Share

Bab 2: Adam Tirtando

BAB 2: Adam Tirtando

Makan malam di kediaman Tirtando berlangsung hangat seperti malam-malam sebelumnya. Keluarga kecil ini selalu menyempatkan diri untuk meluangkan waktu sejenak sesibuk apa pun mereka di luar sana.

Aris Tirtando, sang kepala keluarga baru saja menyelesaikan makan malamnya. Pria paruh baya itu berdeham singkat untuk mengambil alih eksistensinya.

"Ada apa, Pa?" tanya Winar menatap suaminya.

"Papa hanya ingin bertanya padamu, Adam. Sudah siap kamu mengambil alih kepemimpinan papa tiga bulan lagi?" Aris menatap putra sulungnya dengan tatapan bertanya.

Putra sulung yang sebentar lagi akan memasuki usia 29 tahun.

Adam yang mendapat pertanyaan papanya meletakkan sendok dan garpu yang ia pegang. Adam kemudian mengangguk mantap.

"Aku siap, Pa. Bahkan, aku sudah mempersiapkannya sejak dua tahun yang lalu," jawabnya tegas.

"Bagus lah kalau begitu. Papa harap dengan kamu yang memimpin perusahaan, kamu bisa membuat perusahaan semakin maju," ucap Aris serius.

"Iya, Pa. Aku janji untuk mengusahakan yang terbaik untuk perusahaan."

"Wah, Abang serius mau naik jabatan lagi? Yess, uang saku aku makin naik 'kan?"

Eddelia, adik satu-satunya yang di miliki Adam berujar antusias.

"Kamu sudah 26 tahun, Eddel. Harusnya kamu sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Enggak mungkin kalau kamu akan mengandalkan kakakmu terus-menerus untuk mendapatkan uang," oceh Aris menatap putrinya.

Sudah berusia 26 tahun dan Eddel masih menjadi pengangguran tidak mau mencari kerja.

"Lho, buat apa aku punya kakak dan papa yang punya banyak uang kalau enggak bisa aku manfaatkan?" Eddel tersenyum manis. "Iya, enggak, Ma?" Eddel mencari pembelaan pada mamanya. Mamanya yang sangat mencintai dan menyayanginya tentu saja sangat mendukungnya.

"Iya, Pa. Enggak apa-apa Eddel jadi pengangguran. Toh, juga dia masih muda. Lagi pula, kewajiban seorang wanita itu mengurus rumah tangga."

Eddel tersenyum senang. Mamanya -Winar--begitu membela dirinya dan terbukti dengan ucapan sang mama yang membuat Aris diam tidak menyanggah lagi.

"Aku kembali ke kamar duluan. Ada banyak pekerjaan yang harus segera di selesaikan," pamit Adam pada orangtua dan adiknya.

"Adam, ingat, tidak perlu begadang sampai subuh. Kamu harus menjaga kesehatanmu juga," peringat Winar pada putra sulungnya.

"Iya, Ma."

Setelah itu Adam berlalu pergi meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya yang terletak di samping kamar yang ia tempati.

Rumah orangtua Adam sebenarnya berlantai tiga. Hanya saja Adam memang menyukai jika kamar tidurnya terletak di lantai dasar yang berada dekat dengan tangga menuju lantai dua.

Adam terlalu malas untuk naik dan turun tangga setiap hari.

Adam harus mengerjakan pekerjaannya sesegera mungkin agar untuk esok hari pekerjaannya tidak terlalu menumpuk.

Keesokkan paginya.

Adam berangkat bekerja seperti biasanya. Mobilnya dan mobil sang papa tentu saja berbeda. Adam sendiri masih bekerja di bawah naungan perusahaan Tirtando dan menjabat sebagai direktur di salah satu anak cabang Tirtando sebelum akhirnya nanti ia akan di pindahkan ke perusahaan pusat.

Gedung berlantai lima ini adalah saksi di mana awal Adam menitikan kariernya sejak sembilan tahun yang lalu baik secara ofline maupun online. Online dikarenakan meski Adam kuliah di luar negeri, ia sudah diberikan tugas dan pekerjaan oleh Aris.. Setiap liburan semester, waktunya dihabiskan di kantor ini.

Waktu Saat kuliah, Adam tidak hanya kuliah saja melainkan bekerja sebagai staf biasa di perusahaan anak cabang Tirtando. Tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan seorang Adam untuk meraih posisi seperti ini di perusahaannya. Banyak hal yang ia korbankan termasuk bersenang-senang dan perempuan, Adam korbankan hanya untuk mencapai titik sukses seperti sekarang ini.

Adam memang tidak pernah terlibat skandal atau terdengar dekat dengan wanita. Pria itu selalu sendiri dan sibuk dengan dunianya.

Adam memiliki wajah tampan, karier sukses, di tambah dengan karisma yang membuat banyak wanita tergoda padanya dan ingin menjadikan diri mereka sebagai kekasih dari pria itu. Sayangnya tidak ada respons yang berarti dari pria 29 tahun itu.

Langkah tegap Adam saat memasuki kantor menjadikan dirinya pusat perhatian karyawan di lobi.

Membungkuk hormat dan menyapa dengan sopan adalah kebiasaan yang di terima Adam dari karyawannya.

Adam hanya mengacuhkannya dan bersikap biasa. Tidak ingin terlalu menganggap sapaan mereka. Hal yang ingin langsung ia kerjakan sekarang adalah memulai harinya dan bekerja dengan baik.

"Selamat pagi, Pak Adam," sapa sekretaris Adam. Wanita 24 tahun bernama lengkap Widya Arista menunduk sedikit dan setelah itu ia mengekori Adam dari belakang dengan jadwal Adam hari ini.

"Pukul dua siang Anda akan mengadakan proyek pembangunan di daerah Bali, Pak."

"Nanti malam akan ada acara perusahaan milik Pak Adji Karisma di gedung A dekat dengan kawasan apartemen Tirtan, Pak."

Adam mendengarkan dengan baik apa yang di sampaikan sekretarisnya. Setelah itu ia mengangguk dan mempersilakan Widya keluar dari ruangannya.

Adam menghembuskan napasnya melihat tumpukan map yang berada di atas meja.

Adam memejamkan matanya sejenak kemudian membukanya kembali. Ia harus tetap bersemangat untuk bekerja agar tidak mengecewakan papanya. Adam juga ingin membuktikan pada orang-orang tentang persepsi mereka yang mengatakan jika dirinya anak manja yang bergantung pada ketiak papanya.

Adam akan membuktikan jika ia akan membungkam mulut orang-orang yang sudah membicarakannya.

Tak lama berselang Adam mendapat telepon dari papanya yang membuatnya harus menjeda pekerjaannya sebentar.

"Ada apa, Pa?"

"Papa ingin kamu ke kantor pusat nanti siang. Ada yang ingin papa bicarakan," ujar Aris dari seberang sana.

"Baiklah."

Sambungan telepon di matikan. Adam tidak tahu hal apa yang akan di bicarakan papanya. Tapi, Adam tahu jika apa yang akan di sampaikan papanya adalah hal serius.

Adam dapat merasakan jika makanan yang dihidang oleh para pramusaji terasa sangat hambar di lidahnya. Bukan pada bumbu makanan yang disiapkan oleh koki restoran tempatnya dan sang papa berada saat ini. Melainkan pada ucapan sang papa yang membuat nafsu makannya langsung menghilang.

Bagaimana tidak, Aris Tirtando, sang Papa memintanya untuk menerima perjodohan yang sudah disiapkan oleh beliau. Salah satu syarat dari Aris agar bisa menyerahkan tampuk kekuasaannya pada Adam dengan cara menerima perjodohan yang sudah disiapkan.

"Papa hanya ingin setelah kamu memimpin perusahaan, kamu sudah memiliki pasangan hidup. Papa enggak mau kalau kamu terlalu fokus pada pekerjaan dan mengabaikan soal keturunan," ujar Aris pada putranya. "Papa enggak munafik, Dam. Papa mau cucu dari anak pertama papa yang akan mewarisi perusahaan nanti. Makanya itu Papa sudah mempersiapkan jodoh untuk kamu."

Adam dengan perlahan mengangkat kepalanya dan menatap sang Papa yang berada di seberang meja. "Siapa perempuan itu, Pa? Apa aku mengenalnya?"

"Papa enggak bisa kasih tahu kamu sekarang. Nanti kamu juga akan tahu dan yang penting, kamu sudah setuju untuk menikah dengannya."

Adam mulai berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. Lagi pula, mau menikah sekarang ataupun nanti, sama saja. Tidak akan ada lagi cinta yang muncul di hatinya yang pernah terluka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status