Share

Bab 5. Tuduhan Keji

Sudah sebulan ini aku ikut dengan Mbak Desi. Arsyad juga sudah mulai sekolah di kampung suamiku. Seperti biasa aku yang memegang pekerjaan di rumah seperti bersih-bersih, cuci piring, mencuci baju Mbak Desi sudah menjadi tugas sehari-hari. Sebenarnya perasaanku jengkel, marah, benci tapi tidak berdaya karena aku masih punya anak kecil sementara Mas Dani masih sibuk dengan dunianya. Dia jarang pulang bahkan seminggu sekali dia pulang tanpa membawa hasil. Perlahan perhiasan yang aku pakai satu persatu harus aku jual untuk menutup kebutuhan makan sehari-hari.

Bahkan mulut Mbak Desi juga sering terdengar pedas di telinga sementara Mbak Sih selalu memamerkan makanan dan buah yang enak untuk anakku. Selama tinggal bersama Mbak Desi aku hanya menelan ludah dan menyimpan kekecewaan ini. Dia selalu menyimpan makanan enak di kamar tanpa membagi.

Hingga suatu siang pada saat pulang dari sekolah dengan badan yang penuh dengan tanah anakku pulang sambil menangis. Sepertinya dia habis berkelahi dengan temannya.

“Ada apa, Sayang?” tanyaku menghampiri putra sulungku.

Arsyad tidak langsung menjawab. Dia hanya menangis.Langsung kuhampiri dan memeluknya.

“Di sekolah mereka menghinaku, Bu,” kata Arsyad di sela tangisnya.

“Menghina bagaimana?” tanyaku mencoba mengorek keterangan dari Arsyad.

“Iya mereka menghina. Katanya Bapak itu tukang kawin, tukang mabuk dan judi. Emang bener ya Bu?” tanya Arsyad memandang mataku.

“Ya sudah jangan didengarkan. Namanya juga anak kecil. Mereka tahu apa? Yang penting sekarang kamu ganti baju, cuci tangan terus nanti makan ya,” ujarku kembali menghibur Arsyad.

"Besok aku nggak mau sekolah Bu.”

“Lho kenapa?”

“Aku malu ketemu dengan teman-teman.”

“Enggak apa-apa. Siapa yang menghina kamu nanti Ibu yang samperin?”

“Itu si Denis anak yang gendut itu setiap hari menghina.”

“Ya sudah nanti biar Ibu samperin ya bilang sama bapaknya,” kataku menghiburnya.

“Yang penting besok kamu sekolah. Nggak usah dengerin omongan anak lain,” ujarku.

Aku segera masuk ke dalam rumah Mbak Desi dan menggantikan baju Arsyad dengan baju rumah kemudian aku kembali menggendong Zaki yang semakin gendut saja. Hanya dia untuk saat ini yang menjadi hiburanku. Baru saja aku tenang dengan kehidupanku mendadak Mbak Desi berteriak dari dalam kamar.

Teriakannya sangat kencang. Sambil menggendong Zaki aku masuk ke dalam dan menanyakan pada dia.

“Ada apa Mbak? Kok wajahnya panik seperti itu?” tanyaku ketika menjumpai Mbak Ira dalam kamarnya.

“Dek Minah tau tidak uangku yang ada di sini?” tanya Mbak Desi.

“Uangnya berapa Mbak?” tanyaku ingin tahu.

“Aku menyimpan uang di sini tuh 500 ribu. Kok sekarang nggak ada. Siapa yang ngambil ya Dek? Padahal yang di rumah kan cuma Dek Minah.”

“Lho Mbak Desi seolah menuduhku. Aku ndak pernah masuk ke kamar Mbak Desi. Sehari-hari di luar ya masak, nyuci piring, nyuci baju,” kataku membela diri.

“Ya aku ndak tahu. Pokoknya uangku yang di sini hilang. Terus siapa yang ngambil?” tanya Mbak Ira dengan mata yang melotot.

“Kalau Mbak Desi tidak percaya bisa bongkar tasku,” kataku sambil menunjukkan tas yang ada di kamar.

“Sekarang maling itu pinter ya Dek. Dia bisa menyembunyikan uang itu di mana saja.”

“Duh siapa yang mengambil. Perasaan dari pagi itu ada,” gerutu Mbak Desi sambil membuka kasur dan bantal. Biasa dia menyimpan uang di tas yang sangat dirahasiakan. Mendadak uangnya hilang tanpa bekas.

“ Mbak Desi, saya numpang di sini. Sumpah saya nggak tahu apa-apa,” kataku membela diri.

“Kok semenjak kamu tinggal di sini uangku sering ngilang loh Dek Minah. Yang 20 ribu kadang 50 ribu. Sebenarnya siapa yang ngambil?"

“Mbak Desi sudah tanya ama Dimas?” tanyaku.

“Jadi kamu malah nuduh anaku yang ngambil, Dek?”

“Bukan Mbak. Siapa tau dia yang melihat atau menyimpan. Aku jadi tidak enak tinggal di sini,” kataku.

“Terus gimana ini?Di mana uangku?”

“Masak saya harus mengganti. Saya tidak punya uang. Saya juga masih punya bayi,” kataku.

Sambil mencoba menenangkan Zaki yang menangis.

“Sekarang memang tidak aman kalau bawa uang,” gerutu Mbak Desi.

Mungkinkah diambil Dimas, anaknya Mbak Desi yang pengangguran itu. Memang kerjaannya lontang-lantung tidak jelas. Merokok dan makan bahkan baju kotornya juga tidak mau mencuci.

Setelah menuduhku mengambil uangnya, Mbak Desi seperti marah dan meninggalkan rumah. Aku hanya menangis dan masuk dalam kamar Dimas.

“Ya Allah, begini amat kehidupanku. Sudah numpang masih punya anak kecil. Sudah melakukan apa saja masih dituduh. Apa aku harus pergi dari rumah ini saja ya. Aku tidak tahan berada di sini,” batinku.

Air mata yang sejak tadi aku tahan akhirnya bercucuran, aku menyeka dengan ujung selendang. Menunggu Zaki tidur dalam gendongan kemudian aku meletakkannya di atas tikar. Setelah Zaki tidur aku segera ke dapur milik Mbak Ira. Semuanya berantakan. Baju kotor tidak pernah ada yang mencuci.

Selesai membersihkan rumah aku duduk sebentar sambil menonton televisi. Dari luar terdengar Mas Dani datang bawa sepeda motor.

“Dari mana Mas, kok baru pulang?” tanyaku singkat kepadanya.

“Biasalah Dek nyari sampingan. Gimana kemarin tawaranku agar kamu mau kerja ke luar negeri?” tanya Mas Dani.

“Aku belum siap Mas. Zaki kan masih kecil Mas. Masih 2 bulan. Gimana mau tinggal keluar kerja. Dia masih minum ASI.”

“Gampang. Kalau kamu mau keluar negeri nanti aku yang ngurus. Kebetulan aku mempunyai tenaga penyalur,” kata Mas Dani.

“Kenapa aku yang harus keluar negeri. Mas kan sebagai kepala keluarga harusnya tanggung jawab dong.” suaraku mulai meninggi.

“Siapa yang tidak mau kerja Dik. Aku cuma mengarahkan kerjaan. Sekarang tuh lagi susah kalau kamu bisa bekerja sama kan harusnya bisa dengan aku.”

“Terus Zaki dengan siapa Mas? Dia masih kecil masih menyusui. Mbak Ira juga sangat sibuk.

“Ya nanti aku nyari yang momong Zaki. Pokoknya kamu mau saja,” paksa MasDani.

“Nggak Mas, jangan paksa aku.”

“Mau mikir dulu kamu tuh. Kok jadi wanita nggak bisa diatur. Jadi ini kan untuk masa depan kita.

“Tapi tidak harus aku ke luar negeri kan, Mas. Kamu bisa bekerja sementara kamu menganggur, tidur sedangkan aku harus bekerja. Lihat aku disini sudah seperti babu menjadi pembantu di rumah kakakmu. Aku juga manusia Mas.”

“Pikirkan sekarang aku sedang menganggur kamu tidak punya uang lalu kita mau makan dari mana?”

“Mas Dani kan suamiku. Mas punya anak dua. Masa aku harus mikir harus nyari uang,” ucapku dengan keras.

“Dasar kamu itu tidak nurut sama suami!?’ kembali Mas Dani mendorong tubuhku hingga terjerembab ke lantai. Hanya air mata yang keluar dari mataku ini

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status