"Kok hangus to," teriaknya lagi.

"Iya Mbak. Hangus," sahutku dengan suara bergetar.

"Ya sudah beli lagi, Dek. Aku lapar banget," ucap Mbak Desi

Aku keluar dapur dan meminta uang sama Mbak Desi. Tapi jawaban Mbak Desi malah membuatku mengurut dada.

"Mbak Desi lagi gak punya uang. Ya sudah pakai uangmu dulu deh," kata Mbak Desi.

"Ya Allah perhitungan sekali mbak Desi," batinku sambil berlalu dari hadapannya dan menuju warung untuk membeli mi rebus.

Semoga aku kuat hidup dengannya.

Aku menuju warung untuk membeli mi yang dimaksut oleh Mbak Desi. Di sana bertemu dengan Mbak Must. Wanita yang seumuran denganku memandang lama.

"Maaf Mbak. Kok baru lihat. Mbak ini siapa?" tanya Mbak Must.

"Saya Minah, Mbak. Istrinya Mas Dani," ucapku memperkenalkan diri.

"Apa istrinya Mas Dani? Bukannya dia sudah punya istri?" tanya Mbak Must.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku segera berlalu dari warung itu. Semoga aku kuat dengan gunjingan tetangga.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status