Share

Butuh Pertolongan

Sheila menerima panggilan sidang. Ia amat murka karenanya. Entah berapa gelas dan piring yang pecah setelah surat itu dibaca.

"Pak Rahman. Mana Pak Rahman?" cecarnya pada Mak Cik Limah di dapur. 

"Tenanglah Sheila. Ada apa sebenarnya?" Limah tidak paham mengapa tiba-tiba Sheila mengamuk hari ini. Padahal ia belum melakukan kegiatan apapun dan belum pergi ke mana-mana.

"Sheila bilang, mana Pak Rahman!" teriaknya membuat Limah terperanjat.

"Sheila! Berhenti bersikap kekanak-kanakan!" Perintah Papa yang baru tiba dari ruang tengah.

Sheila kaget mendengar suara Banta.

"Papa!"

"Lihat ni, Pa. Pak Rahman. Sheila jadi dipanggil ke persidangan gara-gara dia." Sheila mendekati Banta. Tangannya bergelayut di lengan Banta sembari memperlihatkan sebuah surat panggilan.

Banta membenarkan letak kaca matanya. 

Kemudian mengeratakkan gerahamnya.

"Sheila, Sheila. Dengarkan Papa dulu," ucapnya menenangkan gadis cantik berambut pendek di depannya.

"Papa yang meminta Pak Rahman agar tak ikut campur urusanmu," 

"Papa." Sheila melepaskan pelukannya di lengan Banta.

Ia menggeleng dan meninggalkan Banta.

"Sheila! Sheila!" Teriak Banta memanggil Sheila yang telah berlari jauh meninggalkannya.

Netra Banta berkedip beberapa kali melihat kepergian Sheila. Sungguh ia tak menyangka telah membesarkan anak menjadi momok yang menakutkan bagi dirinya sendiri.

Sheila berlari kencang menuju halaman rumah. Ia tidak tahu harus ke mana. Dalam amarahnya ia berlari dan menabrak seseorang hingga terpental. 

"Br*ngs*k,"

"Kalau jalan pake mata, dong. Main tabrak aja," maki Sheila yang merasa kesakitan. Susah payah ia bangkit kembali menegakkan kakinya.

Pemuda di depannya mengulurkan tangan untuk membantu. Seketika Sheila kaget, karena ternyata itu adalah pemuda yang ditabraknya tempo hari.

"Ka, ka, kau?" 

"Ngapain ke sini? Kamu pasti mau memeras aku, bukan?" Tuding Sheila.

Telunjuknya mengarah ke muka pemuda itu. Ia terus berjalan mendekati pemuda di depannya. Pemuda itu hanya menggeleng dan mundur selangkah demi selangkah ke belakang.

"A, aku tidak tahu kalau kamu tinggal di sini," ujar pria itu. Ia tampak gelagapan. Matanya membulat seakan melihat setan. Zaid sungguh tak menyangka akan bertemu Sheila di sini.

"Satpam! Satpam!"

"Mana satpam?"

"Lekas kemari dan usir lelaki ini!"

Dua orang satpam berlari mendekati Sheila. Mereka terkejut mendapatkan tugas mengusir Zaid. Karena mereka yang mengizinkan Zaid masuk atas perintah Mak Cik Limah.

"Lihat apa kalian?" Bentak Sheila saat melihat satpam saling pandang satu sama lain.

"Lekas usir si brengsek ini"

"Huh! Dasar nggak berguna!" 

"Nggak becus. Memasukkan orang sembarangan," 

"Lain kali lihat dulu siapa orangnya. G*bl*k." Sheila terus mencaci pekerja di rumahnya.

Ia pun berlari kembali ke dalam rumah.

"Bikin hilang mood orang aja. Disuruh jaga rumah aja nggak becus," gerutu Sheila. Ia membanting pintu rumah sampai membuat Mak Cik Limah yang berada di dapur ikut terperanjat.

"Ada apa Sheila?" tanya perempuan yang hampir seusia papanya.

"Itu, satpam s**l*n," 

"Berani-beraninya bawa masuk sembarangan orang ke mari," 

Sheila berlalu. Ia berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya.

Tinggallah Mak Cik Limah yang geleng-geleng kepala melihat kelakuannya yang kekanak-kanakan.

"Ayo saya antar ke Mak Cik Limah," ajak seorang satpam.

Mereka lantas menuju ke rumah.

Mak Cik Limah ternyata sudah berada di depan pintu rumah, karena baru selesai berbicara dengan Sheila. Ternyata yang membuat Sheila marah adalah kehadiran Zaid, keponakannya. Wanita itu heran, mengapa Sheila begitu marah hingga mengusir keponakannya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di rumahnya. Padahal, setahunya Sheila tak mengenal Zaid. Pemuda itu datang pertama kalinya ke rumah Sheila atas permintaan Limah. Rencananya ia akan menjadi supir Sheila. 

Sheila tidak tahu kalau tanpa sepengetahuannya, Mak Cik Limah telah meminta Zaid menjadi supir Sheila. Entah untuk ke berapa kalinya ia meminta Zaid bekerja di rumah itu. Namun Zaid senantiasa menolak permintaan Mak Cik Limah. Meskipun menurut Mak Cik Limah gajinya cukup besar karena ia akan bekerja tak hanya sebagai supir, namun juga pengawal Sheila. Sejak tidak memiliki supir dan pengawal, Papa melarang Sheila melakukan kegiatan di luar. Papa khawatir karena kecerobohan dan emosinya yang meledak-ledak tak ada yang mendampingi dan membantu anak gadis semata wayangnya. Perlakuan Banta itu tentu saja membuat gadisnya stress. Karena Sheila tidak suka berada di rumah sepanjang hari. Ia lebih suka mengabiskan waktu di mall dan cafe-cafe kesukaannya. Meski Papa telah memintanya untuk makan di rumah walau kemanapun ia pergi, tapi Sheila tak pernah mengindahkan. Jika ia jalan ke mall dan waktu makan telah tiba, ia tak sungkan menghabiskan uangnya untuk makan siang di situ. Lalu beraktivitas kembali. Padahal Mak Cik Limah selalu menyiapkan makanan di rumah dan meminta Sheila makan di rumah saja. 

Namun Sheila tak peduli. Untuk apa punya duit banyak kalau tidak bisa dipergunakan? Ia merasa bebas semaunya menggunakan kartu kredit di mana-mana dan dalam sekejap dapat menghabiskan puluhan hanya untuk berbelanja pakaian dan perhiasan. 

Banta Mustafa tak pernah tahu apa saja yang dibelanjakan Sheila dengan kartu kredit di tangannya. Ia hanya melunasi saja tagihan kartu itu setiap bulan. Sheila satu-satunya anak yang dimiliki. Mau ke mana lagi ia akan membawa uang yang telah dicarinya siang dan malam jika bukan untuk Sheila. Ia tak tahu jika kebiasaan itu telah menjerumuskan Sheila menjadi pribadi yang konsumtif dan seenaknya saja dalam berbuat.

Banta tak pernah merasa itu sebuah kesalahan. Karena menurutnya sudah selayaknya seorang ayah membahagiakan anak-anaknya. Ia pikir, dengan demikian akan menutupi kasih sayang seorang ibu yang tak pernah bisa diberikannya pada anak gadisnya itu. Rasa iba dan kasihan pada Sheila yang tak pernah merasakan cinta dan kasih sayang seorang ibu telah membuat Sheila tumbuh menjadi seorang gadis manja, keras kepala dan susah diatur. 

Banta tak pernah berpikir untuk memberikan ibu baru untuk Sheila. Selama ini ia beranggapan, wanita-wanita di luar sana hanya mengincar hartanya saja. Ia begitu khawatir wanita-wanita itu akan menyakiti Sheila jika menjadi ibu tiri. Banta tak ingin Sheila merasakan penderitaan karena memiliki ibu sambung. Toh, selama ini ada Limah yang senantiasa sayang pada Sheila dan merawatnya penuh kasih selayak anak sendiri. Meskipun selama ini Limah lebih cenderung menurut saja apa yang diinginkan Sheila. Semua rasa iba kepada Sheila dari penghuni rumah, telah mendidik Sheila menjadi pribadi yang rumit dan selalu merasa benar sendiri.

"Zaid, kau datang juga rupanya," sambut Mak Cik Limah saat melihat kehadiran keponakannya.

"Kau makin tampan sekarang." Ia menangkupkan tangannya pada kedua pipi Zaid yang mulai kemerahan karena malu. Ia segera memindahkan tangan Mak Ciknya dari wajahnya yang bersemu merah.

Kedua tangan Zaid dimasukkan ke dalam saku. Ia melihat ujung jari kaki dan tersenyum simpul. anak rambutnya yang menutupi dagu, ikut bergerak seiring tatapannya yang menunduk. Gerakan itu semakin menambah aura tampannya. Diam-diam, dari balkon atas Sheila memperhatikannya sebelum masuk ke kamarnya.

"Jadi dia keponakan Mak Cik Limah?" Batin Sheila.

"What's the hells going on here!" Cicitnya. Sheila benar-benar salah tingkah. Ia tak menduga masalahnya menjadi bertambah rumit. Kenapa ia harus berurusan dengan keponakan wanita yang telah membesarkannya. 

Selama ini, meski ia acapkali marah-marah, tapi ia amat menyayangi Mak Cik Limah. Bahkan ia menganggap Limah adalah ibu kandungnya sendiri. Suatu ketika ia pun pernah mengusulkan Banta menikahi Limah agar resmi menjadi ibu Sheila.

Namun, tentu saja perbedaan status sosial membuat Banta tak bisa memenuhi keinginan Sheila. Hingga akhirnya, tak ada seorang wanita pun yang ingin dijadikan ibu sambung bagi putri tunggalnya. Padahal Sheila amat ingin memiliki dan merasakan kasih sayang seorang ibu. Tak jarang ia bercerita tentang rasa cemburunya pada teman-teman yang memiliki ibu. Beruntungnya, ketika Sheila bercerita, Limah selalu membesarkan hatinya bahwa Ia adalah Ibu bagi Sheila meski tak terikat hubungan apapun. Namun ikatan batin antara mereka telah membuktikan kalau mereka layak disebut ibu dan anak. 

Mak Cik Limah menggandeng lengan Zaid dan mengajaknya ke dapur. Mungkin karena merasa diperhatikan seseorang, Zaid menoleh ke atas. Di sana Sheila yang terpergok memandangnya dari atas tampak pucat dan salah tingkah sendiri. Gadis itu pun berlari masuk ke kamarnya.

"B*d*b*b*ah,"

"Kenapa pula ia masuk ke rumahku?" 

Sheila berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Hingga ia merasa lelah dan duduk di tempat tidur. Ia melemparkan bantal-bantal ke segala arah di dalam kamarnya.

"Akhirnya kamu mau juga menjadi supir dan menjaga Sheila. Mak Cik senang mendengarnya. Kasihan dia nggak bisa bebas ke luar jalan-jalan seperti biasa," ucap Limah.

"Memangnya kenapa Mak Cik?" Zaid bertanya heran.

"Kau tidak kenal Sheila?" 

Ia menggeleng.

Mak Cik Limah tertawa.

"Kau ini bodoh atau kampungan, sih?" 

"Coba buka I*******m atau apa nama namanya itu tok-tok."

"Tik-tok barangkali Mak Cik?" 

"Iya, tik tok. Cari saja Sheila. Nanti kau akan tahu bagaimana dia," 

"Zaid, tidak pernah buka sosial media Mak Cik," Zaid mengulum senyumnya.

"Kau memang lurus-lurus saja, ya." Mak Cik menepuk pundak Zaid.

"Itulah mengapa Mak Cik merasa Sheila akan aman dalam penjagaanmu. Kau pun seorang pendidik. Pasti tahu bagaimana mengarahkan Sheila jika dia mulai aneh-aneh," 

Zaid mengangkat sebelah alisnya. Matanya nampak semakin bulat saat melihat ke arah Limah.

"Kau ini baik dan juga pintar meski tidak mencicipi perguruan tinggi."

"Sssst, gali di sini cukup besar loh. Mana tahu nanti kau pun bisa kuliah," bujuk Limah.

Zaid memutar gelas yang telah kosong di depannya. Sedari tadi, ruangan dapur yang harusnya sejuk karena angin yang berembus sepoi-sepoi masuk dari pintu dapur, menjadi panas. Padahal tidak ada kegiatan memasak sekarang. 

Entah kali ke berapa Zaid meneguk air dingin yang disediakan Limah di depannya.

"Nampaknya kau sangat haus. Dari mana saja rupanya?" cecarnya. Zaid menjadi salah tingkah dan menghentikan kegiatannya mempermainkan gelas.

"Hehehe, tidak ada Mak Cik,"

"Jadi bagaimana maksud Mak Cik ?" 

"Zaid menjadi supir dan menjaganya?" 

Limah mengangguk.

"Supir sekaligus pengawal." Limah menegaskan.

"Bagaimana kalau dia di kamar? Bagaimana kalau dia ke kamar mandi? Bagaimana kalau dia….," 

"Husss. Tak perlu sampai ke situ. Kalau di rumah kau tak perlu mengawalnya lagi. Cukup di luar saja," 

"Oh, begitu." 

Perempuan di hadapannya mengangguk. Ia merasa yakin Zaid akan menjadi supir yang cocok bagi Sheila.

"Tapi, tapi Mak Cik." 

"Udah, nggak udah pake tapi-tapian. Mak Cik tahu kau menjaga jarak dengan wanita. Bahkan bersalaman saja kau tidak mau dengan mereka. Itu tandanya kau sangat menghargai perempuan. Dengan demikian Sheila akan aman bersamamu. Mak Cik percaya." Limah menepuk dada Zaid. 

Dengan kening berkerut dan wajah serba salah, Zaid bergeming menatap Mak Ciknya. 

Wanita itu tidak tahu permasalahannya dengan Sheila. Berulangkali ia mencoba menceritakan masalah yang dihadapi dengan gadis itu, namun ia urungkan. Entah mengapa sulit sekali ia mengatakannya. Ia tak ingin merusak kepercayaan Limah selama ini padanya.

Selama ini, ia memang dikenal sebagai pemuda yang sangat menjaga jarak dengan perempuan. Jangankan menyentuh perempuan walau hanya bersalaman. Banyak gadis yang menganggapnya sombong karenanya. Berduaan dengan mereka saja sangat dihindarinya. Kini, bagaimana dia harus semobil dengan Sheila setiap bepergian? Bahkan gadis itu pun amat benci padanya

Bersambung...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status