Aku mengangguk kembali. Kemudian mulai mengelus perut bagian bawahnya."Kebawahan lagi Mbak.""Minyaknya tambahin dikit lagi."Lagi-lagi aku menurut, mengikuti setiap yang di katakan Firman. Namun tak lama kemudian gerakan tanganku terhenti, saat tak sengaja menyentuh benda kenyal.Aku melirik ke arah Firman yang ternyata sedang menatapku dengan tatapan sayu."Fi—Firman, K-kau?" Aku menjadi gugup."Maaf, Mbak. Aku tidak bisa menahannya." lirihnya.Aku langsung menarik tanganku dari sana.BRAK!Pintu rumah terbuka menampakkan Mas Hendra di sana. Firman segera terduduk. Dan aku juga segera berdiri. Aku sangat gugup, takut Mas Hendra salah paham."Kalian sedang apa?" tanyanya menatapku dan Firman bergantian."Perut ku sangat sakit Kak, sepertinya aku diare. Jadi aku minta minyak angin dan obat pada Mbak Winda."Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin di depan Mas Hendra."Oh, kalau begitu minum obatmu."Mas Hendra masuk ke dalam, kemudian menarik tanganku agar mengikutinya masuk kedalam ka
"Mbak, Mbak Winda!" Firman menjentikkan jari di depan mataku. Aku langsung tersentak, tersadar dari lamunan."Em, a—apa?" ucapku gugup."Aku tanya, Kak Hendra sering berbuat kasar seperti ini? Eh mbak malah melamun." tanya nya. Menatap wajahku.Jadi yang barusan kami lakukan itu hanya hayalanku? Ah, aku langsung menyentuh bibirku. Benar, kering."Mbak kenapa? Bi bir nya masih sakit?""Bukankah kita tadi—" ucapannku terjeda, aku tak jadi melanjutkannya."Tadi apa Mbak, wah jangan-jangan Mbak mikir yang enggak-enggak ya." Firman mengejekku.Aku langsung menggeleng. "Tidak, Mbak gak mikir yang aneh-aneh kok.""Terus itu kenapa, kok megangin bibir aja, apa Mbak Winda mau Firman ci um, biar cepat sembuh?!" Seketika mataku langsung membulat mendengar penawarannya. Aku langsung mencubit pinggang Firman. "Kamu ya!""Aw, sakit Mbak. Ampun Mbak!" Firman mengg3linjang sambil terkekeh. Aku ikut tertawa bersamanya.Kemudian napas kami terengah, tawa kami pun terhenti."Nah, kalo ketawa gini kan M
Aku masih diam mematung di kamar mandi, menatap punggung polos Firman yang berjalan menjauh.Aku meringis saat kembali merasakan ingin buang air kecil. Aku segera menutup pintu kemudian buang air kecil dengan lega.Setelah selesai buang air kecil aku kembali ke kamar, aku terkejut saat melihat Mas Hendra terbangun. "Mas, kenapa kau bangun?" sapaku.Mas Hendra tersenyum, "Aku ketiduran, melihatmu yang tidur nyenyak membuatku ikut mengantuk."Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Apa kau butuh sesuatu? Biar aku ambilkan.""Emm ya, aku baru ingat. Aku masih punya pekerjaan yang belum ku selesaikan." ujar Mas Hendra."Bisa kah kau pinjam laptop Firman di kamarnya. Laptopku tidak ada signal." sambungnya.Aku terdiam. Apa? Kamar Firman? Jadi aku harus kembali ke sana. Ah menyebalkan. Belum rasa malu karena kejadian tadi menghilang. Dan sekarang aku harus ke kamar Firman."Win, kok melamun? Kau mau meminjamkan tidak. Kalo tidak ya tidak apa-apa. Biar Mas saja yang kesana." ujar Mas Hendra."Jan
Aku masuk kembali ke dalam rumah melanjutkan aktifitas memasakku. Aku harap tidak ada gangguan lagi seperti tadi.Setelah selesai memasak menu kesukaan Mas Hendra dan juga Firman, aku langsung mengambil sendok kemudian mencicipinya. "Mmh, rasanya sangat pas." Aku sangat tidak sabar menyajikannya pada suami dan adik iparku.Sore hari,Terdengar suara gemericik air, yang artinya di luar sedang hujan deras. Aku menonton televisi dengan serius, melihat berita maling masuk saat penghuni rumah sedang tertidur. Mendadak aku takut. Karena di rumah hanya sendiri, Mas Hendra biasa pulang malam. aku yang fokus menonton televisi terkejut saat mendengar langkah kaki mendekat. Segala pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Aku langsung mengambil sapu, kemudian menjadi waspada, takut jika itu adalah maling atau penjahat yang ini mencuri di rumahku.Aku bangkit dari sofa, berjalan menuju ruang tengah di sana ada seorang pria yang sedang membelakangiku. Dia menggunakan Hoodie berwarna hitam. Aku merasa a
TUT! panggilan itu di tutup sepihak, tanpa ku tahu siapa yang menelpon suamiku barusan dengan nama kontak 'tukang servis'.Aku segera mengotak-atik ponsel milik Mas Hendra untuk mencari informasi, kemudian membuka aplikasi chat. Berharap ada petunjuk di sana. Namun sayang, aku tidak beruntung. Aplikasi chat itu menggunakan sandi yang tidak aku ketahui.Siapa suara perempuan dengan nama kontak tukang servis tadi? Servis apa? Selama ini tidak ada hal yang aneh-aneh yang menunjukkan Mas Hendra selingkuh.Mas Hendra masuk ke dalam kamar dia melihatku cemas sambil tangan masih mengotak-atik ponselnya."Win. Kau sudah menghangatkan makan malam?" ujarnya. Aku tersentak kaget, sebab sejak tadi terlalu fokus pada ponselnya."Em, be-belum. Oh iya Mas. Tadi—ada yang menelpon dan suaranya perempuan. Dengan nama kontak 'tukang servis' siapa itu Mas?" tanyaku hati-hati.Mas Hendra terlihat kaget, kemudian langsung menghampiriku. Dia merebut ponsel itu dari tanganku.Aku terkejut, gerakan yang sarka
Aku terbangun di pagi hari. Mataku mengerjap melihat sekitar. Aneh, bukankah semalam aku tidur di sofa ruang televisi. Lalu kenapa aku bisa berada di kamar.Dan, dimana selimut Firman? Bukankah semalam Firman menyelimutiku dengan selimutnya.Aku melihat ke arah suamiku yang sudah berpakaian rapih."Mas, kenapa aku bisa disini? Bukankah—" belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Hendra sudah menjawabnya. "Aku yang memindahkanmu.""Kau?" tanyaku."Iya, tumben sekali kau menonton televisi sampai ketiduran. Tidak seperti biasanya." ucap Mas Hendra sambil memakai dasi di lehernya. Dia menatap wajahku dari pantulan cermin."Aku—aku semalam tidak bisa tidur, jadi mencoba untuk menonton televisi dan malah ketiduran." sahutku. Ku paksakan untuk tersenyum. Agar Mas Hendra tidak curiga bahwa aku tidak bisa tidur karena memikirkan Firman.Aku bergeming, benarkah semalam hanya mimpi? Tapi kecupan itu terasa nyata.Aku mendadak kecewa, jika itu semua benar hanya mimpi. Itu artinya Firman masih ma
"Apa Mbak Winda memiliki perasaan yang sama? Di.... Sini." terangnya menunjuk ke arah dadaku.Deg deg deg!Degup jantungku berdetak kencang."Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku... Aku—" belum sempat aku menjawab pertanyaannya. Firman telah membungkamku dengan b1birnya.Drrttt Drrttt Drrtt.Dering ponsel Firman berbunyi, dia segera berhenti. Kemudian mengambil ponselnya yang berada di saku celana."Halo?""Baiklah. Ya, aku sudah menemukannya. Aku akan segera kesana. Hem."Napasku masih terengah-engah. Aku merapihkan bajuku yang sedikit berantakan lalu menyaka sudut bib1rku yang terdapat air l1ur kami.Firman melirik ke arahku. Kulihat dad4nya juga masih naik turun. "Mbak, maaf aku harus segera pergi. Em—terimakasih untuk vitaminnya."Hah! Vitamin? Vitamin apa? Mataku langsung mengerjap. Belum sempat bertanya Firman sudah pergi keluar.***Setelah Firman pergi aku segera pergi ke dapur. Belum sempat mengolah bahan apa saja yang ku beli di Bang Jamal. Pintu rumahku ada yang mengetu
"Firman!"Firman segera menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Kemudian menaruh jari telunjuknya di bibirku. Aku menatapnya kebingungan, mau apa dia."Jangan berisik, Mbak. Nanti Kak Hendra dengar." ucapnya kemudian melepaskan jarinya dari bibirku. Mataku mengerjap memandangnya. Firman juga menatapku dengan tatapan sayu."Jika kau ingin memakai kamar mandinya bilang, biar Mbak yang keluar." kataku, bersiap membuka pintu. Namun Firman malah membalik badanku agar menghadapnya. Aku sedikit tersentak, apalagi Firman mengunciku dengan kedua tangannya di letakan ke tembok."Aku tau Mbak tidak puas kan sama Kak Hendra?" tanyanya menelisik wajahku. Aku membuang pandangan ke samping. Firman mencondongkan wajahnya mendekat hampir menyentuh wajahku. Posisi ini membuat aku yang terbakar g4irah semakin memanas."Itu bukan urusanmu!" ucapku masih enggan menatapnya."Aku tau, aku sering mendengarnya." jawabnya. Aku langsung menatapnya. "Aku tau Mbak tidak puas dengan Kak Hendra, aku juga tau Kak He