Share

Bab.8 Mencari Pekerjaan

"Jangan sekarang sayang, nanti Mas akan kasih semua ATM Mas sama kamu tapi jagan sekaranglah," jawabku.

"Kenapa? Sekarang atau nanti sama saja kan Mas? Sama-sama di kasih ke aku? Atau...Mas memang sayang banget ngasih ATM sama aku? Sayang kalau uangnya cepat habis?" tanyanya menyelidik membuatku kembali bepikir untuk menjawabnya.

"Iya, maksud Mas nanti saja ya, Mas janji akan ngasih semua ATM Mas sama kamu, bukannya Mas takut kamu boros atau habiskan uangnya, Mas masih ada keperluan lain selain membiayai sekolah Rania," ucapku hampir saja keceplosan.

"Baiklah Mas, nanti aku tunggu kesadaran Mas!" jawab Amira sambil pergi.

"Astaga! Kenapa Amira berubah? Perkataannya juga berubah, masa dia barusan bilang tunggu kesadaranku? Emangnya aku lagi kesurupan apa?" gumamku.

Bergegas aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di atas meja sudah tersedia pakaian kerjaku yang sudah disiapkan Amira.

Setelah berpakaian rapih aku segera mengambil tas kerjaku untuk segera berangkat.

"Mas! Gak sarapan dulu?" tanya Amira yang berpapasan denganku di bawah tangga.

"Enggak sayang, hari ini Mas sarapan di Rumah Sakit saja, takut keburu telat," jawabku beralasan.

"Kalau begitu, tunggu dulu, aku mau ambil bekal makanan yang sudah aku siapkan tadi," kata Amira sambil pergi.

Hah? Dia sudah mempersiapkan bekal makan? Tau dari mana dia kalau aku akan makan di tempat kerja? Dia memang peramal yang handal! batinku merasa heran dengan sikapnya.

"Ini bekal makanannya Mas," ucapnya sambil mengulurkan kotak makan kecil padaku.

"Ingat! Jangan dibanting lagi ya, hehehe..." kataku mengajaknya bercanda.

Amira hanya tersenyum saja menanggapinya. Dia mencium punggung tanganku lalu aku kecup keningnya.

"Mas berangkat dulu ya!" ucapku.

"Iya, hati-hati Mas," jawabnya tanpa memperhatikan aku dari pintu.

Ada apa dengan Amira? Dia tidak seperti biasanya?

Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil yang kini dikendarai oleh supirku yang baru masuk kerja lagi, aku melihat Bapak dan Ibu Amira sudah ada di luar sambil membawa koper besar mereka. Sepertinya hari ini mereka akan segera pulang ke kamnpung.

Syukurlah kalau begitu, Nita bisa kembali tinggal di rumah dan aku tidak perlu mencuri waktu kepada Amira dengan beralasan hal yang tidak mudah.

Setelah sampai di Rumah Sakit aku segera masuk ke ruanganku. Betapa terkejutnya aku saat melihat Sabrina tengah berdiri di depan pintu.

"Sabrina?! Ngapain kamu berdiri disini? Bikin kaget aja!" ujarku sambil melewatinya.

"Mas.. nanti malam jadi ya!" Sabrina berjalan mendekatiku lalu meraba bahuku dengan penuh sesasional.

Jujur saja, perlakuannya itu membuat imanku goyah. Tapi aku tetap menolaknya secara halus, bagiku ini bukan saatnya untuk kembali bermain dengan wanita setelah aku pusing memikirkan dua wanita yang selalu uring-uringan gak jelas.

"Gak bisa Sabrina, aku gak bisa lakuin itu, aku sudah punya istri sekarang!" jawabku dengan sibuk memilih surat-surat di atas meja.

"Mas...." panggilnya manja yang tengah duduk di atas meja kerjaku.

"Sabrina! Jangan begitu, duduk di kursi yang benar, bagaimana kalau yang lain lihat kelakuan kamu seperti ini, mereka bisa-bisa menganggap kamu ada hubungan sama aku!" Peringatku padanya yang berusaha menggodaku.

Sabrina menurut, dia berdiri di sampingku. Kebetulan asistenku baru datang.

"Permisi, maaf Pak, saya telat, gak sempat bersihin ruangan dulu," ucapnya yang baru saja datang.

Dia melirik Sabrina dengan sinis. Entah apa yang ada di hatinya, yang pasti dia selalu tidak akur dengan Sabrina.

"Iya, gak apa-apa, lain kali kamu datang lebih awal, biar ruangan saya sudah bersih sebelum saya masuk!"

"Baik, Pak," Asistenku pergi ke tempatnya.

Sedangkan Sabrina sekarang masih berdiri di sampingku. Aku menyuruhnya untuk segera pergi ke ruangannya agar tidak menjadi pembicaraan banyak orang sekalipun aku pernah menjekaskan pada rekan sesama Dokter kalau dia masih ada hubungan keluarga denganku.

~~POV Amira~~

Hari ini Ibu dan Bapak memutuskan untuk pulang kembali ke kampung. Kebetulan sekali Mas Razan baru saja berangkat ke tempat bekerja. Mas Razan tidak tahu jika kedua orang tuaku akan pulang kampung hari ini, mereka jarang sekali ngobrol karena Mas Razan lebih sering pulang terlambat.

"Amira, ingat pesan Ibu!" peringat Ibu lagi padaku.

"Iya, bu," jawabku setelah mencium tangannya.

"Ada apa Bu? Pesan apa?" tanya Bapak penasaran.

"Itu loh, Ibu memberi pesan sama Amira agar dia selalu berhati-hati dengan sikap suaminya, kemarin kan Razan pulang terlambat, bisa saja Razan berselingkuh dulu sebelum dia pulang kesini!" kata Ibu.

"Hush! Kamu ini Bu! Kalau bicara sembarangan terus! Jangan bicara seperti itu kalau kamu belum tahu kebenarannya, bicara yang baik-baik kepada anak, jangan buat dia jadi kepikiran gara-gara ucapanmu itu!" tegas Bapak sedikit marah.

Ibu hanya terdiam sambil melirikku yang juga hanya terdiam seribu bahasa.

"Amira, Bapak yakin Razan adalah suami yang baik, kamu harus selalu nurut sama dia, jangan selalu menuntut untuk dikasih perhatian atau apapun, layani suami kamu dengan baik ya, insya Alloh dia akan selalu menyayangi kamu," ucap Bapak sambil mengusap bahuku.

Berbeda halnya dengan Ibuku yang kini juga langsung pergi menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah.

"Jangan ambil pusing dengan ucapan Ibumu itu, jangan dipikirkan, orang tua terjadang selalu berlebihan kepada anakknya karena dia terlalu sayang. Bapak pulang dulu ya, jaga diri baik-baik ya," ucap Bapak sebelum dia pergi.

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk setelah menjawab ucapannya. Ku lihat Bapak melambaikan tangannya di balik kaca mobil yang terbuka. Aku membalasnya dengan mataku yang sudah berkaca-kaca

"Terimakasih Bapak, hanya kamu cinta pertama dalam hidupku, cuma Bapaklah yang selalu menyayangiku sepenuh hati," ucapku dengan air mata yang kini membasahi pipi.

Aku teringat dengan niatku untuk mencari pekerjaan. Segera aku menghapus air mata lalu mencari Bi Nani untuk berpesan sesuatu karena hari ini aku akan pergi ke rumah Rinjani teman lamaku.

Aku mengendarai mobilku sendiri karena Pak Bagus kini tengah mengantar suamiku ke tempat kerjanya. Di perjalanan tak habisnya air mataku mengalir mengingat penghianatan yang sudah dilakukan suamiku, betapa sakitnya saat mengingat ucapan Bapak sebelum dia pergi tadi. Dia begitu percaya pada Mas Razan, entah akan seperti apa perasannya jika suatu saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Amiraa!" teriak Rinjani heboh saat mobilku baru saja terparkir di rumahnya.

"Hallo, apa kabar?" sapaku sambil memeluknya yang sedari tadi berjingkrak heboh seperti anak kecil saat melihatku datang.

Kami memang sudah cukup lama tidak bertemu, makannya Rinjani begitu antusias saat bertemu kembali denganku.

"Aku baik, kamu sendiri gimana? Udah isi belum?" tanyanya yang membuatku menggeleng sambil manyun.

"Yaahh..zonk lagi hahaha..suami kamu kurang tajam kali wkwkwkwk..." ujarnya yang suka sekali bercanda.

"Hahahaha...iya kali ya!"jawabku santai sambil tertawa.

"Masuk yuk!" ajaknya padaku yang mengikuti langkahnya.

Toing!

Sebuah kuntung rokok terbang ke hadapan kami membuatku mengernyitkan dahi, lalu seseorang mucul dari pintu yang terbuka.

"Maaf, tadi gak ada tempat buang kuntung!" ucapnya.

Bukannya laki-laki itu yang menemukan dompetku di Mal? aku berbicara dalam hati saat melihat laki-laki tampan mirip Taehyung BTS itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status