Share

Bab.2 Memasuki Kamar Kak Nita

"Iya, bayi itu adalah bayiku Amira,, hiks..hiks.." ucap Kak Nita yang kini menangis sesegukan.

Aku segera memeluknya untuk menenangkan perasaannya meski aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingin bertanya, tapi aku takut membuatnya semakin merasa sedih, aku mengelus punggungnya membuat tangis Kak Nita mereda.

Setelah cukup lama membuatnya tenang, aku memberanikan diri bertanya pada Kakakku agar rasa penasaran itu tak membuatku semakin resah.

"Siapa Ayah dari bayi ini Kak? Siapa yang sudah melakukan ini padamu?" tanyaku yang bisa menebak kalau Kak Nita sudah dinodai oleh pria tak bertanggung jawab.

"Hiks..hiks..Kakak tidak bisa mengatakannya Amira," jawabnya dengan air mata yang masih terus mengalir membasahai pipi.

"Ya sudah kalau begitu, Kakak jangan menangis lagi ya, Kakak tidak usah memikirkan apapun lagi sekarang, kasian bayi itu, jangan banyak pikiran lagi," ucapku sambil melepas pelukan.

"Bagaimana dengan Ibu dan Ayah? Bagaimana jika mereka tahu kalau Kakak sudah punya anak diluar nikah sekarang Amira? Kakak gak bisa membayangkan semuanya, mereka pasti akan sangat kecewa juga sedih mengetahui hal ini, hiks..hiks..lebih baik Kakak mati saja agar keluarga tidak menanggung malu lagi karena aib ini!" katanya dengan penuh emosi yang meledak.

"Jangan bicara seperti itu Kak, pikirkan anakmu! Sekarang kamu sudah menjadi ibu dari seorang anak yang tak berdosa, bagaimana jika dia tahu tentang kelakuanmu yang seperti ini yang memilih untuk mengakhiri hidup daripada harus membesarkannya, apa dia akan menyayangimu jika mengetahui penyebab ibunya meninggal adalah dirinya sendiri?" ucapku tegas agar membuat Kak Nita sadar atas ucapannya.

"Hiks..hiks...." Kak Nita diam dengan terus menangis.

Aku ikut menangis meratapi nasibnya yang begitu malang. Pantas saja selama tiga tahun lebih bekerja di Kalimantan, dia tak ingin pulang bahkan terkesan menghindar saat keluarga meminta untuk menghubunginya melalui Vidio Call. Ternyata inilah jawaban atas semuanya,

Aku menangis memikirkan betapa menderitanya Kak Nita di luar sana dengan keadaannya yang tengah mengandung hidup sebatang kara di negri orang harus menanggung malu pula sekarang. Dalam hati, aku juga merasa geram dengan orang yang sudah membuatnya menderita.

Ingin sekali rasanya tangan ini memukul wajah laki-laki tak bertanggung jawab itu. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mencari tahu siapa orang yang sudah berbuat kejam itu pada Kakakku. Suatu saat aku akan mencarinya sendiri.

********

Malam hari aku tak bisa terlelap tidur. Perkataan Kak Nita tadi pagi cukup membuat kepalaku pusing karena terlalu banyak berpikir. Aku membalikkan badan ke arah suamiku yang masih asik bermain ponsel sambil tersenyum sendiri.

Akhir-akhir ini Mas Razan memang bersikap berbeda dari sebelumnya. Dia yang biasanya langsung tidur setelah membersihkan diri, kini selalu asik bermain ponsel bahkan sampai larut malam.

"Mas? Belum tidur?" tanyaku mengarahkan tubuhku menghadapnya.

"Belum sayang, kenapa? Yang tadi masih kurang ya, wkwkwk,," jawabnya disertai cekikikan.

"Ih, apan sih Mas, bukan begitu, aku cuma susah tidur aja malam ini," jawabku berharap dia meletakkan ponsel lalu memelukku seperti biasa sebelum tidur.

Tapi tidak, kali ini Mas Razan malah asik mengetik sesuatu di ponselnya sambil tersenyum sendiri mengabaikan ucapanku. Tidak biasanya dia seperti ini, ada apa ini? Dengan siapa dia bertukar pesan? Batinku lagi-lagi dibuat penasaran olehnya.

"Mas!" panggilku agak lantang.

"Hmmmh..pelan-pelan aja manggilnya, nanti kuping Mas sakit!" jawabnya meliriku sekilas dengan ekspresi kesal.

"Habisnya kamu dari tadi asik main Handphone terus, kamu juga gak denger aku bilang apa tadi,"

"Mas denger kok, Mas mau ke bawah dulu ya, mau ambil air, haus," ucapnya bangkit dengan segera keluar dari kamar.

Aku duduk sambil mengernyitkan dahi memandangnya yang baru saja berlalu.

Tidak biasanya dia selalu membawa Handphonenya kemanapun. Biasnya Mas Razan selalu meletakkan Handphonenya sembarangan bahkan hampir hilang karena dia jarang memainkannya juga asal saja dalam meletakkan benda pipih itu.

Jika bukan urusan bisnis biasanya dia jarang bermain ponsel. Tapi kali ini, Mas Razan benar-benar berbeda dari sebelumnya. Mau ke dapur untuk ambil air saja bawa Handphone segala.

Karena penasaran aku mengikutinya ke bawah. Betapa terkejutnya aku saat melihat Mas Razan yang tengah memasuki kamar Kak Nita saat aku baru saja sampai di lantai bawah.

"Kenapa dia memasuki kamar Kak Nita?" gumamku dengan perasaan panas yang sudah menjalar keseluruh hati terbakar api cemburu meski belum tentu mereka berbuat sesuatu yang buruk.

Aku berjalan cepat menuju kamar Kak Nita untuk memastikan apa yang tengah terjadi. Dengan amarah yang menggebu aku berjalan cepat ingin segera sampai karena jaraknya cukup jauh dari tempat aku berdiri tadi.

Ckieet!

Langkahku terhenti saat melihat Mas Razan kembali keluar sambil menimang bayi bernama Farel bersamaan Kak Nita yang terlihat cemas. Ku lihat seksama bayi itu anteng-anteng saja dalam gendongan Mas Razan, tapi kenapa ekspresi Kak Nita seperti orang cemas?

"Eh, kamu kesini juga sayang, ini tadi Farel nangis-nangis pas aku lagi lewat depan pintu. Karena pintunya terbuka, aku langsung masuk aja, kasian Kak Nita kayak kesusahan diamkan Farel. Tapi pas aku gendong, dia berhenti nangisnya," kata Mas Razan padahal aku tidak bertanya apapun.

"Oh, dia lapar kali Kak, dia pengen susu, kayaknya belum kenyang deh," jawabku sok tahu karena memang aku sering membaca beberapa curhatan para ibu di media sosial tentang penyebab bayi menangis di tengah malam.

"Gak tau juga Amira, tapi tadi Kakak udah kasih dia susu kok, gak tau kenapa dia malah nangis terus," jawab Kak Nita yang masih cemas sekali.

"Biar aku periksa, mungkin saja perutnya kembung, makannya dia nangis terus," kata Mas Ranza sambil memasuki kamar Kak Nita tanpa meminta izin terlebih dulu.

Aku kembali mengernyitkan dahi. Bisa-bisanya suamiku yang begitu penuh dengan adab berubah seketika, entah apa penyebabnya?

Meski begitu banyak pertanyaan dalam hati, aku simpan saja rapat-rapat. Aku memasuki kamar Kak Nita untuk melihat secara langsung Mas Razan memeriksa keadaan Farel.

"Perutnya kembung, aku minta minyak telon Kak, biar aku pijat perutnya supaya lebih enak, kalau udah kentut dia akan nyaman karena gas dalam perutnya akan berkurang," ucapnya sambil mengambil sebotol minyak dari tangan Kak Nita.

"Ini, Mas,"

Deg!

Jantungku berdegup saat tangan mereka bersentuhan tepat di hadapanku. Sontak saja kedua orang itu saling memandang, lalu melirikku.

"Maaf," ucap Mas Razan pada Kak Nita lalu dia melirikku.

Karena dia tahu sekali dengan sifatku yang cemburuan. Pastinya Mas Razan tak ingin aku berpikir buruk sedikitpun akibat perlakuannya meski tidak disengaja.

Perlahan dia memijat perut Farel dengan lembut sambil berceloteh mengajak Farel berbicara membuat bayi itu sesekali tersenyum ke arah Mas Razan. Sepertinya bayi itu nyaman saat di dekat suamiku.

Aku lihat Kak Nita tersenyum senang saat melihat kedekatan antara bayinya dengan Mas Razan.

Ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku sakit? Apa ini karena aku merasa telah gagal menjadi seorang istri yang belum kunjung memberinya keturunan? batinku menjerit melihat pemandangan itu.

Ada rasa bersalah dalam hati meskipun itu bukanlah kesalahanku. Semua ini hanya masalah waktu saja, aku yakin suatu saat aku pasti bisa memberikan keturunan untuk Mas Razan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
AuthorS
Hallo para pembaca ... mohon dukungannya untuk memberikan ulasan serta subscribe cerita ini ...... jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran pada kolom komentar ya... Jangan lupa juga untuk follow akunku agar kalian bisa mengikuti setiap perkembangan cerita ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status