Aku terbangun di pagi hari. Mataku mengerjap melihat sekitar. Aneh, bukankah semalam aku tidur di sofa ruang televisi. Lalu kenapa aku bisa berada di kamar.Dan, dimana selimut Firman? Bukankah semalam Firman menyelimutiku dengan selimutnya.Aku melihat ke arah suamiku yang sudah berpakaian rapih."Mas, kenapa aku bisa disini? Bukankah—" belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Hendra sudah menjawabnya. "Aku yang memindahkanmu.""Kau?" tanyaku."Iya, tumben sekali kau menonton televisi sampai ketiduran. Tidak seperti biasanya." ucap Mas Hendra sambil memakai dasi di lehernya. Dia menatap wajahku dari pantulan cermin."Aku—aku semalam tidak bisa tidur, jadi mencoba untuk menonton televisi dan malah ketiduran." sahutku. Ku paksakan untuk tersenyum. Agar Mas Hendra tidak curiga bahwa aku tidak bisa tidur karena memikirkan Firman.Aku bergeming, benarkah semalam hanya mimpi? Tapi kecupan itu terasa nyata.Aku mendadak kecewa, jika itu semua benar hanya mimpi. Itu artinya Firman masih ma
"Apa Mbak Winda memiliki perasaan yang sama? Di.... Sini." terangnya menunjuk ke arah dadaku.Deg deg deg!Degup jantungku berdetak kencang."Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku... Aku—" belum sempat aku menjawab pertanyaannya. Firman telah membungkamku dengan b1birnya.Drrttt Drrttt Drrtt.Dering ponsel Firman berbunyi, dia segera berhenti. Kemudian mengambil ponselnya yang berada di saku celana."Halo?""Baiklah. Ya, aku sudah menemukannya. Aku akan segera kesana. Hem."Napasku masih terengah-engah. Aku merapihkan bajuku yang sedikit berantakan lalu menyaka sudut bib1rku yang terdapat air l1ur kami.Firman melirik ke arahku. Kulihat dad4nya juga masih naik turun. "Mbak, maaf aku harus segera pergi. Em—terimakasih untuk vitaminnya."Hah! Vitamin? Vitamin apa? Mataku langsung mengerjap. Belum sempat bertanya Firman sudah pergi keluar.***Setelah Firman pergi aku segera pergi ke dapur. Belum sempat mengolah bahan apa saja yang ku beli di Bang Jamal. Pintu rumahku ada yang mengetu
"Firman!"Firman segera menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Kemudian menaruh jari telunjuknya di bibirku. Aku menatapnya kebingungan, mau apa dia."Jangan berisik, Mbak. Nanti Kak Hendra dengar." ucapnya kemudian melepaskan jarinya dari bibirku. Mataku mengerjap memandangnya. Firman juga menatapku dengan tatapan sayu."Jika kau ingin memakai kamar mandinya bilang, biar Mbak yang keluar." kataku, bersiap membuka pintu. Namun Firman malah membalik badanku agar menghadapnya. Aku sedikit tersentak, apalagi Firman mengunciku dengan kedua tangannya di letakan ke tembok."Aku tau Mbak tidak puas kan sama Kak Hendra?" tanyanya menelisik wajahku. Aku membuang pandangan ke samping. Firman mencondongkan wajahnya mendekat hampir menyentuh wajahku. Posisi ini membuat aku yang terbakar g4irah semakin memanas."Itu bukan urusanmu!" ucapku masih enggan menatapnya."Aku tau, aku sering mendengarnya." jawabnya. Aku langsung menatapnya. "Aku tau Mbak tidak puas dengan Kak Hendra, aku juga tau Kak He
Kami tiba di tempat parkiran motor, semua mata memandang ke arahku dan juga Firman, hal itu membuatku sedikit merasa tidak nyaman.Setelah Firman memarkirkan motornya dia bergegas menghampiriku. "Ayo, Mbak. kita cari bahan yang Mbak inginkan?!" ajaknya, menggenggam tanganku. Aku segera menepis tangannya, tak enak dengan tatapan orang-orang yang berada disana. Sepertinya mereka mengenaliku. Aku biasa di antar oleh Mas Hendra, namun kali ini malah di antar oleh laki-laki berbeda. "Tidak perlu, sebaiknya kau di sini saja, Firman." tukasku."Loh, kok begitu, Mbak? aku kan mau nganter Mbak Winda ke pasar, tentu saja aku harus ikut. Masa di sini terus, emangnya aku tukang ojek." Firman membuang pandangan ke arah lain, sepertinya dia merajuk.Aku menghembuskan napas kasar "Dasar Firman. Udah jangan ngambek begitu. Tapi nanti kamu jangan rewel ya.""Siap Bos!" Jawabnya memberi hormat. Firman nyengir ke arahku, memperlihatkan barisan giginya. Dia tersenyum sangat—manis.Deg Deg Deg!Jantungku
Aku menempelkan telingaku pada daun pintu. Suara itu semakin terdengar jelas."Ayo, Mas. Goyang yang cepat. Ahh!""Kau sangat nikm4t sayang."Tiba-tiba saja perasaanku mendadak tidak enak. Keringat dingin membanjiri pelipisku. Pikiranku berkecamuk memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam sana.Aku segera mengetuk pintu dengan cepat, kemudian membukanya.BRAK!Mataku membulat sempurna, disana ada Mas Hendra dan seorang—wanita. Mereka terkejut melihat kehadiran ku. Mereka sedang berada dalam posisi sang wanita duduk di pangkuan suamiku. Dengan tangan yang melingkar di lehernya.Melihat kehadiranku Mas Hendra langsung mendorong wanita itu agar berdiri. Aku diam mematung, lidahku kelu tak mampu berucap sepatah katapun. Jadi benar dugaanku mengenai kontak bernama 'tukang servis' waktu itu. Apa itu kontak wanita yang sedang bermain dengan suamiku itu.Mas Hendra membetulkan celananya dengan cepat, kemudian berjalan menghampiriku yang masih diam mematung di daun pintu."Winda sayang, kau
Aku masuk ke dalam kamar hotel dengan ranjang berukuran big size. Firman hanya memesankan kamar untuk satu orang. Setelah memastikanku memiliki tempat menginap malam ini, dia bilang akan pulang. Aku duduk di pinggir ranjang dengan wajah tertunduk lesu."Mbak yakin tidak ingin pulang?" pertanyaan Firman membuyarkan lamunanku. Aku segera menggeleng, "Tidak," balasku."Sampai kapan?" Firman bertanya lagi. Aku menghembuskan napas kasar. "Entahlah, sampai kondisi hatiku membaik." jawabku."Baiklah, jika Mbak butuh seseorang untuk bercerita. Jangan sungkan padaku." ujarnya, aku tersenyum. "Terimakasih, Firman.""Tidak perlu berterima kasih. Mbak Winda adalah kakak iparku, aku pasti akan memastikan Mbak Winda baik-baik saja. Apalagi...." Firman menjeda ucapannya. Aku mendongak, menatap matanya lekat. "Apalagi?" tanyaku memastikan."Ah sudahlah, Mbak tidak perlu tau." katanya. Aku menautkan alis. "Apa Firman? Jangan membuat Mbak penasaran?!""Bukankah aku sudah pernah memberitahumu, bahwa—aku
Firman mendekat ke arahku. "Mbak. Apa kau butuh sesuatu? Kenapa wajahmu terlihat sendu?""Aku ingin pulang."Wajah Firman yang semula tersenyum berubah datar, "Pu—pulang?" tanya-nya. "Kenapa berubah pikiran, Mbak? Apa ada sesuatu yang membuat Mbak Winda nggak nyaman?" Aku menggeleng. "Tidak ada.""Lalu kenapa? Bukankah tadi Mbak memintaku untuk tidak memberitahukan keberadaan mu pada siapapun, termasuk Kak Hendra?" Firman menelisikku.Aku menunduk, "Tidak ada apa-apa, Mbak tidak ingin seperti ini terus. Mas Hendra harus bisa memutuskan kelanjutan tentang hubungan ini kedepannya mau seperti apa?!""Mbak Winda tak perlu khawatir, jika Kak Hendra tetap memilih wanita itu. Masih ada aku." ucapnya, tersenyum manis.Aku menatap Firman, mencari ketulusan di sana. Benarkah yang di ucapkannya. "Terimakasih,"Firman menghembuskan napas kasar. "Baiklah jika Mbak Winda ingin pulang, bersiap-siap lah. Aku akan mengurus sesuatu sebentar."Aku mengangguk.Firman keluar dari kamar hotel.***Kami pul
Aku mengangguk. Setelah Mas Hendra mengemudikan mobilnya dan berjalan menjauh, aku masuk ke dalam rumah, kemudian menutup pintu. Namun saat berbalik aku di kejutkan dengan Firman yang berdiri di belakangku."Firman!" pekikku terkejut. Firman malah tersenyum kemudian menarik pinggangku."Mbak, aku kangen banget, padahal baru tadi pagi kita berpisah." ucap Firman yang langsung memelukku.Aku berusaha untuk melepaskan diri, namun Firman semakin memelukku dengan erat. Aku menghembuskan napas kasar membiarkannya. Aku membalas memeluk Firman, nayatanya aku pun sangat merindukannya.Perasaan apa ini? Benarkah aku telah jatuh cinta padanya.Firman mengendurkan pelukannya, kemudian menatap wajahku. Aku membalas menatapnya. "Kenapa tadi kau bersikap dingin padaku? Bahkan kau sama sekali tidak melihat ke arahku. Aku salah apa?"Firman menangkup wajahku. "Tidak ada yang salah, Mbak. Aku hanya menjaga jarak saat ada Kak Hendra. Aku tidak ingin dia curiga."Aku mengulum b1bir, kata-kata Firman meny