Share

Masakan asin

Aku menutup kamarku, kemudian berjalan ke arah ranjang, aku duduk dan segera mengambil surat dari rumah sakit dalam tasku. Kemudian mulai membukanya perlahan. Jantungku semakin berdegup tak karuan. Perlahan aku membaca dengan seksama setiap kata. Dan... Hasilnya sangat mengejutkanku. Aku membekap mulut tak percaya. Di keterangan tertulis bahwa Mas Hendra tidak bisa mempunyai keturunan, itu artinya dia.... Mandul.

Aku menggeleng kuat. "Tidak, tidak. Mas Hendra tidak boleh tahu tentang ini. Jika dia tahu, dia pasti akan sedih."

Aku segera menyembunyikan kertas itu di dalam lemari, menyimpannya rapat-rapat.

Banyak orang-orang diluar sana yang diagnosa mandul, tapi tetap bisa punya anak.

Aku segera pergi ke dapur, memasak untuk makan malam Mas Hendra dan juga Firman.

Saat sedang masak pikiranku melambung pada kertas diagnosa Mas Hendra yang tidak bisa memiliki keturunan. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikannya. Yang jelas aku tidak ingin Mas Hendra merasa sedih.

Sebenarnya aku juga sama seperti wanita yang lain, ingin memiliki anak apalagi usia pernikahanku sudah terbilang cukup lama. 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar. meskipun terkadang Mas Hendra selalu menyalahkanku atas masalah ini.

Aku menautkan Ali saat mencium aroma sesuatu yang terbakar. Aku terkejut saat melihat masakanku sudah menjadi hitam.

"Ah... Gosong!" gumamku lirih. Ini pasti karena aku yang terus melamun sejak tadi, tidak fokus pada masakanku.

Aku segera membuang makanan yang telah gosong. Kemudian membuatnya dengan yang baru. Lagi-lagi pikiranku terus melambung pada kertas diagnosa rumah sakit, sehingga membuatku benar-benar tidak fokus.

Malam pun tiba.

Malam ini Mas Hendra pulang lebih cepat, dan firman belum pulang hingga kami menjelang makan malam. Di meja makan hanya ada aku dan Mas Hendra saja.

Aku menyiapkan makan malam Mas Hendra dengan senyum yang dipaksakan.

"Kemana saja kamu hari ini Win?" Seperti biasa, Mas Hendra selalu menanyakan apa saja aktivitasku di rumah. Gerakan tanganku yang semula sibuk menyiapkan makanan terhenti. Kemudian menetap Mas Hendra dengan ragu-ragu.

"Aku.... Aku siang tadi ke rumah sakit untuk mengambil, hasil pemeriksaan kita tempo lalu."

"Lalu apa hasilnya? Pasti kamu kan yang bermasalah! Di keluargaku itu semuanya subur-subur bahkan bibiku saja punya anak lebih dari 5."

Aku menghembuskan napas perlahan.

"Tidak ada yang bermasalah Mas, semuanya baik-baik saja. Mungkin saja memang kita harus berusaha lebih keras lagi."

Cih! Terdengar suara Mas Hendra berdecih.

"Sepertinya rumah sakit itu yang salah. Nanti jika aku ada waktu, periksa lagi ke rumah sakit yang lebih bagus."

Aku mengangguk samar.

Aku menggigit bibir saat melihat Mas Hendra mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia mengunyahnya perlahan kemudian terdiam.

HOEK!

"Makanan macam apa ini Winda! kenapa rasanya macam k o t o r a n?! Kamu ini nggak becus banget jadi istri."

"Ma—masa sih Mas?"

"Coba saja, kalo kamu nggak percaya!"

Dengan tangan bergetar aku mengambil sedikit makanan itu kemudian memasukkannya dalam mulutku.

Aku langsung mengernyit, sepertinya aku terlalu banyak menaruh garam pada masakanku. Ini pasti karena tadi siang aku terus saja melamun.

"A—asin."

"Tidak enak kan? Tau kan kesalahan kamu dimana? Lain kali di coba, jangan makanan tidak enak seperti ini kamu berikan pada suami!"

"Ma—maaf, Mas. Kalo begitu biar aku masakin lagi ya."

"Tidak perlu! Nafsu makanku sudah hilang."

BRAK!

Mas Hendra menggebrak meja membuatku tersentak.

Aku menatap punggung Mas Hendra yang berjalan penuh emosi, dengan mata yang mengembun.

Kemudian melihat ke arah makanan yang kubuat.

"Makanannya memang asin, tapi masih bisa dinikmati, setidaknya bicara baik-baik."

Air mataku menetes di pipi.

Tak berselang lama terdengar suara dari luar. Aku segera menghapus air mataku. Kemudian mulai merapikan piring.

"Selamat malam Mbak Winda." Firman mendekat ke arahku.

"Wah sedang makan malam rupanya, kebetulan aku sudah lapar." Firman duduk di kursi, kemudian mengambil piring. Aku mencegahnya.

"Jangan Firman, masakan ini tidak enak. Nanti Mbak masakin lagi ya, kamu bisa tunggu sebentar."

"Nggak usah Mbak, aku bisa makan yang ini. Lagi pula Mbak Winda kan sudah berkerja keras membuatnya, pasti capek."

Firman tak mendengarkan ucapanku, dia mulai menggendong makanan buatanku kemudian memasukkannya pada mulutnya.

Aku meringis, apa yang akan dikatakan Firman setelah ini.

Firman menyendok kembali, kemudian melahapnya lagi.

"Bukankah rasanya tidak enak? Mas Hendra saja tidak mau memakannya." lirihku.

"Sedikit asin Mbak, tapi masih bisa di nikmati. Kalau di buang kan mubazir. Biar Firman yang makan." ucapnya kemudian lanjut dengan suapan berikutnya sampai habis.

Aku tersenyum samar. Firman ternyata lebih bisa menghargai seseorang daripada suamiku.

***

Tengah malam, takut terbangun saat mendengar suara seseorang yang sedang merintih.

Aku melirik ke sebelah ranjang, tidak ada Mas Hendra di sampingku. Aku teringat, Mas Hendra pergi saat aku masuk ke dalam kamar selesai makan malam. Dan sampai saat ini dia tak kunjung pulang.

Suara rintihan itu terdengar kembali. Aku segera turun dari ranjang dan mencari sumber suara. Saat berpapasan dengan Firman sambil memegangi perutnya.

"Firman—" sapaku. Firman malah berbalik dan berlari ke arah kamar mandi.

"Tunggu sebentar Mbak!" teriaknya.

Kemudian terdengar suara air yg mengalir. Tunggu Firman di ruang tengah. Tempat biasa aku menonton televisi.

Firman menghampiriku dengan wajah sedikit pucat. Lalu duduk di sebelahku.

"Akhh!" desahnya.

Aku melirik ke arahnya. "Firman kamu—" belum sempat melanjutkan ucapanku Firman menjawabnya lebih dulu.

"Diare Mbak! Tapi gakpapa mencret dikit gak ngaruh." ucapnya.

Aku sedikit merasa bersalah. "Ini pasti karena kamu makan makanan Mbak tadi, Mbak kan udah bilang, kalo makanan itu lebih baik di bu—"

Sttt! Firman menempelkan jari telunjuknya pada bibirku.

"Aku gakpapa kok Mbak, mbak gak usah khawatir. " ucapnya kemudian tersenyum. Namun senyum itu pudar berganti menjadi meringis.

"Tuh kan, gakpapa bagaimana?! Tunggu sebentar ya, Mbak mau ngambil minyak tawon dulu."

"Loh kok minyak tawon Mbak? Nggak sekalian minyak urut?"

"Ah, maksud mbak... Minyak angin. Tunggu sebentar ya."

Aku segera mengambil minyak angin di kamarku, kemudian kembali menghampiri Firman di ruang tengah.

"Berbaringlah." Aku menyuruh Firman berbaring di sofa panjang. Dengan wajah yang masih meringis Firman menuruti apa kataku.

Setelah Firman berbaring, aku mendekat. Kemudian membuka kaos yang dia kenakan. Firman menatapku dengan lekat. Tanpa ragu Aku mengoleskan minyak angin pada permukaan perutnya. Sedikit mengurutnya, agar bisa mengurangi rasa sakit.

Firman memejamkan mata seolah menikmati sentuhan tanganku pada perutnya. Aku terus melakukannya, sampai Firman berhenti meringis. Namun aku merasa aneh, saat ringisan itu malah berubah menjadi suara d e s a h a n. Meskipun samar, tapi telingaku masih bisa mendengarnya.

"Mbak, bisa lebih sedikit di tekan lagi." pintanya.

Aku mengangguk. Kemudian mulai menekan lebih keras.

Firman memejamkan mata kembali saat jari lentik tuh mengelus-elus perutnya.

"Kebawahan dikit Mbak."

Aku mengangguk kembali. Kemudian mulai mengelus perut bagian bawahnya.

"Kebawahan lagi Mbak."

"Minyaknya tambahin dikit lagi."

Lagi-lagi aku menurut, mengikuti setiap yang di katakan Firman. Namun tak lama kemudian gerakan tanganku terhenti, saat tak sengaja menyentuh benda kenyal yang menegak keras.

Aku melirik ke arah Firman yang ternyata sedang menatapku dengan tatapan sayu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status