Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai di depan gedung rumah sakit bernama "RS.FATIH". Aku terburu-buru turun dari motor sport Danile yang akhirnya membuatku hampir terjatuh, untung saja Daniel memegang pinggangku, pandangan kami terkunci beberapa detik.~~ POV Razan ~~Pagi ini adalah pagi yang amat memuakkan bagiku. Bagaimana tidak, baru saja aku melahap sesuap makanan ke mulut sambil memuji masakkan Amira yang begitu lezat, dia malah merespon ucapanku dengan hal yang membuatku tersulut emosi.Karena kesal, aku meninggalkannya bernagkat ke rumah sakit sendirian. Ku biarkan saja dia berangkat sendiri, hatiku masih kesal mengingat dia selalu saja menyangkut pautkan apapun dengan Sabrina. Deg!Tiba-tiba saja jantungku berdegup, rasanya hatiku geram saa melihat pemandangan buruk di hadapanku. Dari kejauhan, ku lihat Amira dan Daniel tengah saling memandang sambil berpelukkan. Dadaku bergemuruh menahan amarah, aku segera berjalan cepat menghampiri mereka."Apa yang sedang kalian l
Saat bekerja memeriksa beberapa pasien, pikiranku tak fokus karena mengingat kejadian bersama Amira tadi.Kepalaku jadi pusing karena terlalu keras berpikir, juga rasa cemas yang belum kunjung habis mengelilingi otakku. Amira memang sudah membuat kepalaku pusing hari ini. Saat jam istirahat tiba, aku segera mencari Amira ke ruangan Office Girl. Lagi, ku lihat pemandangan buruk di depan mataku. Terlihat Amira yang tengah menangis, bersamaan Daniel yang kini tengah memegang tangannya dengan air kran yang mengucur ke bagian tangan kiri Amira. "Minggir! Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku mendorong tubuh Daniel agar menjauh dari istriku, Amira hanya melirikku tanpa menjawab."Tangan Mbak Amira terkena air panas! Hatinya juga panas sekarang!" jawab Daniel padaku.Mendengar hal itu sorot mataku menajam padanya. Lancang sekali OB sepertinya berbicara menyudutkanku di saat situasi seperti ini. "Sayang, ayok ikut Mas ke ruangan, biar Mas coba periksa kamu, lalu nanti Mas obati lukanya," a
"Asslamu'alaikum," ucapku setelah membuka pintu saat pulang ke rumah berniat untuk membawa beberapa pakaianku."Wa'alaikumsalam, kamu dari mana Amira? Kok baru pulang?" tanya Mamah Rani, ibunda Mas Razan yang kini tengah duduk di atas sofa."Eu...Amira baru saja pulang bekerja Mah, Mamah sama Papah kapan datang?" tanyaku lalu menghampiri kedua orang yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri sambil mencium tangan keduanya."Baru aja kami datang Mir. O, ya, kamu kerja apa? Kok malah bekerja, emangnya gajih Razan gak cukup buat kebutuhan kamu?" tanya Mamah Rani."Iya, Papah juga baru aja mau tanya gitu, bukannya gajih Razan itu besar? Belum lagi dia juga mempunyai bisnis lain di luar kota, seharusnya kamu tidak perlu bekerja seperti ini," sambung Papah Andri. "Eu.., Amira bekerja karena Amira bosan diam di rumah terus, makannya Amira memutuskan untuk bekerja saja," jawabku agak gugup terpaksa berbohong kembali untuk menutupi aib suamiku."Sebentar Mah, Pah, Amira mau ke belakang dulu pa
[Aku lagi di Hotel Anggrek sama Mas Razan, datang aja kalau kamu penasaran, aku akan kasih kamu kejutan hari ini] Pesan itu di kirim oleh nomer tak di kenal. Aku sudah bisa menebaknya jika itu mungkin saja adalah nomer Sabrina.Dengan tangan mengepal aku berjalan cepat mencari taxi. Tak lama, setelah taxi datang aku memasukinya. Tak ku hiraukan teriakkan Dicky yang memanggil namaku berkali-kali. Aku masih kesal padanya, bukan karena apapun. Tapi dari ucapannya itu kini pikiranku semakin kacau.Setelah tiba di hotel yang di maksud aku segera menghampiri resefsionis hotel yang menolak untuk memberikan informasi mengenai keberadaan suamiku. Pesan itu jelas sekali memberikan aku informasi keberadaan Mas Razan saat ini, aku juga melihat ada beberapa barang Mas Razan dalam foto yang baru saja di kirim oleh nomer tak di kenal itu."Saya mohon Mbak, saya istri dari Pak Razan dan saya juga berhak mengetahui dimana keberadaan dia sekarang, jika dia sedang berada di hotel ini, bukankah saya jug
"Amira, sini bantu Mamah membuat kue untuk acara syukuran nanti malam," kata Mamah Rani padaku yang mulai tersadar dari lamunanku."Eh, iya, Mah," segera aku bangkit menghampirinya yang sedang berada di dapur."Memangnya nanti malam akan ada acara syukuran apa?" tanyaku pada Mamah Rani sambil membantunya."Adalah, kamu akan tahu sendiri nanti," jawabnya sambil tersenyum."Mamah selalu saja buat Amira penasaran," ucapku sambil tersenyum karena merasa sudah di jahili olehnya.Mamah Rani terkekeh. "Namanya juga surpise," katanya sambil terus melanjutkan pekerjaanya.Melihatnya tersenyum membuatku merasa senang. Karena baru beberapa menit yang lalu Mamah terlihat murung karena kondisi Papah Andri yang tiba-tiba drop harus terbaring di atas ranjang.Papah Andri tiba-tiba saja mengalami struk saat aku datang untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi pada rumah tanggaku dan Mas Razqn. Padahal aku belum berbicara apapun, ku lihat Mamah Rani dan Kak Nita tengah berada di dekat tubuh Papah
Wajah Mas Razan terlihat gugup saat aku tanyai dia. "Eu, enggak, Mas gak terkejut kok," jawabnya kembali mengekpresikan wajahnya seperti biasa."Kapan kamu datang kesini?" tanya Mas Razan."Sudah lama," jawabku singkat."Hallo, sayang, Mamah kamu kemana? Kok kamu sama Tante Amira? Sini biar Om gendong kamu ya," kata Mas Razan pada Farel yang tersenyum melihatnya.Sakit sekali melihat hal itu, hatiku tercabik-cabik merasa menjadi seorang yang bodoh menyembunyikan rasa sakit ini. "Sini biar Mas yang gendong Farel," kata Mas Razan.Aku memberikan Farel padanya lalu berniat pergi. Tapi Mas Razan mencegahku dengan pertanyaannya."Mau kemana?" tanyanya."Ke dapur, bantuin Mamah," jawabku singkat juga."Bikinin Mas kopi hitam, antarkan kesini sekarang, udah lama Mas gak minum kopi buatan kamu," perintahnya yang segera aku anggukkan lalu aku pergi tanpa berkata apapun lagi.Sampai di dapur Mamah Rani masih sibuk membuat kue. Entah kejutan apa yang akan dia berikan untukku."Kamu mau buatkan k
"Mau kemana lo jam segini hujan-hujanan? Pake berdiri di pinggir jalan segala lagi," cerocos Rinjani."Mau ke rumah Mamah Rani, Mas Razan..., Mas Razan nyuruh aku datang lagi kesana," aku menjeda ucapanku karena mengigil.Tiba-tiba Daniel melepas jaketnya, dia memakaikannya ke punggungku. Reflek aku menoleh padanya."Pakai saja, nanti kamu sakit!" katanya."Modus lo Daniel!" kata Rinjani yang sekarang sedang mengemudi. Tak ada suara dari mulutnya seperti biasa. Dia diam saja, entah apa yang sedang di pikirkan. Biasanya Daniel banyak bicara, tapi kali ini dia diam saja."Kenapa?" tanyanya saat menoleh ke arahku yang memandangnya.Mungkin dia merasa sedang di tatap olehku yang tak sadar terlalu lama memandangnya dengan berjuta pertanyaan dalam hati."Ti-tidak apa-apa," jawabku gugup juga kedinginan.Tak seharusnya kami berdekatan di saat seperti ini. Tapi apa mau di kata, dia begitu baik padaku. Dan lagi hubungan kami hanya sebagai teman saja. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai
Setelah acara syukuran itu selesai, suasana mulai sepi kembali. Hanya kami sekeluarga, juga Daniel dan Rinjani yang masih mengobrol di ruang tamu sambil menikmati hidangan makanan dari Mamah Rani."Kalian sudah menikah?" tanya Mamah Rani pada Daniel dan Rinjani."Kita ini sepupuan Tante, bukan pasangan suami istri wkwkkwk," jawab Rinjani sambil tertawa."Oo.. sepupuan ya, kirain saya kalian ini suami istri, maaf ya, saya gak tahu," ucapnya."Gak apa-apa Tante, bukan cuma Tante aja kok yang suka berpikir seperti itu, orang-orang juga ngiranya kita pasangan suami istri karena suka kesana-sini bareng," jawab Rinjani.Aku hanya diam saja, seperti Daniel yang hanya diam tak banyak berkata. Aku meliriknya yang kemudian melirikku, pandangan kami beradu, tapi aku segera menyudahinya. Takut dosa, karena dia bukan muhrimku."Amira, Kakak mau bicara sama kamu!" Kak Nita tiba-tiba saja datang.Aku pamit permisi pada mertua dan juga temanku, saat hendak pergi, Mamah Rani mencegahku."Amira, Nita,