Share

Bab 6. Awal Bertemu

Tubuhku terkapar di atas lantai. Rasa sakit hati yang kurasa semakin bertambah. Apakah aku ini memang wanita yang terlalu b*do* hingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aku tumpahkan semua kekesalanku dalam  tangis yang panjang. Mumpung tidak ada orang. Namun tidak ada yang peduli siapa yang akan mengasihaniku.

Wanita yang dianggap perebut suami orang. wanita yang dianggap telah merusak rumah tangga  orang. Padahal mereka tidak pernah tahu apa yang kurasakan. Sungguh sakit sekali ketika mengenang waktu pertama kali Mas Dani mendapatkan diriku. Peristiwa yang sangat menyakitkan yang pernah kurasa. Aku mencoba melupakan namun kenangan itu bagai bayangan yang selalu mengikuti.

Seandainya aku tahu dari semula bahwa Mas Dani sudah punya istri dan tiga anak tidak mungkin aku mau menikah dengannya. Apalagi aku adalah wanita yang punya prestasi dan sangat aktif di organisasi. Kala itu aku mengajar di sebuah lembaga pendidikan yang memberikan les privat untuk anak-anak SD.  Waktu aku pulang kemalaman dan tidak ada kendaraan yang berada di sana untuk pulang ke desaku.  Hanya ada satu  sepeda motor yang parkir di dekat halte bus dengan penumpang yang sangat santai duduk di atasnya. 

Wajahnya yang ganteng dengan pakaiannya yang keren serta jaket kulit membuat dia nampak berbeda dengan tukang ojek yang lainnya.  Apalagi kulitnya yang putih bersih. Terpaksa aku menghampiri pria yang sedang duduk di atas sepeda motornya. 

“Maaf Mas,ojek ya?” tanyaku  dengan senyum yang ramah. 

“Eh enggak Mbak.  Tapi kalau mbak mau nanti saya antar ke rumah,”  kata pria itu. 

“Oh boleh boleh Mas.  Kalau ke kampung Melati berapa ya Mas?” tanyaku tentang ongkos menuju ke kampung halamanku. 

“Ya udah bayar nanti aja.  Sekarang naik dulu ya,” kata mas  itu. 

Setelah aku naik , pelan-pelan tukang ojek itu membawa aku menyusuri jalan menuju ke kampung. Di tengah kegelapan malam tukang ojek itu mengendarai sepeda motor sangat pelan sekali. Naik sepeda motor namun layakya naik sepeda saja. 

“Mbak dari mana?”  tanya tukang ojek itu kepadaku. 

“ Saya pulang bekerja Mas. Tapi sepertinya kemalaman,” jawabku dengan sopan. 

“Oh bekerja di mana,  Mbak?” tanya dia lagi. 

“Aku  ngajar Mas.” 

“Wah gajinya  gede dong.” 

“ Ya lumayan lah Mas, buat jajan sama ngontrak,”  kataku. 

Lama kami terdiam tidak ada percakapan sementara deru  sepeda motor orang itu menembus kegelapan malam. Mungkin masih sekitar jam delapan malam. Tapi kelihatannya jalan sudah sepi. Jarang sekali mobil atau sepeda motor yang lalu lalang. 

“Kenalkan aku Dani,” kata orang itu memperkenalkan diri. 

“Boleh aku panggil Mas Dani?” tanyaku. 

“Iya  boleh. Kalau Adik ini siapa?” 

“Namaku Minah.” 

“Aku sampai sini aja Mas. Nanti aku naik ojek lagi ke sana.” 

Ketika kami sudah sampai di sebuah perempatan jalan.

 “Ndak apa-apa sekalian Dek.  Kasihan nggak ada tukang ojek nanti gampang kok bayarnya,” kata Mas Dani. 

Akhirnya Mas Dani mengantarku   sampai di depan rumah karena tidak enak aku mempersilakan dia masuk dan duduk di teras sementara Bapak dan Emak di dalam. 

“Siapa Nduk?”  tanya Bapak yang sedang merokok di ruang tamu. 

“Oh ini Pak.  Aku ditolong sama Mas Dani ini. Dia kebetulan nongkrong aku kira tukang ojek. Daripada kemalaman  minta tolong ama dia. Di  sana sudah tidak ada tukang ojek.  Nah Mas Dani mau mengantar  aku pulang,” jelasku. 

 Bapak memandang Mas Dani  lama.  Sepertinya dia tidak suka melihat wajah Mas Dani. Dengan sopan pria itu menjabat tangan Bapak. 

“ Oh ya wes silakan duduk. Selamat  dinikmati ya  Mas,”  kata bapak. 

Aku membuat secangkir teh untuk Mas Dani. Kemudian aku ikut duduk di depan pria itu. 

“Berapa tadi Mas bayar ongkosnya?” tanyaku lagi. 

“Oh ndak usah Mbak.  Nggak usah  bayar,  aku cuma nolong saja kok.  Tapi aku hanya ingin minta izin boleh tidak aku besok main ke rumahmu ini lagi.” 

“Oh iya ndak apa-apa Mas. silakan saja,”   kataku. 

“Memang Mas Dani ini tidak punya istri?” tanyaku lagi. 

“Saya duda, Mbak. Ini kartu identitas  saya,”  kata Mas Dani dengan mengeluarkan kartu  dari dompetnya. 

“Oh lalu istrinya di mana Mas?’  tanyaku makin  penasaran. 

“Mantan istriku dulu di Jakarta, Dek.” 

“Terus punya anak tidak?”  tanyaku lagi. 

“Saya nggak punya anak. Dulu anaku meninggal. Istriku selingkuh Dek. Jadi aku terpaksa menceraikannya.”

“Oh jadi Mas Dani sendirian.”

“Iya Dek saya sendirian. Belum ada yang mau.” 

“Mas kerja di mana?” 

“Saya kerja  sebagai pemborong. Ya kadang jual beli tanah,” ujarnya sambil terus menatapku. 

Aku melirik sebentar ke arahnya. Kalau lihat penampilannya yang modis dan perlente aku yakin dia adalah pria yang tajir. Bisa ditebak dari jaket kulit yang dipakai harganya bisa ratusan ribu. 

“Oh saya juga  punya bisnis yang banyak Dek. Punya tabungan  dan deposito,” ujarnya lagi. 

“Wah jadi banyak penghasilannya ya Mas,”  kataku. 

“Ya lumayan lah, Dek,”  jawab Mas Dani. 

 Dia mengambil cangkir berisi teh panas  dan  menyerutupnya. 

“Ya sudah Dek,  kalau begitu saya pulang dulu ya.  Sampaikan salam pada bapak,”  kata Mas Dani. 

“ Iya Mas terima kasih ya sudah mau mengantar saya dan mampir.  Malah enggak mau dibayar lagi.”

“Iya Dek sama-sama. Saya pamit dulu,” kata Mas Dani. 

Laki-laki itu meninggalkan halaman rumahku mengendarai sepeda motor yang yang dimilikinya. Aku memandangnya sampai kelokan  jalan hingga suara sepeda motor tidak terdengar lagi. 

“Pria itu  sangat tampan, ganteng dan ramah. Dia juga  punya pekerjaan yang mapan,”  kataku sambil tersenyum.

"Dia sudah pulang,Ndok," tegur Bapak ketika aku masuk ke ruang tamu dengan membawa nampan.

"Sudah Pak. Dia orang mana Nduk?" tanya Bapak lagi.

"Oh menurut KTP sih dia Jakarta tapi tinggalnya di daerah sana Pak di daerah kota," kataku.

"Oh, aku ingatkan saja Nduk, hati-hati dengan pria semacam itu. Aku lihat dari tatapan mata dan bibirnya pandai sekali dia berbohong."

"Tapi kayaknya baik Pak. Tadi aku naik motornya nggak mau dibayar."

"Ya semua itu sebagai pancingan,Nduk. Pokoknya hati-hati aja. Dia ngaku kerja sebagai apa?"

"Katanya sih pemborong Pak. Uangnya banyak."

" Hah pemborong dari mana?Masak naik sepeda motor butut kayak gitu," ujar Bapak dengan suara agak tinggi.

"Bapak jangan gitu dong. Lihat baju dan celananya itu!Celananya itu 400-500, jaketnya bisa sejuta lho Pak. Kalau nggak punya uang untuk apa beli barang mahal sebanyak itu ,sayang banget kan ," belaku.

"Ya sudah, aku hanya mengingatkan, Ndok. Jangan sampai kamu terperosok dalam dalam lubang buaya yang memperdaya kamu.

Kamu itu anak pintar, rajin dan berprestasi . Jangan sampai karena pria itu kamu kehilangan semuanya. Bapak harap kamu dapat jodoh yang baik," pesan Bapak.

" Baik Pak. Ya sudah saya permisi masuk dulu ya Pak, mau ganti baju," kataku.

Sebenarnya siapa sih Mas Dani itu? Wajahnya ganteng penampilannya juga oke. Masa dia bohong dan berusaha menipuku. Apa dia hanya pengangguran saja? Ah, sudahlah. Semoga pikiran buruk ini tidak menjadi kenyataan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status