Share

Selubung Memori
Selubung Memori
Author: Firdaus Callista

PROLOG

Mimpi terakhirku bagaikan kiamat.

Terakhir kali aku memejamkan mata adalah ketika jaring laba-laba di langit-langit pondok membuatku membayangkan apa yang akan kulakukan pada baju-baju kusut. Aku berpikir akan menyetrika. Tubuhku—aku yakin sudah bergerak, tetapi tiba-tiba aku meringkuk di tengah hujan deras, punggungku basah, dadaku sesak, dan pita suaraku menjerit penuh tuntutan paling menyakitkan.

Seseorang berdiri di sebelahku. Kami di padang rumput luas.

Dan di pangkuanku, terbaring gadis berwajah penuh nuansa gelap, dengan sesuatu yang hitam, samar—seperti bayangan hitam—menutupi wajahnya.

Air mataku juga tiba-tiba sudah mengalir deras.

Aku tidak mengerti, tetapi benakku sesak. Air mataku tak mampu berhenti. Hujan—gemuruh terdengar keras, seperti tak mengizinkan isak tangisku terdengar. Aku kacau. Entah bagaimana aku ingin memeluk gadis ini layaknya kami saling mengenal. Namun, aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siapa gadis ini.

Sayangnya, saat tanganku yang bergetar kuat mengusap wajah gadis manis itu—saat tanganku melewati selubung hitam—darah merah langsung menguasai jemariku. Darah yang segar, dan hangat, seolah baru mengalir dari sayatan di wajahnya. Benakku terguncang. Jantungku seperti pecah. Gadis ini—hampir menghadapi garis akhirnya.

Namun, aku bisa merasakannya. Dalam batas sekarat dan kematian—dalam tubuh gadis yang hampir beku ini—kehangatannya masih memancar layaknya menyambutku yang hanya orang asing. Dia seperti merasakan kehadiranku, karena dari selubung samar itu, senyumnya terlukiskan. Gadis dengan senyum kecil yang manis, seolah bahagia dengan kondisinya yang telah sekarat. Barangkali rangkulan ini berharga untuknya. Lelaki yang kuhinggapi ini barangkali orang yang sangat penting. Dia seperti berakhir pada orang yang tepat.

Jadi, aku berusaha mengerti segalanya, menatap sekitar.

Hujan membentuk genangan air. Ketika mataku berusaha menolak, arah mataku mengenai genangan air. Cahaya angkasa yang samar, membuat wajah lelaki yang kuhinggapi dalam mimpi ini memantul, terlihat dalam benakku.

Wajahku.

Tidak. Itu wajahku. Penuh isak tangis menyesakkan.

Orang ini... adalah aku.

Aku menggeleng, entah aku yang saat ini, atau aku yang tengah kuhinggapi ini. Segalanya tiba-tiba terkesan dingin, hampa, dan membeku. Semua ingatan aneh tiba-tiba mendobrak masuk kepalaku, layaknya ingatan orang ini mulai menyerang kepalaku habis-habisan. Ingatan tentang padang rumput, suasana yang begitu damai dengan latar belakang danau biru dan senyum lebar. Jadi, aku tahu kami—aku dan gadis ini—memang saling mengenal. Kami begitu dekat, sampai aku bisa melihat di tengah kegelapan malam penuh bintang, kami berada di bawah tenda, menikmati makanan hangat yang baru matang dengan senyum manis darinya. Canda tawa di ingatan palsu ini terkesan begitu nyata, asli, dan murni, seolah kami menghabiskan begitu banyak waktu, menikmati setiap alunan malam, hanya untuk mengganti apa yang telah terbuang. Dan tiba-tiba aku melihat perang. Ya. Medan perang. Penuh darah. Ledakan di segala arah. Hutan membara. Tanah berguncang. Dan gadis ini—dengan senyum manis pilu—meski matanya masih tertutup selubung—menatapku yang tengah menjauh, membuat dirinya terlihat seperti mengorbankan diri untukku, dan menjemput cengkeraman kegelapan yang kosong.

Aku memekik lagi—sangat keras, seperti menuntut kematiannya.

Layaknya aku—dan lelaki ini—tengah menolak kenyataan yang ada.

Ketika aku membuka mata lagi, kesadaranku seperti tidak lagi melayang. Kami seperti bergabung—antara lelaki ini denganku. Aku bisa merasakan jemari gadis ini masih bertautan denganku. Namun, aku juga mengerti. Sensasi ini berusaha menipuku. Genggaman erat jemari ini palsu. Dalam bayangan samar, aku tahu dia tidak lagi menggamitku. Hanya aku yang menggamitnya. Dan sesuatu bagaikan pisau berusaha memutus kami. Ambang realitas memudar. Tiba-tiba saja aku melihat nuansa pendar putih yang pilu.

Citra pendar putih, layaknya aku sedang melihat alam bawah sadarku. Seseorang berdiri di sisiku. Dia. Gadis itu. Namun, dia terkesan begitu jauh. Kami berhadapan. Dan dia seperti tidak di sana. Aku merasa sering melihat ini. Gadis ini tampak terbiasa dengan citra pendar putih. Jadi, aku tahu kami sering berada dalam citra yang sama—barangkali dengan senyum, atau kebahagiaan yang memancar.

Namun, kini, ketika genggaman jemarinya mulai lemah, dia terlihat samar, dengan rambut yang berkibar halus bak angin di antara kami sudah bersiap mengantarnya. Benakku tak karuan, dalam alunan sesak dan nostalgia, entah bagaimana aku mulai mengulurkan tangan.

Dan dia menoleh. Pendar hitam itu tetap di wajahnya. Namun, bibirnya bisa terlihat. Pipinya mungil. Lagi-lagi dan lagi—senyumnya terlukiskan.

Aku berusaha bicara, tetapi suaraku tidak terdengar. Gesturnya seperti akan beranjak, tetapi dia terus menatapku. Sepertinya dia cemas. Dan itu untukku. Aku tidak mengenalnya—aku tidak benar-benar mengenalnya—tetapi aku tahu dia tidak mau aku dalam posisi ini, menatapnya pergi, meratap, menolak masa depan yang mungkin akan datang tanpa dirinya. Itu membuatku sengsara.

Dia seperti terbiasa dengan sikapku—seolah benar-benar tahu seperti apa diriku.

Tiba-tiba aura di sekitarnya berubah. Pendar putih di sekelilingnya terasa hangat, dan itu terasa sampai ke benakku. Barangkali dia tidak bicara—tentu saja dia tidak akan bicara—tetapi dia menunjukkannya dengan cara lain. Bahkan tanpa mengucap sepatah kata, layaknya kami telah saling mengenal sampai hanya dengan aura saja, dia bicara dengan nada yang membuatku nyaman.

“Aku bersamamu.”

Tentu saja aku tersenyum. Untuknya. Senyum palsu terhebat dariku.

Jadi, aku mencoba mengerti. Iya. Segalanya akan baik-baik saja, aku ingin bisa mengucapkan itu. Namun, segaris air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Dia tidak akan mengucapkan salam perpisahan. Karena itu, alih-alih mengucap selamat tinggal atau sejenisnya, dia melambaikan tangan. Aku tidak mau dan tidak pernah mau melihat itu. Tangannya bak menggumamkan pemberkatan penuh perpisahan untukku yang asing.

Maka dia berjalan. Awalnya melangkah mundur. Perlahan. Dan begitu dia menemukan momen ketika benakku retak, dia berbalik. Dia memunggungiku, dan punggung kecil yang mulai terbebas itu terlihat istimewa. Kakiku mengeras. Dan begitu kusadari, dinding tidak kasat mata di antara kami mulai mewujud. Aku tahu bukan waktunya berbohong. Aku tidak mau menyesal. Karena itu, suaraku berteriak, seolah dalam kenyataan kami yang tak saling mengenal, aku memintanya kembali. Suaraku menuntut, dan dalam alunan menyakitkan, air mataku terasa kian sesak.

“JANGAN PERGI!”

Aku ingin dia mengerti bahwa di balik teriakan ini, aku ingin dia di sisiku, bukan untuk menjaga tiap kegilaan yang kulakukan, tetapi sebagai orang yang ada untukku. Barangkali aku tidak tahu siapa dia, tetapi kami bisa mencari tahu. Kalau dia di sisiku, kami bisa memulainya dari awal. Dan aku mungkin suka melakukan hal sinting—barangkali itu tidak pernah bisa membuatnya tenang, tetapi semua hal ini tidak lagi bisa kupikirkan. Ketika dia lenyap dalam kegelapan pekat, benakku tiba di ambang kesengsaraan.

Begitu kusadari, dia telah pergi. Sosoknya lenyap ditelan kehampaan.

Kakiku ambruk. Rasa sakitku menjadi-jadi.

Aku mengerjapkan mata. Kilasan itu hilang. Seseorang menepuk bahuku. Seseorang dengan topi putih. Pria dengan kharisma luar biasa.

“Adikmu,” ucapnya. “Sudah waktunya istirahat.”

“…adik?”

“Perang di depan mata, Bocah Alam. Tegakkan kakimu.”

“Perang?”

Langit menggelegar. Kilat berderak. Begitu aku mengangkat wajah, ratusan burung sudah di atasku. Burung hitam. Seperti mengarah dan menukik.

Burung…

…atau anak panah.

Aku tidak mengerti. Medan perang? Adik? Siapa? Aku tidak punya siapa pun selain Aza dan Nenek. Aku tak pernah ada di tanah lapang penuh darah.

Di tengah selang waktu antara anak panah dan kematian itu, aku kehilangan diriku. Rasanya seperti jiwaku ditarik tinggi ke angkasa, meninggalkan raga yang kosong bersama pendar hitam yang dia sebut adikku. Tanah lapang, dalam kejauhan aku bisa melihat danau yang ditutupi hutan pinus, ladang buah-buahan—sepertinya aku pernah memetik buah di sana—lalu mercusuar tinggi dan pondok yang tersebar. Itu seperti kumpulan pondok simetris. Saling mengelilingi titik kecil. Itu area yang paling lama kulihat, seolah sebagian diriku tertinggal di sana.

Namun, kilasan itu tidak ada artinya. Ketika kesadaranku kembali, aku tetap di atas tanah. Terdiam. Seolah menanti kematian pada titik kecil di atas langit. Titik yang siap memotong garis hidupku.

Dan pada saat itulah—ketika anak panah tepat berada di depan mataku, satu suara lembut memenuhi kepalaku. Suara ceria. Yang entah bagaimana membuatku kembali meneteskan air mata.

[“Jangan curang. Diam di situ. Dengarkan aku bicara.”]

Jantungku berdegup kencang. Kilasan itu terdengar begitu nyata. Layaknya dalam dekapan seseorang—dengan mata saling bertautan satu sama lain.

[“Aku mencintaimu. Kau tidak mau balas memelukku?”]

Dan aku tersentak bangun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status