Aku ingin bercerita apa yang terjadi padaku. Orang paling fenomenal dalam hidupku perlu diberitahukan: Aza.
Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk, yang belakangan juga semakin aneh. Namun, satu mimpi yang terus berulang tanpa henti, adalah pertemuan antara bocah berusia delapan tahun yang penuh bekas luka, dengan gadis berusia sebelas atau dua belas tahun yang punya pedang di pinggangnya. Aku tidak ingat tepatnya pertemuan itu, tetapi momen itu selalu kembali seolah aku tidak diizinkan lupa.
Biasanya dimulai di gang kecil, dan aku berada dalam sudut pandang kucing liar—duduk di atas atap rumah rendah, menatap seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sudah menemukan garis perpotongan waktunya. Gang itu berada di kota yang penuh remang-remang lampu, dan tidak pernah terlihat ada matahari. Hanya kota yang hampa, penuh kebisingan memuakkan, layaknya terpendam jauh di kedalaman. Jadi, aku—yang ada dalam tubuh kucing—melihat aku—yang berusia delapan tahun, memakai kain usang, dan terbatuk-batuk seperti terkena penyakit mematikan.
Bocah kecil itu baru saja dihajar seseorang. Lebih tepatnya, preman. Tidak ada yang bisa kuingat mengapa aku ditonjok habis-habisan, tetapi dilihat dari bekas luka di tubuh kecil itu, aku berani sumpah sepanjang masa kecil tidak ada kata lari dalam kamusku. Kalau ada yang menghajar, aku melawan, dan babak belur.
Setidaknya, untukku yang berada dalam tubuh kucing tahu bahwa tiap jiwa yang terlahir pasti memiliki orang tua. Namun, ketika aku melihat bocah kecil itu, aku berusaha menolak apa yang terjadi—karena secara teknis, itu aku, dan aku tidak pernah melihat orang tuaku dalam mimpi ini meskipun telah terulang ratusan kali dalam tidurku. Jadi, kesimpulan menyesakkan itu datang ke benakku—fakta bahwa di masa-masa itu, aku tidak punya orang tua, bahkan terbuang di gang kecil lusuh. Aku hanya anak terbuang yang disiksa sepanjang waktu.
Aku tidak ingin mengerti apa yang dirasakan bocah kecil itu, tetapi ketika matanya menatap lekat-lekat ke bangkai tikus yang dipenuhi lalat, tampaknya mau tidak mau aku membayangkan apa yang dia pikirkan: bocah tanpa harapan yang iri pada ruangan penuh cahaya, tidak mau berakhir membusuk dikelilingi sesuatu yang menjijikkan. Maka berdasar pada keyakinan itu—meskipun sebagian besar jiwanya telah hancur dan tidak ada lagi yang bisa dia ingat selain kekerasan dan luka—dia berjongkok di sisi tempat sampah, menyandar pada dinding dengan jendela rendah, yang dalam suatu waktu akan mengeluarkan aroma-aroma paling dia sukai: ikan bakar. Dalam bara api kecil, dia masih punya tekad hidup, dan meski tidak memiliki apa-apa untuk merasakan ikan bakar, dia punya hidung yang bisa mencium aroma, layaknya aroma yang bercampur bau busuk tempat sampah itu mampu membuatnya kenyang dalam satu kali tarikan napas. Bocah kecil itu terlihat begitu menyedihkan, seperti akan sampai di akhir garis waktunya, tetapi juga seperti tidak akan pernah sampai. Sesuatu selalu melarangnya untuk pergi.
Dan di hari itu—ketika kebisingan kota membuat bocah kecil itu meringkuk kelaparan dalam hawa dingin—bayangan seseorang menutupi tubuhnya.
Dia membuka mata, menemukan kaki seseorang di depan matanya.
Aku bisa merasakan apa yang bocah kecil itu rasakan: matanya berat, dalam alunan menyakitkan pada kakinya yang lebam, dia berusaha melihat seseorang yang tampaknya siap menghajarnya. Dia tidak ingin bangkit, jadi ketika matanya berhasil mendapati seseorang berdiri di hadapannya, dia langsung menjerit seolah menolak menerima rasa sakit lebih lanjut. Matanya—bergetar, penuh rasa takut, ngeri, dan... pasrah. Tangan ringkihnya kelihatan tidak berdaya. Penuh luka sayat dan lebam—memeluk erat kaki yang patah, membenamkan kepalanya dalam dekapan tubuhnya yang kurus. Suaranya menyesakkan, layaknya jeritan penolakan penuh isak tangis. Barangkali dia menuntut, tetapi tak pernah seorang pun mendengarnya.
Namun, di hari itu, seorang gadis yang entah dari mana asalnya, hadir untuk bocah kecil itu, bersimbah keringat, layaknya telah mencarinya selama berhari-hari tanpa istirahat. Dan ketika gadis itu mendapati bocah kecil itu berteriak penuh rasa takut, sesuatu yang belum pernah terjadi menggugah suasana menjadi hangat.
Gadis itu menangis, menuntut pada ketidakadilan di hadapannya.
Jadi, di tengah kegelapan kota yang tiada ujungnya, di sudut kecil gang yang berbau busuk dan gosong dalam satu waktu, dua orang itu bertemu. Dalam alunan sesak yang sama, gadis itu merangkul bocah kecil itu, menangis seolah tidak ingin mendapati situasi mengerikan yang tak seharusnya dirasakan bocah delapan tahun. Dan bocah kecil itu meneriakkan jeritan dengan tingkat yang sama seperti ketika preman-preman menghajarnya—tetapi dalam alunan yang jauh berbeda.
Bocah kecil itu... menangis, bahagia, dan lega, dan...
...bersyukur.
Dia membalas pelukan erat gadis itu, mencengkeram apa pun yang bisa dia genggam di punggungnya—seolah-olah melarangnya pergi.
Dia, pada akhirnya, bisa menggantungkan harapan hidupnya.
Selama momen-momen itu, aku—yang dalam tubuh kucing ini—tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Barangkali jurang bahasa berada di antara kami, meski, secara teknis, aku manusia. Namun, ketika bocah kecil itu kehilangan kesadaran di dekapan gadis misterius itu, aku tahu hidupnya akan berubah.
Gadis itu—gadis dengan pedang di ikat pinggangnya—tiba-tiba menatapku, layaknya dia menemukanku—yang dalam tubuh kucing ini—dan tersenyum.
Maka sejak pertemuan itulah, ingatan masa kecilku terhapus sepenuhnya.
Layaknya pertemuanku dengan Aza menjadi tombol reset yang menghapus segala bentuk kesengsaraan dan luka yang kudapatkan selama masa kecil.
Begitu mataku terbuka, aku telah terbaring di depan kehangatan api unggun, dikelilingi hutan lebat yang jauh dari kegelapan kota, dengan mata menatap lurus pada Aza yang menyayat ikan bak koki andal—sebelum dia akhirnya menemukan mataku, tersenyum dengan lesung pipi yang khas.
“Selamat datang di rumah, Forlan!”
“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern&md
Tiga tahun kemudian, Aza menyusul kepergian Nenek.Sekitar tiga sampai empat bulan setelah kematian Nenek, tiba-tiba kondisi Aza menurun. Dia tidak terlihat punya penyakit, dan—dia dokter paling hebat yang pernah kutahu. Namun, dia tidak berdaya menghadapi serangan penyakit itu. Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada yang sakit di antara kami sebelum hari ketika Nenek kehilangan gerak motorik. Aza yang punya pengetahuan ramuan dan obat-obatan—yang aku tahu Nenek juga mahir karena dia yang mengajarinya—entah bagaimana tidak berdaya menghadapi masa-masa itu.Dan kurasa itu yang terjadi pada Aza empat bulan setelah kepergian Nenek.Sepeninggal Nenek, kami sering berburu hewan liar—maksudku, ya, kami memang punya banyak hewan ternak, tetapi Aza bilang, “Kita harus melihat semua yang bisa kau lakukan di alam liar,” seolah-olah dalam suatu masa setelah tidak ada Nenek, dia tahu waktunya juga akan tiba. Jadi, dia berusaha membuatku
Sapi terakhir yang kami miliki adalah sapi potong. Satu-satunya sapi terakhir yang ada setelah Aza pergi. Tidak ada lagi hewan ternak, hanya aku, pondok hening, dan sapi yang tidak lagi bernafsu mengeluarkan suara. Dia selalu yang paling keras berontak saat akan disembelih, jadi dia menjadi satu-satunya yang bertahan. Dan dia hanya duduk—atau tidur—di tengah terpaan mentari. Sepertinya sejak waktu yang tidak kusadari, semangatnya telah hilang. “Aku bisa menyembelihmu, tapi aku tidak mau ditendang,” kataku. Saat itu pagi yang cerah, dan aku berdiri di depan kandangnya, mengamati sapi yang tidak bergerak, hanya melihatku dengan lirikan yang sungguhan mirip dengan apa yang kulihat saat bercermin. Jadi, aku menghela napas. “Aku mau turun gunung. Kalau tidak disembelih, kau bisa mati kesepian.” Dia membalasku dengan dengusan. “Oke. Nanti sore kau kusembelih.” Betul. Aza yang mengajariku menyembelih. Dia selalu bilang, “Kalau tidak disembeli
Tiba-tiba saja aku berada di kerumunan yang bersorak.Kerumunan yang sangat padat. Manusia berkumpul di sekelilingku. Depan, belakang, samping—semua orang bersorak menghadap ke arah yang sama. Suasana terasa meriah. Lampu-lampu bersinar berwarna-warni dari arah depan. Merah, biru, hijau, dan berbagai warna lain yang sering kulihat di pelangi. Semua orang tertawa, bernyanyi dengan penuh semangat. Dan mereka—orang-orang berpenampilan aneh layaknya kekurangan bahan bernyanyi sangat merdu di panggung.Aku tidak pernah melihat kerumunan orang sebanyak ini.Seseorang di sampingku melompat kegirangan dengan tawa bahagia. Suara terdengar begitu berisik, tetapi melantunkan irama yang membuat hatiku bergetar. Aku tidak bisa melihat jelas. Tinggiku tidak sampai, tetapi suara keras yang jelas terdengar membuatku bisa mengerti seberapa hebatnya penyanyi.Cahaya warna-warni itu terus berkedip, mengelilingi kejauhan.Semua orang bersorak, tetapi tidak
Mataku terbuka beriringan dengan derak kilat yang memancar.Dan berturut-turut semua mulai kurasakan: telingaku mendengar gemuruh di kejauhan, mataku menemukan lilin di sudut. Dan aku kembali. Di dalam pondok. Di luar hujan, bahkan seperti badai. Punggungku berkeringat—wajah atau mungkin sekujur tubuh. Aku berusaha mengembalikan semua. Kesadaran, pernapasan, dan fokus mataku. Setelah semua kembali terasa, aku terlonjak begitu saja.Mimpi.Dan pondok diguncang badai.Suara kilat saling sahut menyahut. Atap seperti berguncang akan terbang. Angin membuat jendela berderak. Semestinya aku ngeri. Namun, mataku menatap kosong. Semua seperti tidak lagi nyata. Tidak ada yang bisa kurasakan.Aku turun dari ranjang, melihat buku catatan bersampul hitam.Itu buku harian tua yang kutemukan di kamar Aza. Kupikir itu buku harian Aza atau catatan yang dia tulis selama tinggal denganku, tetapi ketika aku membuka sampul yang sudah kelewat tua seolah ter
Ini pertama kali aku berlari ke barat menuruni gunung.Aku berlari di depan tekadku untuk berduka. Kurasa inilah yang dimaksud Aza dengan latihan. Itu membuatku berhasil menang melawan beruang. Dan satu rangkaian pelatihan gila dari puncak bukit sampai pondok dua kali sehari juga agak berhasil membuat napasku panjang. Fisikku kuat. Aku bisa berlari jauh.Penampilan hutan ini mirip hutan hujan tropis yang kulihat di buku. Rawa di mana pun setiap kaki melangkah. Kabut tipis menutupi pandangan, yang terlihat bertambah parah karena ribuan rintik hujan mendistorsi pandangan. Air hujan mulai merembes masuk ke pakaianku—efek dari pertarungan dan jas hujan yang memang tidak terlalu membantu. Hawa dingin mulai terasa, entah itu karena hujan atau bulu kudukku yang terus aktif. Kurasa hanya saat inilah aku bisa membanggakan semua yang kusebut sebagai kemampuan khusus. Aku bisa memahami struktur tanah mana yang tepat untuk diinjak, batu-batuan yang tidak akan hancur saat kul
Aku hampir kewalahan ketika Dalton bertanya bagaimana aku hidup.Maksudku, aku tidak bisa bilang kalau sudah tinggal di pondok hebat, yang punya segala perabotan indah—yang secara teknis pasti merupakan hal paling aneh. Dia bercerita seolah sudah diserang monster berhari-hari sejak dia keluar. Jadi, saat aku bilang, “Kurasa aku jarang bertemu monster seperti itu.”Dia terkejut setengah mati. “Jarang? Mustahil. Pemilik kemampuan pasti diserang monster mitologi. Mereka benci kita.”“Benci?”“Kita pengganggu alam liar. Itu yang kutahu.”Aku selalu gagal mengerti tentang alam liar seolah pemandangan hutan ini punya nyawa tersendiri. Dia bisa menolak kehadiran seseorang, membenci, bahkan yang paling ekstrem, alam liar punya kemampuan membunuhku. Rasanya seperti tinggal dalam perut monster yang siap mencernamu.Jadi, untuk mengamankan posisi, kubilang, “Aku pernah bertemu makhluk sejenis.
Gagasan tidur di tempat yang tidak bersahabat sepertinya mustahil bagiku.Berjaga sepanjang malam juga tampaknya tidak cocok denganku, jadi yang kulakukan ketika Dalton menikmati mimpinya, adalah membuka buku harian lama yang kutulis di usia delapan tahun. Tulisan di buku ini sudah hampir hancur ketika pertama kutemukan, dan setelah melewati pertarungan di tengah badai, semestinya tidak aneh beberapa halaman hancur karena air merembes masuk. Beberapa tulisan juga semakin tak terbaca karena—jelek, dan tintanya pudar—sempurna.Setidaknya aku bisa mengumpat pada diriku yang kulupakan karena dengan polosnya tidak menuliskan siapa nama adikku, ibuku, atau ayahku. Tidak ada satu pun petunjuk tentang keluargaku. Kalau bisa memutar balik waktu, kurasa aku akan menonjok bocah ini. Anak polos apa yang memilih mengumpat penculik dibanding menulis nama adiknya? Aku tidak habis pikir, tetapi dia ini aku.Jadi, aku terjaga sampai pagi tiba.Dan sepertinya D