Mataku terbuka beriringan dengan derak kilat yang memancar.
Dan berturut-turut semua mulai kurasakan: telingaku mendengar gemuruh di kejauhan, mataku menemukan lilin di sudut. Dan aku kembali. Di dalam pondok. Di luar hujan, bahkan seperti badai. Punggungku berkeringat—wajah atau mungkin sekujur tubuh. Aku berusaha mengembalikan semua. Kesadaran, pernapasan, dan fokus mataku. Setelah semua kembali terasa, aku terlonjak begitu saja.
Mimpi.
Dan pondok diguncang badai.
Suara kilat saling sahut menyahut. Atap seperti berguncang akan terbang. Angin membuat jendela berderak. Semestinya aku ngeri. Namun, mataku menatap kosong. Semua seperti tidak lagi nyata. Tidak ada yang bisa kurasakan.
Aku turun dari ranjang, melihat buku catatan bersampul hitam.
Itu buku harian tua yang kutemukan di kamar Aza. Kupikir itu buku harian Aza atau catatan yang dia tulis selama tinggal denganku, tetapi ketika aku membuka sampul yang sudah kelewat tua seolah ter
Ini pertama kali aku berlari ke barat menuruni gunung.Aku berlari di depan tekadku untuk berduka. Kurasa inilah yang dimaksud Aza dengan latihan. Itu membuatku berhasil menang melawan beruang. Dan satu rangkaian pelatihan gila dari puncak bukit sampai pondok dua kali sehari juga agak berhasil membuat napasku panjang. Fisikku kuat. Aku bisa berlari jauh.Penampilan hutan ini mirip hutan hujan tropis yang kulihat di buku. Rawa di mana pun setiap kaki melangkah. Kabut tipis menutupi pandangan, yang terlihat bertambah parah karena ribuan rintik hujan mendistorsi pandangan. Air hujan mulai merembes masuk ke pakaianku—efek dari pertarungan dan jas hujan yang memang tidak terlalu membantu. Hawa dingin mulai terasa, entah itu karena hujan atau bulu kudukku yang terus aktif. Kurasa hanya saat inilah aku bisa membanggakan semua yang kusebut sebagai kemampuan khusus. Aku bisa memahami struktur tanah mana yang tepat untuk diinjak, batu-batuan yang tidak akan hancur saat kul
Aku hampir kewalahan ketika Dalton bertanya bagaimana aku hidup.Maksudku, aku tidak bisa bilang kalau sudah tinggal di pondok hebat, yang punya segala perabotan indah—yang secara teknis pasti merupakan hal paling aneh. Dia bercerita seolah sudah diserang monster berhari-hari sejak dia keluar. Jadi, saat aku bilang, “Kurasa aku jarang bertemu monster seperti itu.”Dia terkejut setengah mati. “Jarang? Mustahil. Pemilik kemampuan pasti diserang monster mitologi. Mereka benci kita.”“Benci?”“Kita pengganggu alam liar. Itu yang kutahu.”Aku selalu gagal mengerti tentang alam liar seolah pemandangan hutan ini punya nyawa tersendiri. Dia bisa menolak kehadiran seseorang, membenci, bahkan yang paling ekstrem, alam liar punya kemampuan membunuhku. Rasanya seperti tinggal dalam perut monster yang siap mencernamu.Jadi, untuk mengamankan posisi, kubilang, “Aku pernah bertemu makhluk sejenis.
Gagasan tidur di tempat yang tidak bersahabat sepertinya mustahil bagiku.Berjaga sepanjang malam juga tampaknya tidak cocok denganku, jadi yang kulakukan ketika Dalton menikmati mimpinya, adalah membuka buku harian lama yang kutulis di usia delapan tahun. Tulisan di buku ini sudah hampir hancur ketika pertama kutemukan, dan setelah melewati pertarungan di tengah badai, semestinya tidak aneh beberapa halaman hancur karena air merembes masuk. Beberapa tulisan juga semakin tak terbaca karena—jelek, dan tintanya pudar—sempurna.Setidaknya aku bisa mengumpat pada diriku yang kulupakan karena dengan polosnya tidak menuliskan siapa nama adikku, ibuku, atau ayahku. Tidak ada satu pun petunjuk tentang keluargaku. Kalau bisa memutar balik waktu, kurasa aku akan menonjok bocah ini. Anak polos apa yang memilih mengumpat penculik dibanding menulis nama adiknya? Aku tidak habis pikir, tetapi dia ini aku.Jadi, aku terjaga sampai pagi tiba.Dan sepertinya D
Sepanjang siang, Dalton menyelesaikan alatnya, sementara aku berburu.Jadi, setelah kami menyelesaikan makan malam—dan serius, aku tidak mau makan kalau hewan buruannya tidak disembelih yang menurut Dalton itu aneh dan tidak praktis—Dalton bilang ingin menyelesaikan alatnya—yang secara teknis akan membuatnya lembur. “Kau tidur saja. Kita berangkat besok,” katanya.“Kau yakin?”“Di tempatku kembali, aku meninggalkan semacam alat pada saudaraku.”Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut seperti apa saudaranya atau sejenisnya, jadi ketika dia memberikan kantung tidurnya, aku segera mengambil posisi di ujung dan memejamkan mata sesegera mungkin.Beruntungnya, aku bermimpi.Aku menyusuri sungai. Airnya hanya semata kaki, tetapi bebatuan sungai yang ukurannya lumayan membuat kakiku berulang kali kehilangan pijakan. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku, tetapi napasku memburu. Suasananya gelap. Seperti
Tidak ada waktu untuk istirahat, jadi sepanjang malam sampai langit terlihat terang, kami menyusuri jalan yang ditunjuk alat buatan Dalton. “Kompas,” katanya. “Tapi hanya mengarah ke satu titik.” “Padang Anushka?” “Iya. Sayangnya, jauh. Kita mungkin butuh seharian jalan.” “Aku mau tidur tenang.” Itu pertama kalinya aku melihat penampakan selain hutan. Aku sungguhan melihat apa yang tertulis di buku: gedung-gedung yang sangat tinggi, rumah-rumah yang bukan pondok, jalanan yang disebut trotoar, dan aspal meskipun pecah-pecah. Sekarang semua jelas. Tak bisa kubayangkan semua ini sama seperti 500 tahun lalu. Ketika aku menatap kemustahilan itu, Dalton bilang, “Alam menjaganya.” “Apa?” “Peradaban selama 500 tahun. Kau pasti tahu itu.” Baru kuingat aku tidak pernah menyinggung tentang 500 tahun lalu. Selama beberapa saat, aku berpikir mau berbohong, tetapi tampaknya Dalton juga tahu itu. “Kau juga tahu itu?” ucapku. “Oh, maks
Kuakui aku cukup kreatif dalam upaya kembali ke jembatan.Jadi, aku mengikat gadis itu di punggung dengan sulur tumbuhan agar dia tidak terjatuh saat aku memanjat tali—yang kubuat dari sulur juga. Dalton sempat mencetuskan memakai gaya tarik-menarik saat menemukan ada yang terlelap di punggungku, tetapi kubilang, “Kau yakin tidak jatuh?”“Asal kuat berpegangan kau takkan jatuh,” serunya.Kuputuskan itu berbahaya, jadi kami pakai ideku. Peran dia hanya menanti di jembatan, bersiap kalau sewaktu-waktu sulur tumbuhan putus.Beruntungnya, berhasil.Meskipun susah payah, dan aku gemetar ketakutan kalau tiba-tiba ikatan di pinggang dan punggungku lepas, membuat gadis ini terjatuh ke sungai. Beruntung, itu tidak terjadi dan Dalton membantu mengangkatku setelah tanganku bisa sampai ke tempatnya. Jadi, aku melepas ikatan, mendengar jeritan Dalton. “ITU REILA!”Aku membaringkan gadis itu di bawah pohon, membia
“Jangan pedulikan Dalton,” kata Reila. “Saat di Padang Anushka, dia punya waktu tidur sangat panjang. Kau tahu? Dia sering melewati latihan pagi karena telat bangun, jadi aku yakin dia takkan dengar apa yang kita bicarakan. Kita punya waktu empat mata cukup lama. Atau kau takut padaku?”Aku masih sibuk membersihkan sisik ikan, menusuknya melintang dengan ranting, sebelum mulai membakarnya di api unggun. Setelah dua ikan berlalu, aku baru berkata, “Mau memastikan aku bukan musuh?”“Aku tahu kau yang menyelamatkanku,” sahutnya. “Aku cukup yakin sudah tak lagi selamat, tapi kau di sana—mungkin aku hanya mimpi, tapi—banyak yang terlintas di kepalaku. Aku tidak mau meragukanmu.”“Lalu?” lanjutku.“Aku punya hipotesis,” dia mengambil ikan yang masih hidup di kotak, lalu membersihkannya meski dia cukup sulit membuatnya menjadi bangkai siap santap. “Tapi aku perl
Aku bermimpi yang menyakitkan.Aku berada di gang kecil, sempit, dan gelap. Tak ada situasi yang harus bisa kumengerti karena begitu semua itu terjadi, aku sudah dilempari batu, botol, atau apa pun oleh anak-anak kecil. Mereka berteriak girang. “ANAK IBLIS!”Tidak ada yang kulakukan, hanya berdiri tegak.Dan ada anak yang lumayan tua. Cukup tinggi. Dia mencengkeram kausku, kemudian menonjok keras. Aku terbanting, dan anak-anak yang melempariku batu terdiam. Mereka kaget—atau takut. Anak-anak lebih tua itu semakin banyak, mulai mengelilingi gang sempit, dan aku diangkat.“Jadi, ini anak dukun?”Aku tidak bisa merasakan apa yang terjadi, tetapi mataku melihat beragam macam pukulan mendarat ke wajahku, perut, atau punggung. Hidungku perih bak mengeluarkan cairan. Gigiku penuh rasa besi. Namun, tidak ada yang terasa ketika pukulan itu mendarat ke tubuhku. Hanya efek samping yang terasa kemudian.Serangan itu berakhi