Aku masuk ke dalam kamar hotel dengan ranjang berukuran big size. Firman hanya memesankan kamar untuk satu orang. Setelah memastikanku memiliki tempat menginap malam ini, dia bilang akan pulang. Aku duduk di pinggir ranjang dengan wajah tertunduk lesu."Mbak yakin tidak ingin pulang?" pertanyaan Firman membuyarkan lamunanku. Aku segera menggeleng, "Tidak," balasku."Sampai kapan?" Firman bertanya lagi. Aku menghembuskan napas kasar. "Entahlah, sampai kondisi hatiku membaik." jawabku."Baiklah, jika Mbak butuh seseorang untuk bercerita. Jangan sungkan padaku." ujarnya, aku tersenyum. "Terimakasih, Firman.""Tidak perlu berterima kasih. Mbak Winda adalah kakak iparku, aku pasti akan memastikan Mbak Winda baik-baik saja. Apalagi...." Firman menjeda ucapannya. Aku mendongak, menatap matanya lekat. "Apalagi?" tanyaku memastikan."Ah sudahlah, Mbak tidak perlu tau." katanya. Aku menautkan alis. "Apa Firman? Jangan membuat Mbak penasaran?!""Bukankah aku sudah pernah memberitahumu, bahwa—aku
Firman mendekat ke arahku. "Mbak. Apa kau butuh sesuatu? Kenapa wajahmu terlihat sendu?""Aku ingin pulang."Wajah Firman yang semula tersenyum berubah datar, "Pu—pulang?" tanya-nya. "Kenapa berubah pikiran, Mbak? Apa ada sesuatu yang membuat Mbak Winda nggak nyaman?" Aku menggeleng. "Tidak ada.""Lalu kenapa? Bukankah tadi Mbak memintaku untuk tidak memberitahukan keberadaan mu pada siapapun, termasuk Kak Hendra?" Firman menelisikku.Aku menunduk, "Tidak ada apa-apa, Mbak tidak ingin seperti ini terus. Mas Hendra harus bisa memutuskan kelanjutan tentang hubungan ini kedepannya mau seperti apa?!""Mbak Winda tak perlu khawatir, jika Kak Hendra tetap memilih wanita itu. Masih ada aku." ucapnya, tersenyum manis.Aku menatap Firman, mencari ketulusan di sana. Benarkah yang di ucapkannya. "Terimakasih,"Firman menghembuskan napas kasar. "Baiklah jika Mbak Winda ingin pulang, bersiap-siap lah. Aku akan mengurus sesuatu sebentar."Aku mengangguk.Firman keluar dari kamar hotel.***Kami pul
Aku mengangguk. Setelah Mas Hendra mengemudikan mobilnya dan berjalan menjauh, aku masuk ke dalam rumah, kemudian menutup pintu. Namun saat berbalik aku di kejutkan dengan Firman yang berdiri di belakangku."Firman!" pekikku terkejut. Firman malah tersenyum kemudian menarik pinggangku."Mbak, aku kangen banget, padahal baru tadi pagi kita berpisah." ucap Firman yang langsung memelukku.Aku berusaha untuk melepaskan diri, namun Firman semakin memelukku dengan erat. Aku menghembuskan napas kasar membiarkannya. Aku membalas memeluk Firman, nayatanya aku pun sangat merindukannya.Perasaan apa ini? Benarkah aku telah jatuh cinta padanya.Firman mengendurkan pelukannya, kemudian menatap wajahku. Aku membalas menatapnya. "Kenapa tadi kau bersikap dingin padaku? Bahkan kau sama sekali tidak melihat ke arahku. Aku salah apa?"Firman menangkup wajahku. "Tidak ada yang salah, Mbak. Aku hanya menjaga jarak saat ada Kak Hendra. Aku tidak ingin dia curiga."Aku mengulum b1bir, kata-kata Firman meny
"Mas, sudah kubilang—" Aku berbalik menghadapnya, dengan tangan yang masih melingkar di pinggangku. Mataku mengerjap melihat pria yang kini berada di hadapanku."Firman!"Sstttt! Firman menaruh jari telunjuknya pada bi birku. Kemudian tersenyum. Firman menarik pinggangku hingga aku tersentak.Kami saling memandang, jantungku berdegup kencang saat melihat manik mata Firman, apalagi senyumnya yang menawan. Firman mengusap pipiku kemudian menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Mbak Winda sangat cantik." bisiknya. Aku memalingkan wajah ke samping masih merasa kesal terhadap ulahnya tadi. Firman malah mencondongkan wajahnya kemudian meng?cup pipiku. Mataku membola, aku langsung menatapnya dengan sangar. Padahal dalam hatiku berbunga-bunga. Firman sungguh sangat romantis.Namun seketika aku teringat pada Mas Hendra yang berada di rumah juga, spontan aku mendorong Firman sekuat tenaga. Firman yang mendapat dorongan dariku tak seimbang dia menabrak rak dan terjatuh. Sebuah piring jatuh
KREK! pintu kamar terbuka, kini Firman berdiri di hadapanku. Dengan mata berkaca-kaca aku menatap wajahnya. Firman mendekat kemudian, "Bukan karena Mbak telah jatuh cinta padaku?" ujarnya. Membuatku menelan ludah.Glek!Firman mendekat ke arahku, aku menunduk. Mulutku terkatup rapat, sulit untuk mengatakan perasaanku. Aku merasa malu mengingat statusku adalah kakak iparnya."Katakan Win, Winda. Tak perlu malu, disini hanya ada kita berdua." bisik Firman. Aku mendongak menatapnya, saat panggilan dirinya terhadapku telah berubah."Se—sebenarnya aku... Aku memang, E—" Aku tergagap. "Apa, Hem?" Firman menarik pinggulku hingga jarak kami semakin dekat. Dalam posisi ini aku sangat merasa malu, jantungku berdegup semakin kencang.Deg deg deg.Firman meraih wajahku yang semula menunduk, agar mendongak menatap wajahnya. Firman meng3lus wajahku. Aku memejamkan mata, s?ntuhan ini sangat ku rindukan.Mataku terbuka. "Aku tau ini salah, tapi aku tak bisa membohongi diriku lagi. Aku .... Mencintai
Hari ini, cuaca sangat cerah, secerah hatiku. Tadi pagi mendapatkan kecupan dari kekasih hati, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Aku jadi tambah bersemangat untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku pergi ke pasar tanpa di temani oleh siapapun. Firman dan Mas Hendra tidak ada di rumah. Mereka sudah pergi bekerja sejak pagi tadi. Jadi aku hanya sendiri di rumah.Di pasar aku tak sengaja berpapasan dengan kakak iparku—Mbak Santi.BRUK!"Ahh!" Aku memekik saat seseorang seperti sengaja menabrakku. Barang-barang belanjaan yang ku bawa jatuh. Berserakan di tanah. Begitu juga dengan milik si penabrak."Makanya kalo jalan itu liat-liat!" ujarnya. Aku seperti mengenali suaranya kemudian mendongak melihatnya. "Mbak Santi!" kataku.Mbak Santi membuang pandangan saat aku menyapanya. "Mbak Santi apa kabar? Terakhir aku dengar dari Mas Hendra katanya Mbak mencret-mencret, ya. Sampe masuk rumah sakit, masuk doang. Abis itu balik lagi soalnya gak bawa BPJS." Mbak Santi tersenyum miring, "Iya. Itu s
Aku langsung menyentuh leherku, "Ta-tanda merah apa?" Dadaku berdebar-debar.Mas Hendra mundur kebelakang, tatapan matanya menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.Mas Hendra langsung turun dari ranjang, kemudian menarik tanganku membawaku pada cermin rias yang berada di kamar ini. "Lihatlah," tunjuknya pada sisi leherku sebelah kiri. Aku tercekat, ini pasti bekas kissmark Firman tadi pagi. Aku menelan ludah, kemudian menoleh kepada Mas Hendra yang sedang menatapku penuh tanya.Aku menghirup napas dalam, kemudian mencoba menetralkan perasaanku. Agar tampak biasa saja di hadapan suamiku. Aku menggaruk pada sisi leherku yang terdapat tanda merah."Oh, ini. Tadi di gigit semut, Mas. Rasanya panas dan gatal, jadi aku garuk.""Se—semut?" Mas Hendra menautkan alis."Mas, tidak lihat memang? tadi Firman bilang apa? Di dapur banyak semut. Mungkin karena sisa makanan yang tidak ku buang dengan bersih. Jadi, mereka merayap dan menggigitku saat sedang mencuci piring," Aku berusaha untuk
"Win, sepertinya aku pulang larut malam hari ini. Aku akan keluar kota sebentar, tapi tidak menginap," ujar Mas Hendra saat kami sedang sarapan di meja makan.Gerakan tanganku yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulutku terhenti. Aku menoleh ke arahnya. "Baiklah." aku mengangguk, padahal dalam hatiku bersorak. Itu artinya aku akan banyak menghabiskan banyak waktu bersama Firman."Kau tidak perlu menungguku. Jika kau mengantuk, kau tidur saja duluan." sambungnya.Aku melirik ke arah Firman kemudian tersenyum, Firman membalas senyumku. Aku yakin Firman berpikiran yang sama denganku. Aku melanjutkan kembali sarapanku."Aku sudah selesai." Mas Hendra mengelap mulutnya dengan tissue, kemudian mengambil tas kerjanya yang berada di kursi kosong. Dia mendekat ke arahku kemudian mengecup kepalaku, Firman langsung membuang pandangan ke arah lain.Mas Hendra mengangkat daguku agar mendongak menatapnya yang berdiri di sampingku, dari menyeka noda makanan yang tersisa di bibirku dengan ibu jar