Share

1. AZA #1

Aku ingin bercerita apa yang terjadi padaku. Orang paling fenomenal dalam hidupku perlu diberitahukan: Aza.

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk, yang belakangan juga semakin aneh. Namun, satu mimpi yang terus berulang tanpa henti, adalah pertemuan antara bocah berusia delapan tahun yang penuh bekas luka, dengan gadis berusia sebelas atau dua belas tahun yang punya pedang di pinggangnya. Aku tidak ingat tepatnya pertemuan itu, tetapi momen itu selalu kembali seolah aku tidak diizinkan lupa.

Biasanya dimulai di gang kecil, dan aku berada dalam sudut pandang kucing liar—duduk di atas atap rumah rendah, menatap seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sudah menemukan garis perpotongan waktunya. Gang itu berada di kota yang penuh remang-remang lampu, dan tidak pernah terlihat ada matahari. Hanya kota yang hampa, penuh kebisingan memuakkan, layaknya terpendam jauh di kedalaman. Jadi, aku—yang ada dalam tubuh kucing—melihat aku—yang berusia delapan tahun, memakai kain usang, dan terbatuk-batuk seperti terkena penyakit mematikan.

Bocah kecil itu baru saja dihajar seseorang. Lebih tepatnya, preman. Tidak ada yang bisa kuingat mengapa aku ditonjok habis-habisan, tetapi dilihat dari bekas luka di tubuh kecil itu, aku berani sumpah sepanjang masa kecil tidak ada kata lari dalam kamusku. Kalau ada yang menghajar, aku melawan, dan babak belur.

Setidaknya, untukku yang berada dalam tubuh kucing tahu bahwa tiap jiwa yang terlahir pasti memiliki orang tua. Namun, ketika aku melihat bocah kecil itu, aku berusaha menolak apa yang terjadi—karena secara teknis, itu aku, dan aku tidak pernah melihat orang tuaku dalam mimpi ini meskipun telah terulang ratusan kali dalam tidurku. Jadi, kesimpulan menyesakkan itu datang ke benakku—fakta bahwa di masa-masa itu, aku tidak punya orang tua, bahkan terbuang di gang kecil lusuh. Aku hanya anak terbuang yang disiksa sepanjang waktu.

Aku tidak ingin mengerti apa yang dirasakan bocah kecil itu, tetapi ketika matanya menatap lekat-lekat ke bangkai tikus yang dipenuhi lalat, tampaknya mau tidak mau aku membayangkan apa yang dia pikirkan: bocah tanpa harapan yang iri pada ruangan penuh cahaya, tidak mau berakhir membusuk dikelilingi sesuatu yang menjijikkan. Maka berdasar pada keyakinan itu—meskipun sebagian besar jiwanya telah hancur dan tidak ada lagi yang bisa dia ingat selain kekerasan dan luka—dia berjongkok di sisi tempat sampah, menyandar pada dinding dengan jendela rendah, yang dalam suatu waktu akan mengeluarkan aroma-aroma paling dia sukai: ikan bakar. Dalam bara api kecil, dia masih punya tekad hidup, dan meski tidak memiliki apa-apa untuk merasakan ikan bakar, dia punya hidung yang bisa mencium aroma, layaknya aroma yang bercampur bau busuk tempat sampah itu mampu membuatnya kenyang dalam satu kali tarikan napas. Bocah kecil itu terlihat begitu menyedihkan, seperti akan sampai di akhir garis waktunya, tetapi juga seperti tidak akan pernah sampai. Sesuatu selalu melarangnya untuk pergi.

Dan di hari itu—ketika kebisingan kota membuat bocah kecil itu meringkuk kelaparan dalam hawa dingin—bayangan seseorang menutupi tubuhnya.

Dia membuka mata, menemukan kaki seseorang di depan matanya.

Aku bisa merasakan apa yang bocah kecil itu rasakan: matanya berat, dalam alunan menyakitkan pada kakinya yang lebam, dia berusaha melihat seseorang yang tampaknya siap menghajarnya. Dia tidak ingin bangkit, jadi ketika matanya berhasil mendapati seseorang berdiri di hadapannya, dia langsung menjerit seolah menolak menerima rasa sakit lebih lanjut. Matanya—bergetar, penuh rasa takut, ngeri, dan... pasrah. Tangan ringkihnya kelihatan tidak berdaya. Penuh luka sayat dan lebam—memeluk erat kaki yang patah, membenamkan kepalanya dalam dekapan tubuhnya yang kurus. Suaranya menyesakkan, layaknya jeritan penolakan penuh isak tangis. Barangkali dia menuntut, tetapi tak pernah seorang pun mendengarnya.

Namun, di hari itu, seorang gadis yang entah dari mana asalnya, hadir untuk bocah kecil itu, bersimbah keringat, layaknya telah mencarinya selama berhari-hari tanpa istirahat. Dan ketika gadis itu mendapati bocah kecil itu berteriak penuh rasa takut, sesuatu yang belum pernah terjadi menggugah suasana menjadi hangat.

Gadis itu menangis, menuntut pada ketidakadilan di hadapannya.

Jadi, di tengah kegelapan kota yang tiada ujungnya, di sudut kecil gang yang berbau busuk dan gosong dalam satu waktu, dua orang itu bertemu. Dalam alunan sesak yang sama, gadis itu merangkul bocah kecil itu, menangis seolah tidak ingin mendapati situasi mengerikan yang tak seharusnya dirasakan bocah delapan tahun. Dan bocah kecil itu meneriakkan jeritan dengan tingkat yang sama seperti ketika preman-preman menghajarnya—tetapi dalam alunan yang jauh berbeda.

Bocah kecil itu... menangis, bahagia, dan lega, dan...

...bersyukur.

Dia membalas pelukan erat gadis itu, mencengkeram apa pun yang bisa dia genggam di punggungnya—seolah-olah melarangnya pergi.

Dia, pada akhirnya, bisa menggantungkan harapan hidupnya.

Selama momen-momen itu, aku—yang dalam tubuh kucing ini—tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Barangkali jurang bahasa berada di antara kami, meski, secara teknis, aku manusia. Namun, ketika bocah kecil itu kehilangan kesadaran di dekapan gadis misterius itu, aku tahu hidupnya akan berubah.

Gadis itu—gadis dengan pedang di ikat pinggangnya—tiba-tiba menatapku, layaknya dia menemukanku—yang dalam tubuh kucing ini—dan tersenyum.

Maka sejak pertemuan itulah, ingatan masa kecilku terhapus sepenuhnya.

Layaknya pertemuanku dengan Aza menjadi tombol reset yang menghapus segala bentuk kesengsaraan dan luka yang kudapatkan selama masa kecil.

Begitu mataku terbuka, aku telah terbaring di depan kehangatan api unggun, dikelilingi hutan lebat yang jauh dari kegelapan kota, dengan mata menatap lurus pada Aza yang menyayat ikan bak koki andal—sebelum dia akhirnya menemukan mataku, tersenyum dengan lesung pipi yang khas.

“Selamat datang di rumah, Forlan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status