Share

Bertemu kakak ipar

Aku mengangguk kembali. Kemudian mulai mengelus perut bagian bawahnya.

"Kebawahan lagi Mbak."

"Minyaknya tambahin dikit lagi."

Lagi-lagi aku menurut, mengikuti setiap yang di katakan Firman. Namun tak lama kemudian gerakan tanganku terhenti, saat tak sengaja menyentuh benda kenyal.

Aku melirik ke arah Firman yang ternyata sedang menatapku dengan tatapan sayu.

"Fi—Firman, K-kau?" Aku menjadi gugup.

"Maaf, Mbak. Aku tidak bisa menahannya." lirihnya.

Aku langsung menarik tanganku dari sana.

BRAK!

Pintu rumah terbuka menampakkan Mas Hendra di sana. Firman segera terduduk. Dan aku juga segera berdiri. Aku sangat gugup, takut Mas Hendra salah paham.

"Kalian sedang apa?" tanyanya menatapku dan Firman bergantian.

"Perut ku sangat sakit Kak, sepertinya aku diare. Jadi aku minta minyak angin dan obat pada Mbak Winda."

Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin di depan Mas Hendra.

"Oh, kalau begitu minum obatmu."

Mas Hendra masuk ke dalam, kemudian menarik tanganku agar mengikutinya masuk kedalam kamar kami. Aku hanya menurut saja, mengekorinya dari belakang.

Kami duduk di bibir ranjang. Mas Hendra menatapku sambil menggenggam tanganku.

"Win, maafkan aku. Harusnya aku tak bersikap kasar padamu."

Mas Hendra mengecup punggung tanganku berkali-kali sambil meminta maaf.

"Iya, Mas. Tidak apa-apa, ini semua salahku, aku yang melamun saat memasak, jadi salah memasukan antara garam dan gula." kataku membalas senyumannya.

Mas Hendra mendekat kemudian tanpa aba-aba melum4t bibirku. Aku yang terbuai mulai membalas c i u m a nnya. Napas Mas Hendra memburu, menandakan dia sudah di kuasai oleh nafsu.

Dengan cekatan Mas Hendra melepaskan pakaian yang menempel di t u b u h ku. Aku terbuai akan belaiannya. Menikmati setiap sentuhannya pada t u b u hku.

"Ahh... " D e s a h a nku lolos begitu saja.

Aku semakin belingsatan saat Mas Hendra meng****m p***** susuku. Lidahnya menari-nari di puncaknya. Membuat darahku semakin berdesir. Gair*h di dalam diriku semakin memanas.

Mas Hendra merebahkan tubuku di ranjang kemudian siap melakukan penyatuan kami.

"Mas, tunggu. Biar aku keluar lebih dulu."

"Aku sudah tidak tahan Win."

Penyatuan pun terjadi, Mas Hendra terus memacu bir4hi di atasku.

Aku yang sebentar lagi mencapai pelepasan mencengkram kuat sprei. Namun tak berselang lama terdengar suara lenguhan Mas Hendra. Lagi-lagi dia telah mencapai pelepasan sebelum aku. Aku sangat kecewa. Mas Hendra benar-benar tidak memikirkan perasaanku.

Percuma saja aku mengeluh padanya. Dia tidak akan pernah mendengarkanku. Kata 'lelah' selalu menjadi jawaban andalannya.

Setelah Mas Hendra menggeser t u b u h nya dari t u b u h ku. Aku turun dari ranjang memunguti pakaianku satu persatu tanpa sepatah kata pun. Aku memakai kembali pakaianku, menyambar handuk lalu berjalan ke arah kamar mandi. Saat melewati kamar Firman, kamar itu terdengar senyap, sepertinya Firman telah tertidur setelah kuberi obat diare.

Aku mandi dengan tenang, mengguyur badan yang terasa panas. Setelah menyelesaikan mandiku, aku kembali ke kamar dan tidur.

***

"Kau mau kemana Win?" tanya Mas Hendra saat aku bersiap-siap hendak ke pasar membeli kebutuhan pokok.

"Aku mau ke pasar, Mas. membeli sesuatu, bukankah kebutuhan kita hampir habis." sahutku.

"Baiklah aku antar ya," pintanya. Hari ini Mas Hendra libur, biasanya jika hari libur seperti ini. Mas Hendra akan menghabiskan banyak waktu di rumah. Sedangkan Firman biasanya dia keluar rumah, entah ke mana perginya aku tidak tahu dan tidak pernah menanyakannya. Lagi pula itu bukan urusanku. Jika Firman tidak ada di rumah, aku bisa bernafas lega.

Aku mengangguk. "Baiklah jika kau tidak keberatan."

Kami berangkat bersama, membeli semua kebutuhan pokok bersama. Namun kami tak sengaja berpapasan dengan Mbak Santi—Kakak nya Mas Hendra.

"Hendra, kamu disini?"

"Iya Mbak, nganter Winda."

"Mbak belanja sendiri?"

"Iya. Wisnu—kakak iparmu sedang istirahat di rumah. Lagi pula ini kan hari libur, jadi Mbak membiarkanmu Mas Wisnu, untuk istirahat." tutur Mbak Santi sambil melirik sinis ke arahku.

Aku hanya diam menunduk tak ingin menyapanya, hanya sekedar senyum saja.

"Gimana Hen, istrimu sudah hamil?" bisiknya namun terdengar jelas di telingaku.

"Belum Mbak. Do'akan saja, semoga kami segera di berikan momongan."

"Alah, itu pasti karena istrimu itu mandul. Lebih baik kau ceraikan saja."

Glek!

Aku menelan ludah. Ingin rasanya ku timpuk Mbak Santi menggunakan terong hitam yang baru ku beli.

"Tidak Mbak, aku sangat mencintai Winda. Kami permisi Mbak." Mas Hendra menarik tanganku kasar, kami segera menjauh dari sana.

"Pikirkan baik-baik Hendra, apa kau ingin terus mempertahankan istri yang man*ul seperti Winda! Ha ha ha." teriak Mbak Santi.

Mas Hendra terlihat emosi, apa karena ucapan Kakaknya tadi?

"Mas, sakit. Kau terlalu kuat menarik tanganku."

"Diamlah Winda! Ayo kita pulang!" sentaknya.

Kami akhirnya masuk ke dalam mobil bersiap pulang, padahal masih banyak yang belum ku beli. Mas Hendra mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Sampai berpegangan pada sisi jendela mobil.

"Mas, kau kenapa?"

Tak ada jawaban. Sampai kami di rumah, barulah kuberanikan diri untuk bertanya kembali.

"Mas kenapa? Kenapa sikapmu berubah."

"Apa kau tidak mendengar yang di katakan Mbak Santi?"

"Soal anak tadi? Sudahlah Mas, sepertinya memang belum rezeki kita."

"Kita harus secepatnya memeriksakan diri ke rumah sakit yang lebih bagus."

"Sudahlah Mas, tidak perlu. Lebih baik kita berusaha saja."

"Apa maksudmu? Kita sudah berusaha selama ini, lalu mana hasilnya? Atau memang Kak Santi benar, kau memang man-dul?!" Mas Hendra mengangkat sudut bibir. Menatapku sinis.

Aku emosi dia terus saja menuduhku, ingin rasanya ku katakan bahwa dirinya lah yang man-dul.

"Kau pasti menyembunyikan hal ini dariku kan?"

"Tidak ada yang aku sembunyikan, Mas."

"Benarkah? Lalu mana kertas hasil dari rumah sakit waktu itu?" tanya nya menelisikku.

"Kertas itu... Em—" Aku menjadi gugup.

Mas Hendra segera masuk ke dalam kamar, aku langsung mengekorinya dari belakang. Dia mengobrak-abrik isi lemariku.

Mataku membulat sempurna. Aku langsung mencegahnya.

"Mas, sudahlah. Kertas itu sudah aku buang, tidak ada disana."

"Biarkan aku mencarinya, kau pasti menyembunyikannya disini." balasnya, dengan tangan yang masih mengobrak-abrik isi lemariku.

"Mas, kertas itu sudah aku buang! Kau tidak perlu mendengarkan apa yang dikatakan Mbak Santi, dia itu provokator, dia tidak pernah menyukaiku. Dia sengaja agar kau menceraikanku!" teriakku tak sengaja mendorongnya hingga Mas Hendra tersentak.

Mas Hendra mengangkat tangannya.

PLAK!

Satu tamparan mendarat di pipiku, rasanya memanas. Apalagi darah segar mengalir dari sudut bibirku.

Mas Hendra menatapku tajam dengan jari telunjuk yang mengarah padaku.

"Jangan pernah menuduh Kakakku seperti itu. Dia begitu karena menyayangiku. Jika kau memang tidak man-dul kenapa kau takut."

"Mas maafkan aku." lirihku. Aku mencoba meraih tangannya yang memandang ke arah lain. Terdengar napas Mas Hendra yang memburu. Dia sepertinya sangat emosi.

Mas Hendra menyentak tanganku kasar, dia hendak pergi dari kamar.

"Mas kau mau kemana?"

"Bukan urusanmu!"

Aku duduk di bibir ranjang, Mas Hendra pergi dengan membanting kuat menutup pintu kamar. Aku menangis sejadinya.

Tak berselang lama, pintu kamarku di ketuk.

Tok tok tok!

"Mbak, apa aku boleh masuk?"

Itu suara Firman, sejak kapan dia pulang? Aku sama sekali tidak tau. Apa Firman mendengar pertengkaran ku dengan mas Hendra tadi? Aku segera menghapus air mataku.

"Masuklah."

KREK!

Pintu kamar terbuka, Firman masuk dengan wajah yang sulit ku artikan, dia mendekat ke arahku, duduk di sampingku.

Firman menelisik wajahku, aku menunduk saat manik matanya menatapku.

"Mbak, bibirmu berdarah."

"Aku tidak apa-apa, Ini hanya luka kecil."

Firman terdiam.

"Apa Kak Hendra sering berbuat kasar padamu."

Aku mengangkat wajah menatap Firman.

"Kau mendengarnya?" tanyaku.

Firman mengangguk. "Ya, aku mendengar kalian bertengkar tadi."

Aku menghembuskan nafas kasar.

Firman bangun dari ranjang, "Mbak tunggu di sini sebentar, Aku akan segera kembali."

Entah apa yang dilakukan Firman. Dia pergi dari kamarku, dan tak lama kemudian dia kembali membawa bak kecil berisi air di dalam.

"Sini Mbak biar Firman kompres, agar lukanya cepat sembuh."

Firman mencelupkan kain kecil kemudian mendekatkan tangannya di wajahmu.

"Akh!" pekikku, air dingin itu terasa perih saat mengenai luka di bibirku.

"Tahan sedikit." ujarnya.

Dengan telaten Firman mengompres lukaku. Aku menatap wajahny yang terlihat serius.

Glek! Aku menelan ludah. Dari jarak yang sangat dekat, Firman terlihat sangat tampan, tak kalah tampan dari Author R [Muhehe]

"Sudah!" katanya. Mataku langsung mengerjap.

"Hah? Sudah apanya?"

"Memandangku." Firman mengulum senyum.

Aku langsung membuang pandangan ke arah lain. Pipiku terasa memanas, aku merasa malu. Ketahuan memandang Firman tak berkedip.

Firman meraih daguku, membuatku mendongak. pandangan kamu terpaku. Kami saling memandang cukup lama. Firman mengusap lukaku, itu membuatku meringis.

Kami saling menatap dalam, tak lama kemudian Firman mencondongkan wajahnya. Mencium b i b i r ku. Aku sedikit tersentak, Firman meng*lum b i b i r ku, darahku terasa berdesir. Entah set4n dari mana, aku pun membalasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status