Share

Dedemit

Aku masih diam mematung di kamar mandi, menatap punggung polos Firman yang berjalan menjauh.

Aku meringis saat kembali merasakan ingin buang air kecil. Aku segera menutup pintu kemudian buang air kecil dengan lega.

Setelah selesai buang air kecil aku kembali ke kamar, aku terkejut saat melihat Mas Hendra terbangun. "Mas, kenapa kau bangun?" sapaku.

Mas Hendra tersenyum, "Aku ketiduran, melihatmu yang tidur nyenyak membuatku ikut mengantuk."

Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Apa kau butuh sesuatu? Biar aku ambilkan."

"Emm ya, aku baru ingat. Aku masih punya pekerjaan yang belum ku selesaikan." ujar Mas Hendra.

"Bisa kah kau pinjam laptop Firman di kamarnya. Laptopku tidak ada signal." sambungnya.

Aku terdiam. Apa? Kamar Firman? Jadi aku harus kembali ke sana. Ah menyebalkan. Belum rasa malu karena kejadian tadi menghilang. Dan sekarang aku harus ke kamar Firman.

"Win, kok melamun? Kau mau meminjamkan tidak. Kalo tidak ya tidak apa-apa. Biar Mas saja yang kesana." ujar Mas Hendra.

"Jangan. Biar aku saja. Tunggu sebentar ya." cegahku.

Mas Hendra mengangguk. Aku mulai berjalan ke luar kamar. Lalu mengetuk kamar yang bersebelahan dengan kamar kami.

Tak ada tanda-tanda Firman keluar membuat aku sedikit kebingungan. "Masuk, tidak ya." gumamku sambil menggigit bibir.

Aku memberanikan diri membuka knop pintu. Terlihat di atas ranjang ada Firman yang sedang berbaring dengan earphone di telinganya. Huh... Pantas saja sejak tadi dia tidak mendengarku, aku sudah berdiri lama sambil mengetuk pintu. Kakiku sampai pegal karenanya. Ish menyebalkan adik iparku ini.

Aku berjalan mendekat ke arahnya. Firman melihat kedatanganku. Dia langsung membuka earphone di telinganya. "Loh, Mbak Winda. Sejak kapan di sana?"

"Hem, aku kesini di suruh Mas Hendra, dia... Dia ingin meminjam laptopmu." terangku setengah menunduk.

"Ambilah," balasnya melirik ke atas meja di sebelah r@njang.

Aku mendekat dengan gugup mengambil laptop itu, saat menunduk aku melirik ke arah Firman. Kenapa dia terlihat biasa saja padahal aku telah melihat asetnya.

Aku menepuk dahiku sendiri saat pikiran kotor itu terlintas. "Akhh!" pekikku saat memukul terlalu keras.

"Kenapa Mbak?" tanya Firman kembali. Aku menggeleng. Kemudian berjalan menjauh. Belum sampai di pintu Firman memanggilku. "Mbak Winda, tunggu."

Firman mengambil sesuatu yang berada di lantai. Kemudian berjalan mendekatiku. Aku kebingungan saat dia tak kunjung bicara. Firman berjalan mendekat, semakin dekat. Aku malah takut Firman akan berbuat yang macam-macam.

Firman terus mendekat, tatapannya datar namun mata itu menatapku lekat. Aku mundur ke belakang. Dia semakin mendekat. Dengan satu tarikan dia meraih pinggangku. Laptop di tanganku hampir terjatuh karenanya.

"Firman, apa yang kau lakukan." pekikku, mendongak menatap matanya.

"Ssttt." Firman mendekatkan jari telunjuknya agar aku diam. "Jangan keras-keras Mbak. Nanti kak Hendra dengar." bisiknya.

Deg deg deg. Degup jantungku semakin cepat. Mungkin Firman juga bisa mendengarnya.

Firman meng?sap wajahku. Tak ada yang bisa kulakukan selain memejamkan mata. Teriakpun percuma, aku takut Mas Hendra mendengarnya. Tangan Firman meny?ntuh daun telingaku. Kemudian... "Sudah," katanya.

Aku menjadi gelagapan. "Apa, sudah?" tanyaku. Firman mengangguk, "Aku hanya memasangkan anting-antingmu yang terjatuh."

"Apa?" Cih kenapa harus seperti itu jika hanya memasangkan anting-anting, aku bisa sendiri. "Oh, terimakasih." Mungkin saat ini wajahku terlihat sangat kesal. Entah kenapa, aku merasa kecewa saat Firman tidak jadi melakukannya.

Aku berjalan menuju pintu, namun lagi-lagi Firman memanggilku. Dengan malas aku menoleh ke arahnya. "Apa?" kataku.

Firman mendekat kemudian mencondongkan wajahnya.

CUP!

Mataku langsung membulat, 'Maaf." katanya.

"Itu kan yang Mbak Winda inginkan?" pipiku memerah antara marah dan menahan malu.

Belum sempat menjawab, "Win..." teriakan Mas Hendra mengurungkan niatku

"Maaf Firman, aku harus segera pergi."

"Pergilah." Firman tersenyum.

Dengan langkah tergesa aku kembali ke kamar.

"Kau lama sekali Win?" tanya Mas Hendra sesampainya aku disana.

"Ma—maaf Mas, tadi aku mencari antingku yang terjatuh." kilahku. Padahal aku lama sebab ulah Firman barusan.

"Hem, pantas saja. Lalu kenapa wajahmu memerah?" tanya nya menatapku lekat.

Mataku langsung membulat, kemudian meny3ntuh pipiku. "Me—merah?"

"Iya, kenapa wajahmu memerah?"

Mataku bergerak liar mencari alasan. "Mungkin karena aku belum memakai krim malam."

"Krim malam?" Mas Hendra terlihat menautkan alis.

"Itu, Mas. Skinware, yang untuk mencerahkan wajah."

"Oh, baiklah. Sini kemarikan laptopnya."

"Ini Mas." ujarku menyerahkan laptop itu.

Aku menyentuh bibirku, kemudian mengulum senyum saat mengingat kejadian tadi. Namun senyumku langsung terhenti saat Mas Hendra memperhatikanku.

***

Hari ini aku begitu bersemangat untuk memasak menu kesukaan Mas Hendra dan juga..... Firman.

Baru hendak mengeksekusi bahan. Terdengar pintu rumahku di ketuk dengan kencang. Aku menghentikan aktifitasku. Bergegas menghampiri pintu.

KREK! pintu terbuka. Aku menghembuskan napas kasar melihat kakak iparku—Mbak Santi yang datang.

"Mana Hendra?" matanya bergerak liar melihat ke dalam.

"Biasakan kalo bertamu itu ngucap salam dulu, Mbak." tegurku.

"Alah! Gak usah sok ngajarin kamu. Mana adikku Hendra."

"Mas Hendra kan sedang bekerja, Mbak."

"Kalo begitu, dimana Firman?"

"Firman juga sama."

Mbak Santi terlihat menghela napas. Aku menatapnya yang terlihat sedikit gusar.

"Hem, kalo begitu.... kamu ada duit nggak Win. Mbak pinjam dong, dua ratus. Buat bayar kredit panci."

"Wah gak ada tuh Mbak. Maaf ya. Keuangan kan di pegang Mas Hendra semua."

"Alah, dasar kamu tuh ya! Bilang aja pelit. Salah memang Hendra memperistri kamu. Pantas saja belum di kasih anak. Lah wong pelit!" ketusnya.

Hati ku panas mendengar ucapan kakak iparku ini. "Jaga mulutmu, Mbak! Pantes aja rejekinya seret. Lah wong mulutnya kalo ngomong gak di saring dulu."

"Oalah! Ngajak ribut kamu!" Mbak Santi terlihat sedang mengambil ancang-ancang hendak menyerangku. Aku terbelalak dan langsung berteriak.

"Maliing.... Maliiiiiing!"

Mbak Santi terlihat gelagapan. Kemudian langsung lari terbirit-birit.

Ah syukurlah, dedemit yang satu itu sudah pergi. Aku bisa bernafas lega.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Skay Dejafu
bagus sekali ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status