Share

Bab 3 Kayak Babu

Aku tidur di ruang tamu dengan kedua anakku, Zaki dan Arsyad. Mbak Desi cuma punya dua kamar. Yang satu untuk kamar Mbak Desi sementara yang satunya untuk anaknya Dimas. Setelah aku memasakkan mi untuk Mbak Desi kemudian aku rebahan menyusui Zaki yang masih rewel. Sementara Mas Dani tidak pulang ke rumah. Entah kemana suamiku itu. Dia menitipkan aku pada kakaknya namun dia tidak memberikan sepeser uang untuk belanja.

Bagaimana dengan jajan anak-anak. Sambil menyusui pikiranku tidak tenang.

Paling enak memang hidup di lingkungan keluargaku sendiri jadi aku tidak merasa segan dengan orang lain. Apalgi Mas Dani kan masih punya istri. Dia bilang sudah tidak menyintai istrinya itu tapi mana ada yang tahu. Bisa jadi dia nginep di rumah istri pertama karena di tempat kakaknya tidak punya kamar. Duh, kenapa pikiranku curiga dengan suamiku itu. Hingga aku kelelahan dan akhirnya aku tertidur di lantai dengan alas tikar tanpa kasur.

Prangg...prang

Aku terperanjat ketika terdengar suara panci yang jatuh di dapur. Aku mengucek mataku. Masih jam setengah 4 pagi. Kenapa Mbak Desi sudah berisik kayak begitu.

Gegas aku pergi ke toilet untuk membersihkan muka dan buang air kecil.Di dapur sudah ada Mbak Desi dengan wajah yang cemberut. Aku merasa tidak enak karena numpang di tempatnya Mbak Desi.

"Dek, kok gak ada piring dan gelas yang bersih ya?" tanya Mbak Desi.

"Iya Mbak. Semalam kecapean jadi belum sempat cuci piring," sahutku segera menuju kamar mandi. Di sana sudah ada satu ember piring kotor dan baju Mbak Desi yang belum dicuci.

Aku segera mengambil tempat duduk dan mencuci piring serta perabot yang kotor. Setelah selesai aku kemudian mengambil celana Zaki dan Arsyad untuk kucuci.

"Dek Minah. Sekalian bajuku yang di ember dicuci ya. Badan Mbak Desi sakit semua nih. Masuk angin," perintah Mbak Desi

Sambil duduk aku menelan ludah.

Glek..

Mbak Desi menyuruhku mencuci pakaian? Apa dia merasa aku ini pembantunya. Seenaknya saja dia nyuruh aku mencuci pakaian dan piring.

Aku hanya diam tidak menjawab.

"Dek, sekalian ya bajuku dicuci," ujar Mbak Desi sekali lagi.

"Iya Mbak," sahutku lirih. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyangkupi perintahnya.

Aku mencuci semua baju kotor milik Mbak Desi dan Dimas anaknya. Dengan perasaan dongkol dan kesal. Kalau tau begini lebih baik aku tidak mau diajak pindah ke sini.

Hampir jam setengah enam aku selesai mengerjakan pekerjaan di dapur Mbak Desi. Perutku teras sakit dan melilit. Mencuci piring dan pakaian menguras semua tenagaku. Aku ingin masak nasi namun tidak tahu Mbak Ira menaruh beras di mana.

Aku mengintip kamar Mbak Desi yang letaknya dekat dengan dapur. Di sana ada satu karung beras dan mi yang ada di plastik serta roti kering di atas lemari baju.

Wah, kenapa Mbak Desi bilang tidak punya mi,padahal di dalam kamarnya banyak sekali mi instan yang tergantung dalam plastik. Iseng aku ingin menanyakan beras untuk memasak nasi. Mungkin anaku lapar karena semalam cuma makan sedikit.

Aku menghampiri Mbak Desi yang duduk di teras rumahnya. Dia sepertinya sedang makan nasi pecel dan mendoan. Dia sangat rakus makan gorengan. Ketika aku mendekatinya tidak sedikitpun dia ingin memberiku makanan itu. Aku hanya menelan ludah.

"Mbak, berasnya di mana? Aku ingin masak nasi?" tanyaku pada Mbak Desi..

"Ya beli to Dek Minah. Aku udah beli nasi pecel kok. Satu bungkus lagi buat Dimas. Jadi kamu masak sendiri aja buat kamu dan anakmu," ujar Mbak Desi.

"Aku gak punya uang Mbak. Emang Mbak Desi gak punya beras dan mi. Untuk sementara aku pakai dulu," ujarku.

"Gak punya Dek Minah. Nanti nunggu Dani aja. Dia belum pulang," sahutnya dengan nyantai.

Menunggu Mas Dani? Kapan? Aku juga tidak tahu di mana dia sekarang. Mungkin dia tidur di tempat istri pertamanya atau di mana aku juga tidak tahu.

"Ya sudah Mbak," sahutku lemah. Terpaksa aku beli beras dengan uang simpananku sendiri. Uang yang kuperoleh dari teman dan saudara yang memberiku saat aku melahirkan Zaki. Aku tidak pernah bilang dengan Mas Dani.

Baru saja akan keluar terdengar Zaki menangis. Sambil menggendong Zaki aku menuju ke warung untuk membeli beras.Mbak Desi seperti tidak perduli dan agak cuek dengan keadaanku dan kelelahanku.

"Mbak, beli beras sekilo," ujarku pada Mbak Must penjual sembako dekat rumah.

"Lo, kamu sekarang tinggal dimana Mbak?" tanya Mbak Must.

"Tinggal dengan Mbak Desi ," jawabku singkat.

"Oh, dia kan punya banyak beras to Mbak. Pasiennya kan banyak. Yang datang pasti ada yang bawa beras. Masak kamu tinggal dengannya tapi harus beli beras sendiri," ujar Mbak MUst.

"Ya gak tahu Mbak. Tapi dia bilang gak punya beras jadi ya aku harus beli beras sendiri. Aku gak mau anaku kelaparan karena gak makan," ujarku.

"Yah apa enaknya tinggal satu rumah dengan Kakakmu itu. Satu kampung juga sudah tahu semua sifatnya,"kata Mbak Must lagi.

"Ya sudah kalau gitu Mbak," ujarku dengan memberikan uang untuk membayar beras dan telur untuk makan anakku.

Sampai di rumah Mbak Desi . Sepertinya ada tamu yang datang. Mereka adalah pasien Mbak Desi yang meminta urut dengannya. Aku langsung masuk ke dalam dapur. Untuk sementara aku meletakkan Zaki di kamar untuk salat.Karena kalau sambil menggendong aku pasti kewalahan. Baru saja aku ingin mencuci beras, wanita itu sudah berteriak dari ruang tamu.

"Dek Minah, tolong buatkan teh untuk tamu ya!" perintah Mbak Desi.

"Iya Mbak," sahutku.

Aku segera memasak air panas untuk membuat teh. Sepintas aku melihat buah mangga dan semangka di dalam kamar Mbak Desi. Mendadak air liurku bangkit. Ingin sekali aku makan mangga yang seperti itu. Ah tunggu aja pasti Mbak Desi akan memberiku sebagian dengan anak-anakku.

Aku membawa nampan berisi teh dan cemilan untuk tamu Mbak Desi. Wanita yang bertubuh gembul itu memperkenalkan aku dengan tamunya. Sementara aku hanya tersenyum lalu berlalu dari hadapan mereka. Aku segera masak nasi dan membuat telur dadar untuk Arsyad. Setelah semua siap aku makan sedikit untuk mengganjal perutku yang lapar.

Sekitar setengah jam, tamu Mbak Desi sudah pulang. Dia masuk ke dalam dapur. Melihat aku makan dengan telur dadar dia lalu mengambi piring.

"Wah, kayaknya kamu sudah masak ya Dek. Perutku lapar nih habis ngurut. Ini telurnya aku makan ya?" tanya Mbak Desi mengambil telur yang ada di piring.

Bagaimana aku akan melarangnya, dia sudah mengambil piring dan telur. Lalu dengan rakus dia makan di ruang tamu. Nasi yang aku masak bahkan tinggal sedikit.

Aku hanya diam. Ada sesak di hatiku. Bahkan kakak iparku menganggap aku ini sebagai pembantu di rumah ini.

Habis makan Mbak Desi hanya menaruh piring kotornya tanpa mau mencuci. Kemudian dia masuk ke dalam kamar. Terdengar dia makan sesuatu. Aku pikir dia akan memberiku sedikit mangga atau semangka. Nyatanya tidak. Dia hanya makan sendiri.

Ya Tuhan manusia macam apa orang itu. Sudah tidak mau mengeluarkan uang kok mau makan juga. Pelitnya gak ketulungan.

Aku minum air putih dan mencuci piring kotor. Hanya sisa telur sedikit untuk Arsyad. Dia masih bermain dengan anak tetangga.

Suamiku mempunyai dua saudara. Rumahnya berjejer. Kakak iparku yang satunya adalah pedagang nasi goreng keliling. Omsetnya sangat banyak hingga kehidupannya sangat mapan. Istrinya saja memakai perhiasan dan kalung yang banyak. Iseng aku main ke rumah Mbak Sih, kakak iparku yang paling tua. Mereka sepertinya sedang makan sate ayam. Arsyad menangis ingin meminta sate itu tapi Mbak Sih tidak memberikannya.

"Buk, aku pengen itu," rengek Arsyad dengan menunjuk sate yang dimakan oleh putranya Mbak sih.

"Sttt,satenya sudah habis. Nanti nunggu ayahmu saja ya," bujukku sambil menggandeng tangan Arsyad untuk masuk ke dalam rumah.

Betapa mengenaskan hidupku, rumah tidak punya, Harus numpang dengan kakak ipar. Dia juga memperlakukan aku sebagai pembantu. Satu lagi pelitnya gak ketulungan.

Sampai malam saumiku baru pulang. Kusambut dengan gembira wajah suamiku itu. Dia nampak ada masalah. Hingga pulang dengan wajah yang kusut.

"Mas, sudah makan apa belum?' tanyaku pada dia.

"Sudah Dek. Kamu sudah makan apa belum?" tanyanya dengan merangkul pundakku dan mengecup lembut keningku. Perlakuan Mas Dani seperti ini yang membuatku luluh dan tidak jadi marah dengannya. Walaupun sebelumnya amarah sudah memuncak tapi ketika dia merangkulku semua amarah hilang.

"Sudah Mas. Aku bikin mi ya buat Mas Dani," ujarku padanya.

"Gak usah Dek," sahutnya. Dia kemudian merebahkan tubuhnya di atas tikar.

Aku tidak berani mengganggunya. Baru saja kami bercengkerama seorang anak laki-laki datang mencarinya.

"Mbak, Bapak ada?" tanya anak itu sambil matanya mencari Mas Dani.

"Ada," jawabku dengan dahi mengernyit.

Apakah dia anak Mas Dani dari istri pertamnya.

Mas Dani langsung bangun dan menghampiri anak itu. Agak kasar dia menarik anak remaja itu. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Tanpa izin padaku Mas Dani lalu pergi dengan anak remaja itu. Siapa sebenarnya dia?

&&&&

Sudah seminggu aku tinggal dengan kaka iparku. Aku harus menahan perasaan ketika dia menganggapku sebagai pembantu. Bahkan aku harus mengurut dada ketika dia tidak pernah memberikan sesuatu padaku. Aku juga harus menyimpan dongkol ketika semua makanan memakai uangku. Hingga aku dikejutkan dengan kedatangan orang tua yang mengaku mertua Mas Dani,

"Nenek siapa?' tanyaku tidak mengerti. Aku duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah Mbak Ira.

Sambil memangku Zaki yang sedang menyusu.

"Oh ini istri kedua Dani itu. Padahal gak cantik kok mau jadi istrinya Dani. Pelet apa yang kamu gunakan hingga Dani bisa kecantol denganmu?" gertak Nenek itu.

Langsung saja hatiku terluka mendengar gertakan dari nenek itu. Tapi apa salahku? Aku tidak pernah tahu kalau Mas Dani itu sudah punya istri. Dia mengaku belum pernah menikah. Jadi apa salahnya? Aku hanya diam dan tertunduk. Saat ini aku masih punya anak kecil jadi aku tidak bisa kemana-mana. Keluargaku pun tidak ada yang mendukung. Jadi aku harus sabar menerima setiap hinaan dari keluarga suamiku ataupun dari istri pertamanya. Yang penting Mas Dani masih mencintaiku. Ah aku tidak tahu mungkin aku terlalu cinta dengan pria ganteng itu sehingga membutakan mata untuk melihat kenyataan yang ada.

"Dasar Lo*n*e. . Udah tahu sudah punya istri dan anak.Kenapa masih mau dinikahi dengan Dani. Pasti kamu yang nyosor dengan Dani. Anaku lebih cantik dibanding kamu," umpatnya sambil meludah di lantai.

Kemudian Nenek itu berlalu begitu saja. Jadi dia datang hanya untuk menghinaku.

Ya Tuhan, andaikan aku tidak berdaya seperti ini pasti aku tidak mau dibawa ke kampung ini. Di sini aku harus menebalkan wajah dan menyumpal telingaku dari suara miring yang aku dengar.

Hingga Mas Dani pulang aku segera menemuinya.

"Mas, mertuamu datang. Dia memakiku dengan ucapan kotor. Aku gak sanggup untuk mendengarnya, Mas,' ujarku.

"Sudahlah .Biarin aja. Ngapain ngurusin orang. Yang penting kita jalanin saja," sahut Mas Dani.

Mengapa dia sangat tenang menghadapi ini semua. Apakah aku ini memang pelak*r.

Mbak Desi datang dengan membawa dua bungkus bakso. Dia menyuruhku untuk mengambil mangkok kosong untuk tempat bakso.

"Dek Minah, tolong ambilkan mangkok untuk bakso,'' titahnya padaku.

"Baik Mbak," ujarku. Aku meletakkan Zaki di tikar. Mas Dani tidak mau memegang bayi itu. Dia lebih asyik duduk di teras dengan menyulut rokok.

Kupikir Mbak Desi akan memberikan satu bungkus untukku dan Arsyad nyatanya tidak. Dia memberiku sedikit saja. Sambil menelan ludah aku tidak jadi makan bakso itu. Aku berikan anaku yang terus rewel meminta jajan dan buah seperti punya anak Mbak Sih kakak iparku.

Dasar kalau sudah pelit ya tetap saja seperti itu. Aku bersumpah kalau aku sudah punya uang pasti aku akan beli bakso seperti itu dan memberikan jajan yang banyak untuk anaku.

Hingga Mas Dani menarikku ke dalam kamar Dimas keponakannya. Dia sepertinya tidak sabar ingin melakukan hal itu karena aku sudah lama bersih dari nifas.

"Mas, ini siang hari lo," tegurku agar menunggu hingga malam.

"Gak apa-apa, Dek, mumpung Arsyad main ke tempat tetangga. Zaki juga tidur," paksa Mas Dani.

Dia langsung mendorongku ke atas kasur itu. Padahal bilik tidak ada pintunya hanya tertutup dengan kain korden. Sepertinya Mas Dani sudah tidak bisa mengendalikan nafsu.

"Mas, aku belum suntik KB. Tahan dirimu," ujarku dengan mendorong tubuh kekarnya.

"Dek Minaaaaaah!" teriak Mbak Desi menggagalkan rencana Mas Dani untuk menindih tubuhku. Aku memang belum siap untuk melayaninya. Aku juga belum suntik KB. Bagaimana kalau aku nanti hamil dengan keadaan yang seperti ini.

Dengan membetulkan rambut dan daster yang aku pakai. Gegas aku keluar bilik untuk menemui Mbak Desi.

"Kalian itu gimana sih. Ini lo masih siang. Kalian mau ngapain? Dek Minah juga belum nyuci piring ama lipat baju," ujar Mbak Desi dengan tatapan sinis.

Dia sepertinya akan pergi dengan membawa satu kantong plastik makanan. Sepertinya semangka dan mangga pemberian tamu Mbak Desi.

"Mau kemana, Mbak?" tanyaku ketika wanita itu akan pergi.

"Aku mau ke rumah Dino. Tolong dapur dibereskan ya Dek Minah!" titah Mbak Desi.

"Ya Tuhan, kapan aku bisa lepas dari orang seperti ini," batinku.

Mas Dani juga seperti sedang marah. Dia mengganti bajunya dengan kaos yang agak bagus. Aku mendekati berusaha untuk mencegahnya.

"Mas, aku sudah tidak punya uang. Aku ingin minta uang untuk belanja Mas. Lagian Arsyad juga butuh untuk beli susu. Lihat badannya kurus gitu," ujarku.

"Uangku yang dari emak dulu masih ada kan Mas?" tanyaku lagi.

"Uang yang mana Dek. Kan aku sudah bilang kalau uang itu sudah habis. Mengapa kamu menanyakan lagi. Sudahlah aku pergi dulu!' bentak Mas Dani sambil mendorongku.Hingga aku hilang keseimbangan dan jatuh ke lantai. Untung saja saat itu aku tidak menggendong Zaki.

Dengan kasar Mas Dani lalu pergi dari rumah Mbak Desi. Aku hanya bisa menangis merutuki nasibku kenapa aku punya suami seperti itu.

Setelah aku mengusap air mata, pikiranku mengembara. Aku harus bisa mendapatkan uang untuk biaya hidupku dan anak-anak.

"Oh ya aku akan mencoba pinjam uang pada Mbak Sih. Siapa tahu tabungannya banyak.Perhiasannya kan banyak batinku. Aku segera memakai jilbab yang ditarik Mas Dani. Aku beranikan diri untuk datang ke rumah Mbak Sih kakak iparku untuk meminjam uang.

Baru saja aku masuk rumah , sudah disambut dengan wajah yang tidak bersahabat. Muka Mbak Sih cemberut apalagi Anik, putrinya yang sombong itu. Dia menatapku dengan pandangan yang tidak suka.

"Ada apa Dek Minah?" tanya Mbak Sih dengan nada yang tinggi.

"Eh anu Mbak. Aku mau pinjam uang sedikit untuk beli makanan.Mas Dani belum kerja nanti kalau sudah bekerja aku kembalikan," ujarku dengan suara yang memelas.

"Apa kamu mau pinjam uang Dek.? Maaf saja. Aku gak punya uang. Semua sudah aku belikan gelang dan perhiasan," ujar Mbak Sih dengan memperlihatkan gelang yang dipakainya.

"Lima pulu ribu saja Mbak,. Buat jajan Arsyad. Kasihan dia merengek terus minta jajan,'' ujarku sambil memelas.

"Gak ada Dek. Lagian kamu kan tahu Dani itu pemalas. Kok kamu mau ama dia. Lagian dia juga sudah punya istri. Kok kamu mau jadi istrinya!" teriak Mbak Sih seolah menyalahkanku.

Kali ini aku tidak bisa diam. Banyak sekali tuduhan yang diberikan padaku.

"Mbak, kalau gak mau kasih pinjam uang juga gak papa. Tapi kenapa harus ngatain aku seperti itu. Toh aku dulu tidak tahu kala Mas Dani sudah punya istri. Kalau aku tahu sebelumnya pasti aku gak mau," belaku.

"Halah. Bilang saja kamu yang nyosor dengan Dani. Dia kan ganteng. Sementara dapat kamu yang seperti ini. Udah jelek miskin pula," hina Mbak Sih.

"Ya sudah Mbak. Kalau gak boleh aku permisi," jawabku.

Dengan perasan sakit hati aku keluar dari rumah Mbak Sih.

"Aku pasti jadi orang kaya," gumamku.

Sambil lipat baju aku berpikir apa yang harus aku jual untuk mendapatkan uang agar anakku masih bisa jajan. Katanya ikut suami lebih enak dibanding dengan ikut saudara tapi tidak berlaku untuku.

Suamiku malah jarang di rumah. Belum anggapan kalau aku ini adalah perebut suami orang. Kedua iparku yang pelitnya minta ampun. Lalu pada siapa aku akan minta pertolongan. Kalau tidak punya bayi mungkin aku akan pergi entah kemana.

Apa aku harus nyari kerjaan ya? Bagaimana dengan kedua anaku?Tapi aku butuh makan. Tidak mungkin ngandalin Mas Dani yang kerjanya tidak menentu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status