Share

Bab.3 Tanda Merah di leher

Aku dan Mas Razan pamit tidur kepada Kak Nita setelah suamiku itu selesai memijit Farel. Kami langsung tidur karena kini mataku sudah mengantuk begitupun Mas Razan.

Beberapa jam berlalu aku terbangun ditengah malam karena bermimpi aneh tentang kehancuran rumah tanggaku. Ku lihat Mas Razan tak ada di tempat tidurnya. Dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti mataku, aku berjalan menuju dapur karena tenggorokkanku merasa kering setelah terbangun tadi.

Aku lupa menaruh botol milikku yang biasa aku letakkan sebelum tidur di atas nakas.

Saat aku melewati kamar Kak Nita, terdengar suara d*sahan yang membuatku menempelkan telingaku pada pintu kamarnya yang tertutup rapat.

Suara itu semakin menjadi diiringi ucapan-ucapan manis yang terlontar dari mulut Kakak kandungku. Dengan siapa dia melakukan hal itu? Apa jangan-jangan dengan Mas Razan? batinku yang seketika merasa tergores. Rasanya dadaku bergemuruh dengan tubuh bergetar memikirkan hal yang bahkan belum aku ketahui kepastiannya.

Aku berjalan menuju dapur untuk mencari keberadaan suamiku, siapa tahu dia ada disana untuk mengambil minum juga. Tapi sayang, Mas Razan tak ada disana, aku juga berjalan cepat menuju halaman belakang tempat biasa dia bersantai saat tidak bisa tidur, tapi Mas Razan juga tidak ada disana.

Kemana dia? batinku terus bertanya menepis kemungkinan yang ada di dalam kamar itu bukanlah suamiku.

"Hiks..hiks.." aku menangis sambil berjongkok menelungkupkan wajahku pada lutut karena pikiranku kini tertuju pada kebenaran tebakan itu.

Iya, mungkin yang ada di dalam sana memang suamiku. Hatiku hancur, jiwaku rasanya melayang entah kemana mendapati penghianatan yang dia lakukan bersama Kakak kandungku sendiri. Entah apa yang terjadi dalam hidup ini jika aku harus kehilangannya dalam waktu sesingkat ini?

"Kamu ngapain jongkok disana?" suara suamiku terdengar dari belakang.

Aku menoleh cepat lalu berdiri sambil menghapus air mata karena takut ketahuan sudah menangis.

"Mas darimana aja sih? Malam-malam begini keluyuran?" tanyaku kesal.

"Mas habis telpon di luar, emangnya kenapa?" tanya Mas Razan lalu dia mendekatiku menyelidik mataku yang terlihat basah.

Aku baru ingat kalau tadi aku tidak sempat mencarinya ke depan teras.

"Kamu nangis?" tanyanya lagi tanpa merasa berdosa.

"Enggak kok, aku cuma kelilipan aja," jawabku berbohong, bisa-bisa dia menertawakan ku kalau aku berkata jujur.

Terlihat Marni yang baru saja datang sambil merapikan rambut dan juga rok mininya dari arah dapur karena kamarnya cukup dekat dengan dapur.

Apa jangan-jangan Mas Razan bermain dengannya? batinku yang tidak bisa berpikir jernih tentang suamiku yang akhir-akhir ini sikapnya berubah.

"Kamu mau kemana Marni ini kan masih malam?" tanyaku memandang ke arah Marni di belakang Mas Razan.

"Eu,,saya..saya mau ambil jemuran saya lupa belum diangkat Bu," jawabnya yang masih terlihat ngantuk.

Dia berjalan melewatiku untuk menaiki tangga karena tempat menjemur pakaian ada di rooftop atas. Aneh sekali kelakuannya, alasan yang baru saja ku dengar itu aku anggap aneh, karena waktu sudah menunjukkan jam dua pagi, dan dia berniat naik ke roortop untuk mengambil jemuran di pagi yang masih buta ini? Kenapa dia tidak menunggu matahari terbit saja?

Ku lihat ada beberapa tanda merah di lehernya saat tak sengaja aku meliriknya yang baru saja lewat.

Deg!

Aku tahu itu bukanlah tanda gigitan nyamuk apalagi gigitan semut. Di bagian bawah lehernya juga terdapat tanda merah itu. Siapa yang sudah melakukannya? Bukankah Marni belum punya suami? Bukankah saat dia melamar pekerjaan statusnya masih perawan?

Pikiranku kembali melayang bertebaran dan jatuh pada tatapan dinginku yang kini ku tunjukkan pada suamiku. Mas Razan masih disana menatapku heran, dengan ponselnya yang masih ada ditangan.

"Kamu habis darimana tadi, Mas? Jawab aku dengan jujur!" pintaku meninggikan suaraku.

"Kok kamu bersikap kayak gitu sih sayang? Mas kan udah bilang Mas habis telpon di luar sama temen," jawabnya yang membuatku semakin ragu untuk percaya.

"Temen siapa? Siapa yang malam-malam begini telponan sama suami orang?" tanyaku penuh interogasi.

"Temen Mas itu cowok sayang, dia barusan minta Mas ke Rumah sakit buat gantiin Sip malamnya karena dia tiba-tiba sakit," jawabnya lagi.

Entah kenapa hati ini menepisnya merasa Mas Razan tengah berbohong padaku. Aku memang tak pernah membuka Handphonenya, aku juga tidak pernah tahu dengan siapa saja dia slalu bertukar pesan, karena itu adalah privasinya.

Aku sangat menghargai suamiku dan sangat percaya padanya, tapi malam ini aku memberanikan diri untuk mengambil Handphone Mas Razan secara paksa ditangannya.

"Eeeh, kok diambil sih Handphone Mas!" ucapnya.

Tak ku gubris ucapannya barusan. Aku membuka aplikasi hijau membaca beberapa pesan di grup Rumah Sakit tempat dia bekerja. Tak ada hal yang aneh apalagi mencurigakan. Disana hanya terdapat lawakan sesama Dokter pria yang tengah membahas si Dokter baru cantik bernama Sabrina yang menurutku ternyata jauh berbeda sekali dengan aslinya.

Jadi itu yang membuatmu tersenyum setiap malam Mas? batinku yang mulai merasa lega karena sudah membaca seluruh isi pesan di aplikasi itu.

"Makasih Mas," ucapku sambil tersenyum lalu membalikkan bdan hendak pergi karena merasa malu sudah mengira hal yang buruk tentangnya.

"Sudah puas?!" teriaknya terdengar kecewa.

Aku kembali membalikkan badan memandangnya yang memperlihatkan ekspresi kesal padaku.

"Permisi, Bu," ucap Marni yang baru turun dari tangga.

Aku diam saja merasa kesal juga pada Marni yang berpakaian terbuka di tengah malam begini. Tidak bisakah dia berpakaian tidur yang lebih sopan? Apalagi disini ada tiga laki-laki yang tidak seharusnya melihat auratnya.

Mas Razan tak melihat ke arah Marni. Dia menatapku sambil mendelikkan mata, lalu berjalan melewatiku menaiki tangga.

Ngambek ceritanya. Terlihat jelas kalau dia sangat kecewa terhadap perlakuanku tadi yang tidak seperti biasanya. Mas Razan langsung pergi begitu saja meninggalkanku yang kini merasa bersalah padanya.

Aku tak bisa berkata apapun lagi, perasaanku kini bercampur aduk tak menentu. Mau percaya, tapi tetap saja curiga. Mau curiga, tapi aku tidak menemukan bukti apapun tentang perselingkuhannya.

Tak ingin membuat kepalaku pusing kembali, aku segera bergegas menuju kamar untuk istirahat karena malam ini tubuh dan otakku seakan terkuras habis oleh pikiran- pikiran negatif yang belum jelas kebenarannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AuthorS
Hallo para pembaca.. Mohon dukungannya ya dengan cara berikan ulasan, vote dan juga jangan sungkan untuk memberikan kritik dan saran pada kolom komentar ... terimakasih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status