Share

2. AZA #2

“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”

Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”

Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.

Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern—berbanding terbalik dengan semua yang berada di sekitar gunung. Punya tiga kamar, cukup untukku, Aza, dan Nenek. Dan, ya, pondok hebat ini milik Nenek berhati lembut yang tidak pernah marah bahkan ketika bocah kecil nakal menghancurkan satu set piring kesayangannya karena menendang bola terlalu keras di dalam pondok—sebenarnya itu salah Aza karena tidak menangkap, tetapi secara teknis, aku yang menendang, jadi itu salahku. Intinya, kami hidup bertiga, dengan segala kebutuhan yang selalu ada.

Ya, kebutuhan yang selalu ada, tersedia kapan pun yang kami butuhkan.

Maksudku, bagian belakang pondok itu pekarangan yang kelewat luas, dan ada puluhan sapi perah sekaligus kambing siap sembelih yang bisa menjadi bahan makan kami sehari-hari. Nenek bilang, “Dulu Nenek itu peternak.” Jadi, aku belajar banyak hal dari Nenek yang tampaknya menjadi pengetahuan umum di kehidupan. Aza sampai bilang, “Sekarang adikku lebih jenius dari siapa pun. Kecuali aku.”

“Tapi aku hilang ingatan,” kataku.

“Tapi kau jenius. Kenapa, sih, kau selalu bilang ingatanmu hilang?”

Pondok juga punya berbagai macam buku yang terlalu lengkap. Setidaknya, ada banyak jenis buku dari hal remeh seperti ragam binatang, sampai hal kelewat rumit, seperti hukum fisika atau topik yang mengupas habis teori relativitas. Buku-buku itu—lagi-lagi—milik Nenek, dan, secara teknis, juga Aza. Kupikir jarak usia antara aku dengan Aza sekitar satu atau dua tahun, tetapi ketika aku merasakannya lagi, ada jurang yang sangat jauh di antara kami, seolah dengan usia yang seperti ini, dia jauh dan jauh lebih dewasa dari yang kupikirkan.

Aza juga mengajariku berpedang, berenang, memanah,—banyak hal.

Atas saran Nenek juga, ketika kondisiku lumayan stabil untuk melakukan hal berat—setidaknya, tubuhku sudah cukup bugar sampai bisa berlatih fisik—Aza memintaku berlari naik turun gunung setiap matahari terbit dan terbenam.

Aku sempat protes, “Aku takut! Ada singa!”

Aza mendesis. “Mana ada singa di sini. Aku mengawasimu, ayo pergi!”

Sebaik-baiknya Aza, dia mengerikan kalau marah. Jadi, karena dia bilang itu demi kebaikanku dan Nenek bilang itu juga akan berguna, aku menurutinya.

Namun, tiga hari pergi, aku sudah mengeluh ke Nenek.

Nenek bilang, “Forlan, sejujurnya Aza jauh lebih mengerti tentang Forlan lebih dari Nenek. Dia tahu apa yang dibutuhkan ke depan. Dengan melakukan ini, dia pasti tahu itu yang terbaik. Jadi, tidak apa mengeluh, tapi pastikan semua tetap berjalan, oke? Nenek pasti mendukung Forlan.”

Nenek punya aura kasih sayang yang memancar kuat—jauh lebih kuat dari Aza—tetapi begitulah. Aza juga menyayangiku. Aku tahu itu.

Maka setelah setahun bersama, ketika aku melupakan segala hal termasuk tanggal lahirku sendiri, Aza memutuskan hari pertemuanku dengannya menjadi hari ulang tahunku. Dan di perayaan ulang tahunku kesepuluh, Aza memberiku hadiah setumpuk ikan bakar bersama fakta: “Kita sebenarnya bukan manusia biasa.”

Saat itu kami ada di depan api unggun, di depan pondok, tepat di kegelapan malam, dikelilingi pohon pinus, dan aku berhenti mengunyah. “Apa?”

“Kita bukan manusia biasa,” ulangnya. “Kita diberkahi kemampuan khusus. Aku, dan kau. Ini contohnya.” Dia mengangkat telunjuk, dan sulur tumbuhan tiba-tiba meluncur dari bawah, membentuk satu helai rumput yang memanjang. “Kita di sini berlindung. Di luar ada perang. Makanya kau tidak boleh turun gunung.”

Aku kehilangan kata-kata.

“Bukan maksudku mengejutkanmu,” katanya, “tapi kau sering tidur sambil menerbangkan sesuatu, ya, kan, Nek?”

Nenek tertawa ketika mengangkat tiga tusuk dari api unggun. “Kemampuan kalian persis sama. Nenek tahu Forlan sekuat Aza.”

“Tapi,” protesku, “bukannya semua orang bisa?”

“Tidak, Forlan,” kata Nenek. “Manusia biasa tidak diberkati seperti pemilik kemampuan khusus. Nenek tidak seperti Forlan. Nenek tidak bisa membuat angin dengan menjentikkan jari.” Nenek menjentikkan jari. “Lihat? Ini bukti Nenek hanya manusia biasa. Forlan dan Aza orang-orang terpilih.”

Sejujurnya aku memerhatikan Nenek dengan serius, tetapi aku tidak mampu mengerti. “Jadi, kita harusnya bertarung?”

“Lari juga bentuk perlawanan,” kata Aza. “Kita bersembunyi.”

“Bersembunyi?”

“Pokoknya, pondok ini batas terakhir kau boleh turun gunung. Kalau mau turun, kau harus bilang padaku. Atau kau mati dalam dua detik.”

Aku tidak mengerti, tetapi rasanya aku sudah melupakan hal yang kelewat penting. “Oke. Terserah, deh, aku mau makan ikan.”

Setidaknya, kami menjalani kehidupan damai, menikmati waktu, dan Aza tetap melatihku habis-habisan. Dia punya kemampuan bertahan di alam liar lebih hebat dari siapa pun—iya, aku memang cuma membandingkannya dengan Nenek, tetapi Aza memang seperti yang paling kuat di muka bumi. Dia jauh lebih kejam dari siapa pun ketika latihan, tetapi juga jauh lebih menyebalkan dari apa pun ketika jail. Nenek bahkan tak lepas jadi korbannya. Jadi, kami sering menghabiskan waktu dengan memancing, beternak sapi, kambing, atau ayam sampai kerbau, dan kami sering menghabiskan malam dengan membakar ikan di depan api unggun, mengisi waktu sambil bercanda, sampai melakukan hal paling idiot: membersihkan wilayah gunung sekitar pondok—menurut mereka itu wajib dilakukan sebulan sekali.

Semua menyenangkan sampai usiaku menginjak lima belas tahun.

Saat itu kondisi Nenek sudah buruk, sering muntah, bahkan tiba-tiba Nenek sudah tidak bisa bangkit—hanya bisa berbaring di ranjang.

Jadi, ketika aku mau mengantarkan makanan ke ruangan Nenek, secara tak sengaja aku mendengar suara Aza.

“...aku mau menahannya selama mungkin.”

Aku berhenti di ambang pintu, membeku begitu saja. Pintu terbuka sedikit, tetapi suasana di dalam terasa sampai luar. Rasanya begitu membeku seolah sudah berada dalam alam berbeda.

“Kau tahu itu tidak baik untuknya,” kata suara serak Nenek. “Aza. Ini sudah di luar rencana. Kau tidak bisa terus terlena.”

“Aku tidak terlena! Dia... dia begitu berharga untukku.”

“Tidak ada waktu lagi. Keputusan ini menunggu kesiapanmu.”

Mereka terdiam. Jeda ini cukup lama. Hanya dalam sekejap, suasana terasa berat—bahkan seperti tidak ada pembicaraan lagi.

“Tidak apa, Nek. Aku bisa menjaganya sendiri.”

“Sampai kapan?”

“Biar kuusahakan secepat mungkin.”

“Kau selalu mengatakan itu sejak dua tahun lalu. Aku tidak pernah mencoba memaksamu, tapi kau yang paling tahu betapa aku mencemaskan ini, kan?”

“Dia....” Suara Aza semakin pelan. “Aku tidak mau kehilangan adikku.”

“Dan dia cucuku. Begitu juga denganmu. Kita sudah membicarakan semua ini bertahun-tahun lalu. Aza—” Nenek terbatuk. “Batas waktunya sudah habis.”

“Aku masih punya cukup waktu,” Aza masih protes.

“Untuk meninggalkan lebih banyak memori untuknya? Dengar, Nak. Hanya memori itu yang membuatnya bisa berkembang—betul, tapi memori indah itu juga yang akan membuatnya tertahan. Wilayah ini mungkin tidak tersentuh, tapi sudah bertahun-tahun lamanya kita menentang hukum alam. Kalau dibiarkan terlalu lama, dia yang tidak bisa keluar. Ini demi kebaikannya juga.”

“Dia butuh perlindungan.”

“Perlindungan yang terlalu lama hanya mengekangnya.”

“Nek,” potong Aza tajam, “jangan meninggalkanku.”

Dan suara Nenek terhenti. Aku juga semakin mengeras, layaknya tubuhku ditanam ke titik tempatku berdiri. Itu pertama kali aku mendengarnya. Ketika kami bersama, itu pertama kalinya aku mendengar suara Aza begitu lemah.

“Semua pasti berlalu sangat berat untukmu, Nak. Kau mungkin tidak sadar, tapi aku selalu memerhatikanmu. Kurasa kau jauh lebih mengerti kalau tidak baik memperlihatkan sisi ini. Tidak apa. Tidak ada yang bisa melakukan hal semulia ini selain dirimu. Jadi, Aza, saat ini kau hanya harus percaya pada Forlan. Dia... Forlan sudah lebih kuat dari sebelumnya. Dia juga melindungimu.”

Suara yang berhasil menggerakkanku kembali, adalah suara isak yang kian sesak. Kupikir, akan sangat brengsek kalau aku tetap di tempat, jadi dalam momen itu, aku berhasil melangkah menjauh dari ruangan Nenek.

Dua hari setelahnya, Nenek mengembuskan napas terakhirnya.

Dan ketika aku bersama Aza, kurasakan dia tidak begitu berbeda. Hanya menatap gundukan tanah, tanpa isak tangis—hanya menunduk seperti memberikan pemberkatan terakhir. Aku tidak mengerti konsep hidup setelah kematian, tetapi ketika aku memikirkan Aza, kurasakan dia hanya tidak ingin Nenek pergi. Aku bisa saja memikirkan semua yang kucuri dengar, tetapi dalam benak kecilku, aku sadar bahwa mungkin Nenek tahu posisiku di balik pintu. Barangkali Nenek hanya ingin memberitahu bahwa apa yang ditunjukkan Aza di depanku, semata-mata untukku, sampai Aza tidak bisa memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Tentu saja itu muncul di benakku. Satu konsep yang tertulis dalam buku, tentang kebahagiaan yang hangat: keluarga. Barangkali setelah bertahun-tahun kami bersama, aku juga bisa merasakannya, betapa Nenek telah menjadi keluarga dalam hidupku.

Dan Aza, hanya tidak ingin kehilangan keluarganya.

Jadi, ketika menatap gundukan tanah yang telah mengubur Nenek di bawah sana, kugumamkan tekad tentang menjadi kuat—bahwa ketika Aza bersamaku, dia bisa benar-benar tersenyum dari lubuk hatinya.

“Aza,” kataku. “Aku takkan pergi, kok.”

“Oh,” katanya. “Memangnya mau pergi ke mana?”

“Aku adikmu.”

Ada jeda sebelum Aza berbalik dengan senyum tipis di bibirnya. “Jadi, kau mengakuiku sebagai kakakmu?”

Aza menjadi satu-satunya keluargaku sampai kami menghabiskan waktu di sekitar pondok, dan tidak pernah sekali pun aku curiga pada semua yang kudengar dari pembicaraan Nenek dan Aza. Persetan dengan ingatan masa laluku, keluargaku yang sudah kulupakan—atau apa pun. Aku hidup untuk Aza.

Sejak kematian Nenek itu, mimpi pertemuan pertamaku dengan Aza mulai membuncah menguasai setiap malam yang kulalui dengan ketenangan.

Hingga tiga tahun kemudian, aku bermimpi tentang gadis manis—adikku.

Dan pembicaraan mereka mulai menggema dalam benakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status