Mas Dani sangat kesal kepadaku karena tidak memberikan apa yang dia minta. Dia mengajak pulang ke rumah sementara Wahid hanya tersenyum melihat muka Mas Dani sangat kusut. “Wahid, aku pulang dulu ya. Kabari kalau ada berita bagus,” kata Mas Dani dengan muka yang kusut. “Nggak jadi nginep?” tanya Wahid lagi.“Nggak jadi ah. Itu si Minah mau minta pulang,” kata Mas Dani sepertinya sudah paham betul tabiat Mas Dani sehingga mereka saling memberikan kode. Aku juga belum begitu paham pria yang sudah menjadi pacarku ini. Dalam perjalanan kami hanya diam. Aku juga tidak berani membuka pembicaraan hanya pelukan di pinggang. Tanpa banyak bicara dia mengantar sampai ke rumah. “Aku pulang dulu ya Dek. Nanti kalau aku sudah ambil uang aku ganti uang untuk makan bakso tadi,” kata Mas Dani. “Iya Mas tenang aja.” “Salam buat Bapak dan Emak ya,” kata Mas Dani. “Iya Mas nanti aku sampaikan.” Ketika sampai rumah Emak dan Bapak masih di sawah sehingga tidak ada orang. Tanpa masuk ke dalam Mas Da
“Pak, Minah mau melamar pekerjaan di kota sebelah,” ujarku meminta izin Bapak. “Ke mana Min?” tanya Bapak memandang tajam ke arahku. “Dengan siapa? Dengan Nak Dani?” tanya Bapak curiga. “Nggak Pak. Ini tempat teman memberitahu kalau ada lowongan pekerjaan di pabrik,” kataku mencoba berbohong. Baru kali ini aku membohongi bapak karena ingin pergi dengan Mas Dani. Cinta terhadap pria itu membutakan hatiku dan akal waras. “Ya sudah hati-hati. Tapi bapak nggak bisa nyangoni lo Nduk. Bapak belum panen,” kata bapak. “Ya udah nggak apa-apa Pak. Aku masih punya kok. Uangku masih ada.” “Hati-hati ya , Nduk. Ingat jaga diri di manapun kamu berada,” pesan bapak. Aku hanya membawa beberapa setel baju dan celana juga pakaian dalam dan alat kosmetik beserta buku-buku yang nanti aku digunakan untuk menulis. Dengan diantar tetanggaku sebagai tukang ojek, aku menuju ke jalan raya utama karena kalau mau ke desaku harus naik ojek lagi. Setelah membayar aku mengucapkan terima kasih karena dia tel
Setelah menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Pak Ali dan Mbak Ernis, kami siap-siap menuju rumah kontrakan yang sempat dilihat oleh Mas Dani. Dia sudah membayar uang untuk 2 hari. Tidak ada rasa curiga atau prasangka buruk terhadap pacarku itu. Aku merasa dia adalah pria yang sudah dewasa dan mengerti akan batas-batas. Apalagi aku melihat dia rajin sekali mengerjakan ibadah jadi aku tambah sangat sayang kepadanya. Setelah makan dan memberesi piring kotor di dapur kami kemudian pamit pada Mbak Ernis. “Mbak, terima kasih banyak ya atas jamuannya,” kataku. “Iya Mbak Min sama-sama. Besok ya baru melamar pekerjaan itu?” tanya Mbak Ernis. “Ya, Mbak. Doakan ya agar lamaranku diterima,” kataku. “Iya Mbak Min, semoga lamarannya diterima,” ucap Mbak Ernis. Aku membawa tas kecil milik Mas Dani dan satu tas miliku. Tidak ada perlengkapan yang berharga, hanya sekedar baju ganti dan pakaian dalam untuk 2 hari ke depan. Aku juga tidak membawa apapun. Tiba di rumah kontrakan yang dimak
“Dek Minah…Dek Minah..!” teriak Mbak Desi dengan sangat kencang membuat kenanganku tentang masa lalu yang sangat menyakitkan hati hilang diterpa angin. Kenangan yang tidak pernah kulupakan karena pertama kali aku menikah dengan Mas Dani. Bahagia yang kuharapkan ternyata air mata setiap hari. Setelah menikah baru aku tahu sifat asli Mas Dani yang tukang main perempuan serta mabuk dan judi. Dia juga sangat malas untuk bekerja. Aku pikir dia mempunyai tabungan yang banyak dengan mengaku mempunyai deposito di mana-mana ternyata hanya bualan untuk menjebakku. Setiap hari aku hanya menangis. Namun penyesalan itu untuk apa. Memang Mas Dani adalah pria tampan yang banyak dikagumi oleh banyak wanita. Bahkan banyak wanita yang memberikan harta atau uang agar bisa berkencan dengan Mas Dani. Memang saat ini aku sangat mencintai Mas Dani. Dia paling bisa menyenangkan aku untuk urusan ranjang. Tapi sejak kelahiran Zaki, suamiku itu jarang pulang. Pikiranku pasti dia ke rumah istri pertamanya. Terp
Mbak Desi mulai mencurigaiku ketika ada Dimas di rumah. Dia jarang keluar untuk memenuhi panggilan pijat. Setiap hari kerjaanku tambah padat dari mencuci piring, mencuci pakaian mereka hingga memasak. Sedangkan Mbak Desi tidak pernah memberiku makanan atau buah yang diberikan dari tamu yang datang. Padahal aku melihat banyak sekali buah dan roti serta mie yang ada di dalam kamar Mbak Desi. Aku hanya menelan ludah melihat kenyataan ini apalagi sejak 4 hari yang lalu Mas Dani tidak pulang ke rumah. Entah dia pergi kemana. Tidak juga pamit padaku atau kepada Arsyad putranya. Sedangkan uang juga tidak punya. Melihat Arsyad yang merengek terus meminta jajan kuberanikan diri untuk meminjam kepada Mbah Sih yang uangnya banyak. Apalagi aku melihat perhiasannya banyak sekali hingga ke lengan dan kalungnya juga sangat panjang. Dia juga makan buah dan makanan yang serba enak. Sementara Arsyad hanya menangis melihat anak Mbak Sih yang makan di depan tteras rumah tanpa memberikan sedikit untuk an
Sesampainya di rumah, Mbak Desi sudah berkacak pinggang. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepadaku dan melihat barang apa yang sedang aku beli. Zaki masih dalam gendonganku sementara Arsyad memegang buah kesukaannya. "Kamu memang punya uang Dek Minah kok belanja banyak segitu. Itu semua di dapur semua peralatan habis, kamu memasak bumbunya kok terlalu boros semua. Ada gula segala macam habis. Sini belanjaanmu Mbak Desi lihat,"kata Mbak Desi ingin merebut plastik yang aku bawa.Kesabaranku sepertinya sudah habis, aku tidak mau memberikan bingkisan itu kepada Mbak Desi. "Jangan Mbak Desi, ini aku beli dari uang yang kupinjam dari Mas Diki. Kenapa Mbak Desi meminta kan punya stok makanan banyak. Tuh di kamar Mbak Desi masih ada banyak juga tidak pernah memberikan kepadaku," kataku dengan sedikit tegas.Mendengar ucapanku yang agak kasar Mbak Desi sedikit kaget dia menatapku seolah tidak percaya."Lho, Dek Minah kok jadi berani kayak gitu. Kamu Kesambet dari mana Dek? Kamu itu num
Mas Dani tidak jadi makan justru melempar mangkok ke wajahku. Untung saja aku bisa menghindar sehingga mangkok itu tidak mengenai wajah. Dengan muka yang sangat garang dia melotot ke arahku. Belum pernah selama menjadi istrinya dia semarah itu.Apakah ucapanku salah jika aku menanyakan hasil dari kerja dia selama pergi dari rumah? Sementara keadaan aku tidak punya uang bahkan untuk jajan Arsyad dan makan mie aja harus ngutang dengan kakak iparku Mas Diki. Masih aja dicurigai oleh Mbak Sih, istrinya Mas Diki. Juga dituduh mencuri uang Mbak Desi. Kapan aku bisa menjadi mandiri bisa bekerja tidak tergantung pada suamiku ini. Aku hanya bisa menangis sambil menutupi wajahku. Tak pernah terbayang suamiku menjadi pemarah seperti ini. Padahal dulu dia adalah lelaki yang sangat romantis dan penyayang seolah ingin menjagaku kini kami mempunyai dua anak timbul sifat aslinya. Aku baru tahu kalau dia ternyata adalah penjudi dan minum alkohol serta tukang main perempuan tapi bagaimana lagi nasi sud
Dani pamit pada Minah untuk pergi bekerja. Namun nyatanya pria yang bertubuh tinggi besar dan kumis tipis itu tidak bekerja. Dia justru pulang ke tempat istri pertamanya. Padahal baru saja dia melepaskan hasratnya pada Minah. Istri pertama Dani memang satu kampung dengan dia. Cuma beda dukuh dengan rumahnya Mbak Desi. Jadi sebenarnya apapun yang akan dilakukan Dani dan Minah, Tini,istri pertama Dani mengetahuinya. Dia memang wanita yang sangat licik dan pandai. Bisa membayar orang untuk memantaui apa yang dilakukan oleh Dani dan Minah. Dani begitu semangat ketika ke tempatnya Tini. Wanita itu sudah dandan dengan make up yang sangat menor. Bibir merah dan perhiasan yang banyak. Rumahnya juga besar dan halamannya luas. Dulu Tini adalah seorang TKW yang bekerja di Arab Saudi hingga bertahun-tahun, sehingga dia bisa membangun rumah yang sangat besar. Dia juga membangunkan rumah untuk anak-anaknya. Biasanya Tini bekerja di luar negeri tapi untuk sementara dia cuti dulu untuk bebe