Share

Tukang servis

Aku masuk kembali ke dalam rumah melanjutkan aktifitas memasakku. Aku harap tidak ada gangguan lagi seperti tadi.

Setelah selesai memasak menu kesukaan Mas Hendra dan juga Firman, aku langsung mengambil sendok kemudian mencicipinya. "Mmh, rasanya sangat pas." Aku sangat tidak sabar menyajikannya pada suami dan adik iparku.

Sore hari,

Terdengar suara gemericik air, yang artinya di luar sedang hujan deras. Aku menonton televisi dengan serius, melihat berita maling masuk saat penghuni rumah sedang tertidur. Mendadak aku takut. Karena di rumah hanya sendiri, Mas Hendra biasa pulang malam. aku yang fokus menonton televisi terkejut saat mendengar langkah kaki mendekat. Segala pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Aku langsung mengambil sapu, kemudian menjadi waspada, takut jika itu adalah maling atau penjahat yang ini mencuri di rumahku.

Aku bangkit dari sofa, berjalan menuju ruang tengah di sana ada seorang pria yang sedang membelakangiku. Dia menggunakan Hoodie berwarna hitam. Aku merasa asing dengan pakaian tersebut.

Aku segera mengambil ancang-ancang untuk memukulkan gagang sapu padanya.

Aku menghitung mundur dalam hati. "Tiga... Dua.... Satu!"

BUGH! BUGH! "Rasakan ini, kamu pasti mau maling kan hem." seruku gemas. Memukul pria itu bertubi-tubi.

"Aw ah... Sakit Mbak!"

"Mbak!" pekiku. Suara itu seperti aku kenal. Aku segera berhenti memukulnya. Pria itu berbalik, aku langsung terbelalak.

"Firman!" seruku.

"Sakit Mbak, kenapa Mbak memukuliku?"

Aku kebingungan, menjadi gelagapan sendiri. "Em maaf Firman, mbak kira kamu maling tadi, habis gak biasanya kamu pakai Hoodie begitu." Aku nyengir ke arahnya, menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

Firman manggut-manggut, di wajahnya terlihat sedikit kesal. "Oalah,"

"Maaf ya?" lirihku.

"Iya Mbak, gakpapa aku paham. Di luar hujan Mbak, aku tidak bawa jas hujan. Jadi aku pinjam Hoodie teman agar tidak terlalu basah, tapi ternyata hujannya semakin deras."

Firman terlihat menggigil.

"Kamu kehujanan?"

"Iya Mbak. Dingin." jawabnya sambil memeluk lengannya sendiri.

"Yasudah, kamu masuk gih. Ganti bajumu, mbak siapkan air hangat untukmu mandi, biar gak masuk angin."

Firman menurut kemudian masuk ke dalam kamarnya. Aku segera pergi ke dapur menyiapkan air hangat untuk adik iparku itu.

***

Aku duduk di sofa menonton sinetron azab kesukaanku. Sambil memakan camilan. Aku ikut terbawa suasana dengan kisah yang berada di dalamnya.

Tiba-tiba saja Firman datang dan duduk di sebelahku, aku tersentak. Apalagi dia merebut camilan di tanganku tanpa aba-aba.

"Lagi nonton apaan sih Mbak, serius amat?" tanya Firman sambil memakan camilan milikku.

"Em itu.... Azab tukang pengutil semv@k." kataku. Aku sedikit gugup saat berdekatan seperti ini dengan Firman. Jarak kami hanya beberapa senti saja.

"Mbak suka nonton?"

Aku menggeleng. "Baru kali ini." kilahku.

"Mari kita nonton bersama, sepertinya seru."

Aku mengangguk, akhirnya kami menonton bersama. Aku sangat takut saat may4t itu berubah menjadi hantu. Aku mendekat ke arah Firman bersembunyi di balik lengannya.

"Mbak takut sama hantu?"

Aku yang merasa takut hanya mengangguk, dengan kepala yang masih bersembunyi di lengan Firman. Semakin erat memegangi lengannya. Aroma maskulin Firman membuat pikiranku melayang. Memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.

"Baiklah, aku ganti saja."

"Sudah Mbak." sambungnya.

Aku mengintip dengan sebelah mata. Ternyata benar Firman telah mengganti Chanel tersebutlah. Syukurlah.

Aku kembali melihat ke arah layar. Merubah posisi seperti semula. Disana ada menayangkan film Asia—Romansa, aku dan firman menontonnya dengan seksama.

Diluar hujan semakin deras, membuat suasana sore menjadi dingin. Aku sedikit merapat ke arah Firman. Suasana menjadi hening, kami larut dalam layar televisi. Sial! Adegan di sana sedang berci*man, tokoh dalam cerita itu sedang bercumb* dengan panas. Aku langsung membuang pandangan ke arah lain. Aku sedikit melirik ke arah Firman yang masih menonton dengan serius.

"Lama sekali adegannya." Kataku mulai gelisah.

Terdengar Firman menghela napas. Tangannya bergerak menyentuh pundakku. Merapatkan duduknya padaku.

"Mbak!" panggilnya.

Aku menoleh, Firman juga menoleh ke arahku. Tatapan kami terpaku. Suasana yang dingin dan sepi membuat pikiranku tidak waras.

Dari dekat wajah Firman begitu tampan dan menggoda. Wangi parfum bercampur sabun membuat pikiranku kacau.

"Jangan Winda, dia adik iparmu." ucapku dalam hati. Aku mencoba mengingatkan diriku sendiri.

"Mbak... " panggilnya sekali lagi.

"Hem ya." jawabku. Jarak wajah kami begitu dekat. Firman mengangkat tangannya mengusap pipiku. "Mbak Winda cantik sekali."

"Kak Hendra sangat beruntung bisa memilikimu." sambungnya.

Mataku mengerjap, aku berusaha untuk tidak tersenyum akan pujiannya.

Suasana semakin dingin hingga menembus pori-pori kulit, hujan di luar semakin deras saja.

Dalam lampu yang sedikit temaram, Firman mencondongkan wajahnya mendekat ke arahku. Aku menatapnya dengan tatapan sayu. Entah siapa yang mulai lebih dulu akhirnya kami berciu—man.

Napasku terengah-engah, Firman menyeka air liur di sudut bibirnya. "Mbak, maafkan aku. Aku terbawa suasana lagi."

"Tidak apa-apa, M-mbak juga terbawa suasana." Aku merasa gugup sekaligus canggung.

"Kalau begitu Mbak permisi dulu mau ke dapur sebentar."

"Oh iya Mbak, aku juga mau masuk ke kamar, ada pekerjaan yang belum aku selesaikan."

Kami sama-sama canggung dan salah tingkah. "Maafkan soal tadi." ucapnya sambil menggaruk kepalanya.

Aku mengangguk, kemudian langsung pergi ke dapur. Sesampai di sana aku berpegangan pada sisi meja dapur. Menetralkan perasaan dan juga pernapasanku.

Aku mengulum senyum. Debar-debar tak biasa itu semakin terasa.

***

Pukul 8 malam, deru mobil berhenti di halaman. Aku yang mendengarnya sumringah itu pasti suamiku yang datang. Aku segera keluar dari kamar lalu menghampirinya.

"Di luar masih hujan, Mas?" sapaku.

"Iya,"

"Yasudah, ayo masuk." Aku membawa tas kerja suamiku, lalu mengekorinya dari belakang.

Mas Hendra menaruh jam tangan dan juga Handphonenya di atas nakas, kemudian mencopot kemeja kerjanya. Aku membantu melepaskannya.

"Aku sudah memasak kesukaanmu Mas." ujarku.

"Baiklah, tolong hangatkan lagi. Aku mau mandi dulu sebentar."

"Apa perlu aku masakan air hangat?" tawarku.

"Tidak perlu." jawabnya.

Setelah Mas Hendra keluar kamar untuk mandi, tak lama kemudian. Dering ponselnya berbunyi, aku segera mengambil dan mengangkatnya, takut jika itu dari kantornya dan sangat penting.

Aku menekan tombol hijau kemudian mendekatkannya ke telinga.

"Halo sayang, aku kangen. Kapan kita bertemu?"

Sayang? Aku langsung segera mengecek nama yang tertera. Dan kembali mendekatkan ponsel itu ke telinga.

"Halo, ini siapa? Kenapa memanggil suamiku dengan sebutan sayang?" tanyaku menggebu dengan tangan bergetar.

TUT! panggilan itu di tutup sepihak, tanpa ku tahu siapa yang menelpon suamiku barusan dengan nama kontak 'tukang servis'.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Su nawar
terbawa suasana
goodnovel comment avatar
Ahmad Sastra
baguss ceritanya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status