Share

Satu sama

"Mbak, Mbak Winda!" Firman menjentikkan jari di depan mataku. Aku langsung tersentak, tersadar dari lamunan.

"Em, a—apa?" ucapku gugup.

"Aku tanya, Kak Hendra sering berbuat kasar seperti ini? Eh mbak malah melamun." tanya nya. Menatap wajahku.

Jadi yang barusan kami lakukan itu hanya hayalanku? Ah, aku langsung menyentuh bibirku. Benar, kering.

"Mbak kenapa? Bi bir nya masih sakit?"

"Bukankah kita tadi—" ucapannku terjeda, aku tak jadi melanjutkannya.

"Tadi apa Mbak, wah jangan-jangan Mbak mikir yang enggak-enggak ya." Firman mengejekku.

Aku langsung menggeleng. "Tidak, Mbak gak mikir yang aneh-aneh kok."

"Terus itu kenapa, kok megangin bibir aja, apa Mbak Winda mau Firman ci um, biar cepat sembuh?!"

Seketika mataku langsung membulat mendengar penawarannya. Aku langsung mencubit pinggang Firman. "Kamu ya!"

"Aw, sakit Mbak. Ampun Mbak!" Firman mengg3linjang sambil terkekeh. Aku ikut tertawa bersamanya.

Kemudian napas kami terengah, tawa kami pun terhenti.

"Nah, kalo ketawa gini kan Mbak Winda keliatan cantik." ujar Firman menatapku lekat.

Pipiku tiba-tiba saja terasa memanas, aku tersipu.

Aku bangun dari ranjang, berniat pergi dari sana. "Sudahlah, Mbak mau masak dulu."

"Biar Firman bantu ya Mbak." pinta Firman, mengiringi langkahku.

"Tidak perlu, kamu istirahat saja, ini kan hari libur." tolakku.

"Tidak apa-apa, Mbak. Firman janji gak bakal merepotkan Mbak."

Langkahku terhenti, kemudian melirik ke arahnya. "Benar ya?"

"Iya," Firman mengangguk, kemudian tersenyumlah manis.

***

Kami mulai memasak bersama di dapur, aku menjadi sedikit risih dengan kehadiran Firman. Aku mengupas bawang sambil terus memperhatikan Firman yang sedang sibuk memotong bahan masak dengan cekatan. Aku tertegun, Firman bisa melakukan semua itu padahal itu pekerjaan perempuan.

"Kenapa Mbak? Kaget ya, ngeliat aku bisa melakukan semua ini?"

Aku sedikit malu, ternyata Firman menyadari rasa penasaranku terhadapnya.

"Aku kan dulu merantau, Mbak. Jadi melakukan semua ini sendiri. Awalnya aku juga nggak bisa, tapi lama-lama jadi terbiasa."

"Ma-maaf Mbak tidak tau banyak hal tentang kamu."

"Gimana mau tau, semenjak Mbak menikah dengan Kak Hendra, kita kan jarang bertemu. Sekalinya bertemu Mbak Winda selalu menghindar. Jadinya ya, kita gak sempet ngobrol seintim ini."

Aku mengangguk, membenarkan ucapan Firman.

Aku mulai mengambil bahan masakan kemudian membawanya ke arah keran mencucinya.

Firman mendekat ke arahku yang tengah berdiri di wstafel. "Mbak bukan begitu cara mencucinya." tegur Firman padaku.

Aku sedikit tersentak. "Oh benarkah? Aku biasa mencuci dengan menggoyangkan wadahnya." ujarku.

"Jika cara mencucinya seperti itu. Maka kotorannya tidak akan hilang. Itu sama saja tidak higenis. Sini biar aku ajari."

Firman mendekat ke arahku, aku jadi terhimpit karenanya. Tangannya meraih tanganku, kemudian membawanya ke arah keran yang menyala.

"Begini Mbak." ujarnya dengan wajah serius mengajariku.

Dalam posisi begini, bisa kurasakan hembuskan napasnya menyentuh leherku. Aku merasa gugup. Degup jantungku berdebar kencang.

Wajah Firman mendekat hampir menyentuh pipiku. Jantungku semakin jumpalitan saja.

"Mbak..." bisiknya pelan di telingaku. Membuat tu bu h ini berdesir.

"A—apa?" jawabku. Posisi kami masih sama, dengan tangan yang mengaduk-aduk di dalam wadah.

"Mbak Winda wangi banget." tukasnya. Kemudian mengendus tengkukku, membuatku sedikit mendesis.

Aku menggigit bibir bawahku. "Fi—Firman...." lirihku.

Firman tersentak kemudian langsung menjauh. "Ah maaf Mbak. Aku terbawa suasana."

Aku menunduk. "Ah tidak apa-apa." balasku.

"Baiklah, aku akan mengerjakan yang lain saja."

Kami melanjutkan memasak bersama, sesekali Firman membuat kelakar sehingga aku tertawa, melupakan kesedihan yang baru beberapa jam yang lalu akibat perlakuan kakaknya padaku.

Aku menatap punggung Firman yang masih tertawa, pria dewasa yang lemah lembut. Seandainya saja Mas Hendra seperti Firman mungkin aku akan bahagia. Kami menikah karena cinta. Tapi semenjak tak kunjung di karuniai kehadiran seorang anak, sikapnya yang semula manis berubah, apalagi kakak iparku Mbak Santi, terus memprovokasi Mas Hendra agar menceraikanku.

Aku mencicipi masakan yang di buat olehku dan juga Firman. "Hem, rasanya pas. Sangat enak." ujarku.

"Tapi masakan yang di buat oleh Mbak Winda sendiri jauh lebih enak. Aku suka." sahutnya.

Deru langkah kaki yang mendekat membuat aku dan Firman menoleh ke arah sumber suara. Dan kini berdiri seorang lelaki yang beberapa jam yang lalu telah menamparku.

Mas Hendra menatapku dan juga Firman. Aku membuang pandangan ke arah lain. "Kalian sedang apa?"

"Aku sedang membantu Mbak Winda memasak Kak. Kasian dia, sepertinya suasana hatinya kurang membaik. Aku pergi dulu." jawab Firman tersenyum sambil menepuk pundak Mas Hendra.

Kini hanya ada aku dan Mas Hendra di dapur.

"Win, bisa kita bicara sebentar?"

"Bicaralah."

"Jangan disini, ada Firman. Aku tidak enak. Sepertinya dia mendengar pertengkaran kita tadi."

"Lalu dimana?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Di kamar saja. Ayo." Mas Hendra berjalan mendahuluiku.

"Baiklah." kataku. Aku berjalan mengekorinya dari belakang.

Sesampai di dalam kamar mas Hendra langsung bersimpuh di kakiku. Aku sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

"Win maafkan Aku, aku khilaf. Aku tak sengaja telah menyakitimu. Maafkan aku Win." lirihnya.

"Mas, kau kenapa?"

"Maafkan aku Win. Jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu. Kau benar, aku terlalu mendengarkan ucapan Kak Santi."

Aku menyentuh pundaknya. "Mas, ayo bangun."

Mas Hendra menggeleng. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memaafkanku."

"Aku memaafkanmu." kataku tersenyum. Mas Hendra mendongak. Aku menuntunnya untuk berdiri.

"Aku sangat mencintaimu Win." ujarnya kemudian mengecup keningku.

Entahlah Mas Hendra selalu begini setiap kali membuat kesalahan. Dia aka pergi sebentar, setelah itu memohon maaf. Besoknya di ulangi lagi. Aku sedikit lelah menghadapi sikapnya.

***

Pukul 9 malam.

Aku ketiduran sore hari dan baru terbangun. Aku menoleh ke samping. Dan ternyata Mas Hendra sudah terlelap di sampingku.

Aku tidak tau dimana Firman, dia sudah pulang atau belum?

sejak selesai masak siang tadi Firman tak kunjung pulang. Entah dimana dia?

Aku turun dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ku segera langkahkan kaki karena sudah tak tahan.

Sesampai disana aku segera mendorong pintunya sebab tak terkunci.

BRAK!

Mataku terbelalak saat melihat Firman yang sedang mandi di dalamnya. Firman pun sama! tak kalah terkejut dariku. Disana dia tengah menggosok gigi dengan keadaan tanpa busana.

Aku hendak berteriak "A—" namun Firman mendekat kemudian membekap mulutku.

Aku tak bisa bersuara, mataku bergerak liar melihat belalai gajah di bawahnya. Firman segera menutup pintu dengan kakinya. Menyelesaikan mandinya. Kemudian mengambil handuk di castok. Dan segera memakainya.

Firman melepaskan tangannya dari mulutku. Aku diam mematung, sampai Firman hendak pergi dari sana. Namun sebelum itu dia berbisik, membuatku diam membisu. "Satu, sama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status