Share

Sheila Harus Menikah

Suatu pagi hari yang cerah. Di halaman rumah Sheila yang tertata indah, Papa sedang sarapan pagi di meja makan mungil berwarna putih. Di atas meja itu telah tertata cangkir teh dan teko keramik berwarna putih. Di sampingnya ada roti dan selai yang tersusun rapi. Sheila sedang mengoles rotinya dengan selai kacang kesukaannya.

"Sheila, Papa punya sebuah keinginan. Papa harap, kamu dapat memenuhi keinginan Papa kali ini." Papa meletakkan cangkir teh itu di atas piring kecil yang terletak di meja.

"Kalau Sheila bisa, tentu saja Sheila akan penuhi, Pa," jawab Sheila.

"Papa ingin kamu menikah." Papa memandang lekat ke arah Sheila.

"Papa!" Sheila terkejut dengan permintaan Papa padanya.

"Sheila masih muda, Pa!" 

"Kalau kamu tidak kuliah dan tidak bekerja, sebaiknya menikah saja, Sheila. Supaya hidupmu lebih berarti," ucap Papa.

Sheila menggeleng. Matanya masih mendelik ke arah Papa.

"Sheila nggak Mau, Pa!"

"Kalau kau tidak menikah, Papa khawatir kamu akan terlibat banyak masalah."

"Justru Papa sedang memberikanku masalah dengan menikah." 

"Sheila pun tak sudi menikah dengan orang yang tidak Sheila cintai," katanya penuh emosi.

"Lantas, kamu mau apa? Bikin masalah di sana-sini dan keluar masuk kantor polisi? Kemudian berharap Papa akan datang melepaskanmu? Itu tidak mungkin Sheila. Kau akan mencoreng nama baik keluarga kita. Keluarga BANTA MUSTAFA!" suara Papa terdengar menggelegar.

"Pokoknya Sheila tidak mau menikah!" Sheila melemparkan pisau dan garpu ya ke dalam piring roti. Sehingga terdengar bunyi sendok dan pisau yang berdering saling beradu.

Sheila mendorong kursi putih yang didudukinya. Ia pun meninggalkan Papa yang tertegun memandang anak semata wayangnya berlalu masuk ke dalam rumah. Sheila terus berlari. Ia membjka pintu rumah. Seorang pelayan yang sedang berdiri di dekat pintu tak lepas dari omelannya. Padahal ia yang hampir menabrak pelayan itu.

"Awas kau bodoh!" Cercanya.

Pelayan itu bergerak mundur secepatnya. Padahal ia tadinya hendak membukakan pintu saat melihat Sheila menuju rumah. Namun ternyata Sheila malah memakinya.

Sheila pun setengah berlari menuju kamarnya di lantai atas. Meninggalkan pelayan yang terheran-heran dengan sikapnya. 

"Kenapa, Nak Sheila?" Mak Cik Limah bertanya padanya. Namun Sheila bergeming. Ia mempercepat langkah menuju kamarnya.

Mak Cik Limah hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Sheila yang acuh.

"Sheila benci Papa!" Ia membanting tubuhnya di atas kasur.

Ingatannya mengembara pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Ia menabrak seorang pemuda yang mengendarai sepeda motor. Sekarang ia harus menempuh jalur pengadilan karena pemuda itu tidak mau menerima uang pemberiannya. Hanya karena begitu Papa malah menginginkannya menikah. Apakah Papa menganggap itu solusi permasalahannya?

Oh, Papa! Bukannya menolong malah makin menjerumuskan Sheila dalam masalah. Menikah itu hanya akan membuat Sheila terkungkung. Pastinya ia tak akan bebas kemanapun seperti sekarang. Dengan kondisinya yang tidak bekerja maupun kuliah, apa alasan terbaiknya untuk keluar rumah. Apakah mungkin suaminya nanti akan membiarkannya ke luar hanya dengan alasan berbelanja di mall. Jalan-jalan dan nongkrong bareng teman di cafe-cafe atau pergi ke tempat wisata yang sedang nge-hits kapanpun ia ingin. Semua keinginannya hanya akan jadi mimpi belaka dan ia akan terperangkap dalam penjara yang bernama seorang istri. Ya, ini pasti niat papanya yang ingin mengungkungnya. Dengan menjadi istri, ia takkan bebas pergi sesuka hatinya. Ada suami yang harus ia dapatkan izinnya. Padahal selama ini, ia pergi kemanapun saja tanpa pernah izin pada Papa. Mana mungkin ia akan harus minta izin pada suaminya nanti jika akan bepergian. Terus, bagaimana tipe suami yang akan dijodohkan Papa padanya. Belum tentu lelaki itu akan memberikan kebebasan pada Sheila seperti yang selama ini diberikan Papa. Ah, Papa sungguh tega. Jerit Sheila sambil memukul kasurnya. Ia tidur terlentang dengan muka ditutupi bantal.

Kalau saja di hadapannya itu orang lain, mungkin akan dikeluarkan jurus-jurus untuk membanting Papa ke lantai. Sayangnya yang berkata begitu adalah papanya. Orang yang paling disayanginya sedunia. Meski selama ini ia senantiasa membantah dan mengabaikan permintaan Papa, tetapi ia sangat menyayangi lelaki setengah baya yang telah melakukan apa saja untuknya.

Pak Rahman mendekati Banta. Tangannya diletakkan di punggung.

"Aku kehabisan cara menjinakkan burung merpati ku, Rahman," ucap Papa dengan mata berkaca-kaca.

"Saya paham, Pak."

"Selama ini kau telah banyak membantuku memahami Sheila. Kita telah banyak melakukan kesalahan padanya." 

Kening Pak Rahman berkerut. Wajahnya menunjukkan keprihatinan. 

"Memang tak mudah untuk memahami Sheila, Pak. Saya juga terkadang kehabisan akal menghadapi gadis kecil kita," ungkap Rahman dengan nada khawatir.

"Oleh karenanya, aku ingin menikahkannya saja. Barangkali dengan begitu, prilaku Sheila akan lebih terkontrol." Banta membenarkan letak kaca matanya.

"Kau tahu sendiri, kan? Kondisi kesehatanku bagaimana? Aku tak bisa selalu mendampinginya setiap saat."

"Waktu cepat sekali berlalu. Andai bisa, aku ingin sekali waktu kembali lagi ke masa kecil Sheila. Lalu aku bisa memperbaiki semuanya." 

"Bapak jangan terlalu menyalahkan diri. Tak baik untuk kesehatan jantung Anda." Rahman mengingatkan.

"Mau bagaimana lagi? Dia satu-satunya putriku. Satu-satunya pewaris semua yang kumiliki sekarang. Tentulah aku tak bisa walau barang sejenak melupakan permasalahanya." Banta melanjutkan keluhannya dengan suara serak.

Rahman menganggukkan kepala. Ia selalu setuju pada keputusan Banta. Tak pernah sekalipun Rahman membantah majikannya yang sudah seperti kerabatnya sendiri. Jika perlu berpendapat, ia akan menanti sampai Banta bertanya padanya.

Di dalam rumah, Sheila mulai membuat kegaduhan. Ia melempar beberapa barang. Saat ke dapur mencari Limah ia sempat menghancurkan beberapa piring saat tak dilihatnya Limah di dapur. Lalu, ke halaman. Di sana ia juga tak menjumpai wanita yang telah menggantikan posisi ibunya. Gadis itu mulai merusak beberaap tanaman bunga yang tertata rapi di halaman belakang. Entah apa salah tanaman itu.

Sepertinya semua yang tampak di mata Sheila memiliki kesalahan. Semua tampak menyeramkan hingga wajib dihancurkan. Ia memang memiliki fisik yang kuat. Sheila amat jarnag sakit sejak bayi. Mungkin itu adalah sebuah karunia dari Tuhan. Ia boleh tak punya ibu, namun terhibur dengan fisik yang sehat dan kuat. Walaupun selama ini ia sering abai dengan makanan yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. Namun atas izin Tuhan, belum pernah Sheila merasakan sakit hingga sampai merasakan jarum infus sekalipun. 

"Kalian ini bodoh atau gimana, sih. Masak dari tadi ditanya di mana Mak Cik Limah nggak ada yang tahu," cecar Sheila pada beberapa pelayang di dapur.

"Ada apa Sheila?" Tiba-tiba suara Mak Cik Limah terdengar di belakang Sheila. 

Mak Cik Limah tersenyum melihat Sheila. Gadis itu sangat jarang mencarinya ke dapur. Pasti ada hal mengganjal yang tak bisa dileraikan sejak tadi.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status