Aku membayangkan apa yang dialami Reila selama sepuluh tahun terakhir.
Maksudku, ingatanku tentang Ayah dan Ibu baru kembali empat bulan lalu dan aku sudah berulang kali bermimpi hal yang membangkitkan duka dan nuansa kehilangan dalam benakku. Aku tidak bisa memikirkan seberapa banyak perasaan Reila tersayat karena mimpi terus membangkitkan rasa sayangnya. Belum lagi, di waktu yang sama dia terus mencari keberadaan kakaknya tanpa petunjuk—bahkan meski semua dewan sudah menganggapku tiada, Reila masih memendam harapan. Aku yakin dia begitu terluka karena semua rangkaian yang menumpuk.
Itulah mengapa aku tak bisa sembarangan mengaku pada Reila kalau sudah bermimpi tentang Ibu. Selama bertahun-tahun dia tidak bisa mengekspresikan itu—atau mungkin dia bisa karena ada Profesor Merla—tetapi tetap saja, aku tidak bisa tiba-tiba membuatnya terbangun dengan ucapan, “Reila, aku bertemu Ibu.”
Aku punya janji pada Fal yang berbunyi: bila aku da
Memasuki jam sarapan, aku membangunkan Lavi.Lavi jarang tidur sampai melebihi jam sarapan. Kecuali aku tidur di sisinya, dia tidak akan bermalas-malasan sampai jam sarapan. Lavi tipe orang yang bangun pagi, memulai aktivitasnya lebih pagi dari siapa pun, lalu tiba-tiba berkeringat saat orang-orang bahkan belum menyentuh gelanggang. Dia jarang tergeletak lelap di kasurnya hingga melewatkan pagi. Semua penghuni tahu andai Lavi tidak kelihatan di awal pagi, berarti penyebabnya satu: aku.Namun, kini bukan aku penyebabnya. Mendapati Lavi tertidur sampai jam sarapan saja sudah cukup membuatku prihatin. Kecerdasan Lavi pasti diperas habis-habisan hingga titik terakhir oleh tim medis.Ketika aku membangunkannya pun, Lavi seperti menolak bangun. Dia agak terganggu sampai akhirnya membuka sedikit matanya.“Ng... Forlan.” Aku tidak bisa memahami nada suaranya yang memanggil atau memastikan ini aku atau bukan, tetapi dia memang masih setengah sadar.
Aku tidak merekomendasikan—dan sebenarnya bersumpah tak akan pernah melihat hasil pembedahan yang dilakukan untuk mencari informasi. Namun, Lavi bilang Dokter Gelda menungguku karena ada hal yang hanya bisa dimengerti dan dirasakan olehku. Aku tidak bisa mengecewakan Dokter Gelda, tetapi hati nuraniku juga tidak mengizinkanku melakukannya. Sayangnya, Lavi meyakinkanku.“Dokter Gelda juga tidak memaksa,” katanya, “tapi kuharap kau mau. Kalau kau butuh imbalan, aku janji memakai gaun itu lagi setelah kau melihatnya.”“Jangan menyogok,” tuntutku.“Tapi kau memang mau melihatku memakainya lagi, kan?”Kubilang aku tidak suka kalau dia menggunakan gaun itu untuk memaksaku mengikuti apa yang dia mau. Aku tidak mau dianggap sebagai orang yang bergerak hanya karena dia mengatakan itu. Dia bilang kalau bercanda, lalu kubilang itu salah satu lelucon yang tidak boleh dia ucapkan lagi. Dia meminta maaf, dan tampakn
Sorenya, Rapat Dewan diadakan.Para dewan sudah berkumpul di Pendopo ketika aku tiba. Bahkan Profesor Merla yang selalu datang terlambat sudah duduk di kursinya, kelihatan mengobrol santai dengan Kara. Jenderal sudah di kursinya. Begitu juga dengan Mister. Dokter Gelda sudah datang, tetapi masih mengobrol dengan Nadir dan Mika di lingkar luar bangku Pendopo. Ketika aku dan Lavi tiba, suasananya lebih mirip diskusi normal. Semua orang sudah tiba. Aku datang bersama Lavi dan pilar tim medis. Sisanya sudah duduk di tempat menanti kelengkapan dewan.Rapat Dewan kali ini mengundang semua kapten dan wakil kapten—kecuali tim stok, sungguh hingga saat ini Aslan belum memilih wakil kaptennya. Aku ingin menyarankan nama Laher agar setidaknya dia tidak kesepian ketika Rapat Dewan. Aslan jarang bicara, tetapi selalu memerhatikan. Kadang aku agak prihatin.Para penghuni dibiarkan beraktivitas. Belakangan, para penghuni sudah tak lagi terikat aturan harus di markas keti
Kurang lebih Rapat Dewan tiba di pembahasan genting lain: Dokter Moya.Dokter Gelda membongkar semua yang berhasil dicari tentang ayah Fal ini. Dokter Gelda juga menjelaskan obrolan kami—aku, Dokter Gelda, dan Profesor Merla—yang kurang lebih melibatkan hubungan pusat medis dengan musuh. Itu cukup memberi gagasan bahwa Dokter Gelda tak lagi percaya pusat medis sebagai pusat pengobatan penghuni Padang Anushka. Agaknya itu membuat banyak dewan bergidik—terutama karena pusat medis merupakan bagian penting kami.“Intinya, pusat medis tempat terduga untuk pengembangan blasteran, kan?” tanya Haswin. “Kalau begitu, mungkin saja tempat itu sudah dikuasai blasteran.”“Kita memang sudah waktunya menjadi independen,” ujar Kara. “Persoalan pengkhianatan ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah punya kecurigaan ini sejak tiga belas tahun lalu, tapi tidak pernah terselesaikan.”“Kita juga punya banyak
Rapat Dewan berakhir saat jam malam tiba.Di titik itu semua orang sudah cukup lelah. Akhirnya, Kara membubarkan dewan, dan Lavi menyeretku ke gerhanya.Aku tidak punya alasan menolak, jadi ketika kami masuk dan Lavi langsung mengobrak-abrik isi kulkasnya, aku duduk di karpet bulu ruangan tengahnya, lalu berbaring mengistirahatkan kepala yang dipaksa memikirkan banyak hal. Rasanya semakin banyak kabar buruk yang kami dapatkan. Urusan Layla saja belum selesai. Harus berapa lama lagi kami menunggunya bangun?“Hm,” gumam Lavi, menatap isi kulkasnya. “Ternyata tidak ada ikan.”“Kau serius mau pesta bakar?” tanyaku.“Kau pikir aku bercanda?”“Aku heran kau masih punya semangat sebesar itu.”“Justru ini bisa mengisi energiku kembali.” Lavi melempar sesuatu dari isi kulkasnya. Suaranya keras. Pasti sesuatu yang beku. “Tidak ada ikan, jadi kita ganti sosis. Aku puny
Keesokan harinya, aku sibuk mengasah belati di gedung penempaan. Bazz sudah pasti di tempat. Dia menempa zirah besi baru. Dia kelihatan senang mendapat pekerjaan itu—pada akhirnya, dia lebih suka berurusan dengan bau besi dibanding aroma buah dan sayur di kebun.Theo juga ada di tempat. Dia berulang kali bertanya padaku tentang pedang, yang berulang kali juga kubilang kalau posisi kami terbalik. Semestinya aku yang banyak bertanya, tetapi entah bagaimana aku juga bisa menjawab—aku mengingat semua yang pernah diajarkan Aza soal pedang, dan itu membuat obrolan kami bisa menyambung. Ketika aku mengasah belati, Theo terus mengajakku bicara.Di tengah itu, tiba-tiba suara Fin menggema—cukup mengagetkan.[“Nadya memanggilmu. Datanglah ke Perbatasan.”]Itu sudah cukup membuatku memandang lokasi Fin—yang membuat Theo bertanya-tanya. Aku berhasil mengalihkan obrolan, tetapi masih terkejut.“Kapan?” ta
“Bibi juga punya bolu kukus, makanlah.” Bibi mengeluarkan begitu banyak camilan dari keranjang piknik. Aku curiga keranjang piknik itu bisa memuat lebih banyak dari yang semestinya terlihat. Tikar kami sampai penuh makanan.Bibi menghentikan obrolan serius sampai aku menyantap mi yang dia buat. Rasanya enak. Ada sesuatu yang bangkit dalam diriku ketika menelannya. Sesuatu seperti kenangan yang membuncah. Itu mendorong euforia dalam diriku hingga aku hampir tertawa. Aku rindu rasa ini. Bibi dulu sering membuatnya.Bibi tampaknya juga sadar. Dia menatapku penuh senyum. “Enak?”“Spesial,” kataku, antusias.Bibi tertawa. “Dasar tukang rayu.”Dalam kilasan cepat, sorot Bibi kelihatan begitu gembira, tetapi juga sedih. Aku bisa membayangkan bahwa inilah yang selalu ingin Bibi lakukan—karena aku juga ingin mengalami ini di tempat yang lebih nyata. Itu membuatku tidak karuan—bahwa kami diizinkan m
Mimpi terakhirku bagaikan kiamat.Terakhir kali aku memejamkan mata adalah ketika jaring laba-laba di langit-langit pondok membuatku membayangkan apa yang akan kulakukan pada baju-baju kusut. Aku berpikir akan menyetrika. Tubuhku—aku yakin sudah bergerak, tetapi tiba-tiba aku meringkuk di tengah hujan deras, punggungku basah, dadaku sesak, dan pita suaraku menjerit penuh tuntutan paling menyakitkan.Seseorang berdiri di sebelahku. Kami di padang rumput luas.Dan di pangkuanku, terbaring gadis berwajah penuh nuansa gelap, dengan sesuatu yang hitam, samar—seperti bayangan hitam—menutupi wajahnya.Air mataku juga tiba-tiba sudah mengalir deras.Aku tidak mengerti, tetapi benakku sesak. Air mataku tak mampu berhenti. Hujan—gemuruh terdengar keras, seperti tak mengizinkan isak tangisku terdengar. Aku kacau. Entah bagaimana aku ingin memeluk gadis ini layaknya kami saling mengenal. Namun, aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siap