Share

Bab 3: Informasi Perjodohan

Bab 3: Informasi perjodohan

Tila baru saja menghempaskan tubuhnya pada sofa yang terletak di ruang tamu rumahnya.

Wanita 26 tahun itu baru saja pulang dari kantor setelah menyelesaikan tugasnya agar besok tidak menumpuk.

"Sudah pulang, La? Masuk kamar dan mandi gih. Nanti malam kita makan bersama."

Seorang wanita paruh baya menegur Tila yang baru ia sadari kedatangannya. Anak bungsunya ini memang jika pulang ke rumah tidak pernah mengucapkan salam atau sapaan. Tahu-tahu saja Tila sudah berada dalam rumah.

"Ayah udah pulang?" tanya Tila bersemangat.

"Udah, tadi siang. Sekarang beliau masih di kantor. Ikut bosnya."

Tila mengangguk mengerti.

Ayah Tila memang bekerja pada seorang pria paruh baya sebagai sopir yang mengantarkan bosnya kemana pun bos pergi. Termasuk ke luar kota sekalipun.

Meski Tila sendiri sudah memiliki pekerjaan tetap dengan jabatan yang cukup memuaskan, Tila tetap tidak bisa membuat ayahnya berdiam diri di rumah.

Ayah Tila yang bernama lengkap Herman Sentosa tetap setia bekerja pada majikannya bahkan sejak Tila berusia tujuh tahun.

Tila bangkit dari posisi rebahannya dan berjalan memasuki kamar yang tidak terlalu besar.

Saat ini Tila sendiri sedang dalam posisi menabung untuk membangunkan sebuah rumah besar dan mewah untuk orang tuanya.

Tiga tahun yang lalu, Tila membeli sebuah lahan kosong yang akan ia dirikan rumah. Rencana Tila tahun ini ia bisa membeli bahan bangunan karena uangnya sudah cukup untuk membangun sebuah istana besar untuk orang tuanya.

Malam harinya.

Ruang makan keluarga kecil Herman adalah tempat mereka biasa menghabiskan waktu beberapa menit untuk saling berbincang usai menyantap habis makanan, sebelum akhirnya pindah ke ruang keluarga yang tidak terlalu lebar dan hanya di isi dengan sebuah televisi dan karpet untuk alas tempat duduk.

Setelah basa-basi menanyakan aktivitas anak-anaknya hari ini, Herman mengajak istri dan kedua anaknya untuk pindah lokasi.

Ada Jumi--istri Herman-- dan juga Haikal yang merupakan kakak sulung Tila.

"Jadi, ayah mau ngomong apa?"

Haikal, menatap ayahnya dengan pandangan bertanya, begitu juga dengan Tila yang ikut menantikan hal apa yang akan di sampaikan oleh ayahnya.

Herman berdeham singkat. Kali ini mata tuanya menatap lekat putri bungsunya. Herman menghela napas sebentar sebelum sebuah kalimat meluncur bebas dari mulutnya yang menyebabkan keheningan total terjadi di ruang keluarga.

"Ayah ingin menjodohkan kamu dengan anaknya teman ayah, Tila."

Tila tercengang menatap ayahnya tidak percaya. Ayahnya tentu tahu jika dirinya menolak menikah untuk seumur hidupnya. Tila tidak sempurna sehingga keinginan untuk menikah sudah ia coret dari daftar rute hidupnya.

"Ayah tahu 'kan kalau aku--"

"Ayah tahu. Ayah hanya ingin putri ayah menikah. Ayah enggak ingin kamu hidup sendirian sampai tua, Tillia. Ayah dan ibu enggak selamanya bisa ada di dunia ini. Begitu juga dengan kakakmu yang pasti akan menikah dan memiliki keluarga," sela Herman.

"Aku masih bisa menjaga dan melindungi diriku sendiri, Yah."

"Kalau kamu masih muda memang bisa mengurus dan menjaga dirimu sendiri. Tapi, kalau sudah tua?" Herman menatap putrinya tegas. "Kamu lihat Mbok Jiman yang meninggal dunia dan baru ketahuan setelah seminggu? Mbok Jiman hidup sebatang kara dan enggak punya sanak saudara. Lihat apa yang terjadi waktu beliau meninggal dunia? Enggak ada yang tahu."

Tila menggigit bibirnya menatap ayahnya dengan tatapan nelangsa.

Mbok Jiman yang dimaksud ayahnya adalah tetangga yang rumahnya berjarak lima rumah dari rumahnya. Mbok Jiman memang hidup sebatang kara dan tidak memiliki anak. Sementara sang suami sudah lama pergi.

Satu bulan yang lalu kampung tempat tinggal mereka dihebohkan dengan penemuan mayat yang sudah membusuk dan dikerumuni ulat. Mayat yang tak lain adalah Mbok Jiman ditemukan di luar pintu kamar mandi rumahnya dalam posisi tersungkur dengan wajah menghadap lantai.

Polisi menduga dengan di bantu ahli forensik serta hasil autopsi, Mbok Jiman jatuh terpeleset saat keluar dari kamar mandi. Mbok Jiman di duga meninggal mungkin sudah lebih dari satu minggu. Terbukti, seluruh tubuhnya sudah membusuk dan di kerumuni belatung juga lalat.

"Kamu tenang saja. Laki-laki yang akan ayah jodohkan dengan kamu bukan lelaki penganut paham tabu. Laki-laki itu beberapa tahun menetap di luar negeri. Itu tandanya dia juga tahu bagaimana dunia luar," kata Herman menyadarkan lamunan Tila.

"Kenapa terburu-buru, Ayah? kenapa tidak Kak Haikal yang duluan saja menikah?" cerca Tila, masih ingin mengelak dari perjodohan ini.

"Karena pertama, mumpung masih ada laki-laki yang mau terima kamu apa adanya," jawab Herman lugas dan berhasil menyentil perasaan Tila. "Kedua, mau umur berapa tahun pun, Haikal bisa menikah tanpa takut untuk tidak bisa hamil karena dia laki-laki, bukan perempuan."

Tila paham maksud ayahnya. Perempuan tiga puluh tahun ke atas akan sulit untuk hamil. Tidak tahu mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Contoh tetangganya yang menikah di usia 35 tahun dan sampai sebelas tahun pernikahan, mereka belum dikaruniai anak. Sementara ibu-ibu yang menikah di bawah 30 tahun tetap bisa hamil meski usia sudah memasuki angka 40 tahun.

Sementara laki-laki, meskipun sudah tua sekali pun, mereka masih bisa menghamili seorang wanita muda. Perbedaan yang benar-benar tak adil menurut Tila.

"Ayah tidak pernah menuntut kamu ini dan itu selama ini, Tila. Ayah harap kamu mau menuruti keinginan ayah yang satu ini untuk menebus kesalahan kamu di masa lalu."

Pundak Tila melemas ketika mendengar pernyataan ayahnya. Itu artinya Tila tidak memiliki kesempatan untuk menolak perjodohan ini.

Pak Herman bangkit dari duduknya kemudian melangkah masuk ke dalam kamar meninggalkan anak-anak dan istrinya untuk beristirahat.

Pria paruh baya itu sebenarnya tidak mau menjodohkan anaknya. Hanya saja ia ingin anaknya hidup memiliki pasangan sebelum ajal menjemputnya. Tidak selamanya mereka hidup di dunia bisa menemani Tila.

Bu Jumi yang paham dengan perasaan anaknya menepuk pundak Tila. Wanita paruh baya itu tersenyum pada sang anak yang kini mengangkat kepala dan memeluk dirinya.

"Ibu tahu kalau ini berat untuk kamu, Nak. Tapi, kamu harus paham kalau Ayah melakukan ini semua untuk kamu. Hidup sendiri itu enggak enak. Di masa tua nanti juga kamu akan butuh teman." Wanita itu menepuk pelan punggung putrinya. "Ibu yakin apapun yang dilakukan oleh Ayah kamu adalah yang terbaik untuk kamu. Kamu harus menerimanya."

"Tapi, bagaimana kalau ternyata laki-laki itu enggak baik untuk aku, Bu? Bagaimana kalau ternyata dia bukan orang baik?"

"Ayah enggak akan menjerumuskan kamu ke lembah yang gelap, Nak. Kamu mengerti itu."

Haikal yang duduk tak jauh dari posisi ibu dan juga adiknya mengangguk setuju. Pria itu berujar, "kamu coba ketemu dulu sama orangnya. Siapa tahu cocok."

Akhirnya dengan pasrah Tila mengikuti kemauan kedua orang tuanya untuk bertemu dengan laki-laki itu terlebih dahulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status