Wajah Mas Razan terlihat gugup saat aku tanyai dia. "Eu, enggak, Mas gak terkejut kok," jawabnya kembali mengekpresikan wajahnya seperti biasa."Kapan kamu datang kesini?" tanya Mas Razan."Sudah lama," jawabku singkat."Hallo, sayang, Mamah kamu kemana? Kok kamu sama Tante Amira? Sini biar Om gendong kamu ya," kata Mas Razan pada Farel yang tersenyum melihatnya.Sakit sekali melihat hal itu, hatiku tercabik-cabik merasa menjadi seorang yang bodoh menyembunyikan rasa sakit ini. "Sini biar Mas yang gendong Farel," kata Mas Razan.Aku memberikan Farel padanya lalu berniat pergi. Tapi Mas Razan mencegahku dengan pertanyaannya."Mau kemana?" tanyanya."Ke dapur, bantuin Mamah," jawabku singkat juga."Bikinin Mas kopi hitam, antarkan kesini sekarang, udah lama Mas gak minum kopi buatan kamu," perintahnya yang segera aku anggukkan lalu aku pergi tanpa berkata apapun lagi.Sampai di dapur Mamah Rani masih sibuk membuat kue. Entah kejutan apa yang akan dia berikan untukku."Kamu mau buatkan k
"Mau kemana lo jam segini hujan-hujanan? Pake berdiri di pinggir jalan segala lagi," cerocos Rinjani."Mau ke rumah Mamah Rani, Mas Razan..., Mas Razan nyuruh aku datang lagi kesana," aku menjeda ucapanku karena mengigil.Tiba-tiba Daniel melepas jaketnya, dia memakaikannya ke punggungku. Reflek aku menoleh padanya."Pakai saja, nanti kamu sakit!" katanya."Modus lo Daniel!" kata Rinjani yang sekarang sedang mengemudi. Tak ada suara dari mulutnya seperti biasa. Dia diam saja, entah apa yang sedang di pikirkan. Biasanya Daniel banyak bicara, tapi kali ini dia diam saja."Kenapa?" tanyanya saat menoleh ke arahku yang memandangnya.Mungkin dia merasa sedang di tatap olehku yang tak sadar terlalu lama memandangnya dengan berjuta pertanyaan dalam hati."Ti-tidak apa-apa," jawabku gugup juga kedinginan.Tak seharusnya kami berdekatan di saat seperti ini. Tapi apa mau di kata, dia begitu baik padaku. Dan lagi hubungan kami hanya sebagai teman saja. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai
Setelah acara syukuran itu selesai, suasana mulai sepi kembali. Hanya kami sekeluarga, juga Daniel dan Rinjani yang masih mengobrol di ruang tamu sambil menikmati hidangan makanan dari Mamah Rani."Kalian sudah menikah?" tanya Mamah Rani pada Daniel dan Rinjani."Kita ini sepupuan Tante, bukan pasangan suami istri wkwkkwk," jawab Rinjani sambil tertawa."Oo.. sepupuan ya, kirain saya kalian ini suami istri, maaf ya, saya gak tahu," ucapnya."Gak apa-apa Tante, bukan cuma Tante aja kok yang suka berpikir seperti itu, orang-orang juga ngiranya kita pasangan suami istri karena suka kesana-sini bareng," jawab Rinjani.Aku hanya diam saja, seperti Daniel yang hanya diam tak banyak berkata. Aku meliriknya yang kemudian melirikku, pandangan kami beradu, tapi aku segera menyudahinya. Takut dosa, karena dia bukan muhrimku."Amira, Kakak mau bicara sama kamu!" Kak Nita tiba-tiba saja datang.Aku pamit permisi pada mertua dan juga temanku, saat hendak pergi, Mamah Rani mencegahku."Amira, Nita,
"Syukurlah kalau kamu sudah tahu semuanya Amira, Kakak tidak perlu repot-repot buat pura-pura lagi sekarang!" teriak Kak Nita saat aku berjalan meninggalkan mereka.Tak ku hiraukan teriakannya itu, aku berjalan melewati ruang tamu. Lagi, kini malah Rinjani yang menghentikan langkahku."Amira! Lo mau kemana?" tanya Rinjani bangkit lalu menghampiriku."Rinjani!" ucapku menangis langusng memeluknya eurat."Ada apa Mir? Apa yang terjadi?" Rinjani terdengar panik, sedangkan Daniel hanya menatap kami dengan penuh pertanyaan di wajahnya."Ayok kita pergi dari rumah ini," ucapku lagi setelah melepas pelukkanku."Tapi, bukannya kita mau nginap di si...,""Jangan sok dramatislah Amira, lagian kamu juga udah tahu tentang ini sejak lama kan?" suara Kak Nita kembali terdengar.Dia datang lalu berdiri memberi jarak cukup jauh dengan kami. "Apa maksud Kalak aku dramatis hah?! Kakak merasa bangga sekarang? Apa Kakak merasa puas sekarang sudah menghancurkan rumah tangga adik kandungmu sendiri, di mana
"Tumben lo gak banyak bacot Niel?" tanya Rinjani pada Daniel yang kini hanya diam sambil memainkan nasi menggunakan sendok, dia melirik sekilas ke arah Rinjani lalu kembali memainkan nasi. "Rinjani, aku mau berangkat kerja dulu, maaf aku ngerepotin kamu ya," ucapku lalu bangkit. "Ah, elu, kayak sama siapa aja, lo boleh tinggal di sini sampai kapanpun, jangan sungkan-sungkan, anggap aja ini rumah lo sendiri, oke?" Rinjani tersenyum sambil membentuk jarinya berhuruf membentuk huruf "O"."Kalau gitu, rumah ini bisa aku jual dong, hehe...," kataku bercanda agar suasana tak terasa kaku."Yey...janganlah, ini kan rumah kontrakan, nanti gue yang di marahin ma yang punya," jawab Rinjani.Setelah cukup lama berbincang, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bekerja. Aku juga berniat akan menjenguk Papah Andri yang katanya sedang di rawat di rumah sakit. ***********Setelah sampai di rumah sakit, aku meminta izin ke pada kepala kebersihan untuk menjenguk Papah mertuaku di ruangannya. Untung
"Baik, Mah," ucapku sambil pergi menuju ruanganku setelah mendapat teguran dari ibu mertuaku.Terpaksa aku menuruti keinginannya karea tak mungkin aku menolaknya. Mamah Rani adalah putri tunggal dari Kakek Fatih, pemilik rumah sakit yang baru-baru ini mengganti namanya dari RS.BAKTHI menjadi RS.FATIH. Untuk mengenang kepergian mendiang Ayahnya, Mamah Rani sengaja mengganti nama rumah sakit itu. Dia mempunyai wewenang yang begitu besar atas rumah sakit itu, karena hanya dialah satu-satunya putri pewaris dari Kakek Fatih.Sudah lama aku menunggu taxi datang tapi lagi-lagi selalu saja taxi tak datang saat tengah di butuhkan. Karena tak ingin berlama lagi menunggu, aku segera menaiki bis untuk pulang ke rumah.Beberapa bayangan kejadian semalam bermunculan mengelilingi otakku. Aku sadar sekarang, tak ada gunanya lagi aku menangis walaupun masih selalu ingin begitu. Percuma saja, semuanya memang sudah terjadi, sesuai firasatku waktu itu.Ting!Sebuah pesan muncul di layar Handphoneku. Aku
"Mas kangen banget sama kamu," ucapnya lembut seakan melupakan wajah monsternya yang dia perlihatkan tadi siang padaku."Aku haus Mas, aku mau ambil minum dulu," kataku beralasan karena malas sekali harus berbicara dengannya.Tanganku malah di tarik oleh Mas Razan, lalu dia mendudukkanku di pangkuannya."Jangan bersikap selerti itu, kamu masih istri Mas Amira, dan kamu wajib menuruti permintaan Mas," katanya sambil memandangku."Apa Mas masih menganggap Amira sebagai istri Mas setelah apa yang Mas lakukan itu....," Mas Razan sengaja membungkam mulutku dengan bibirnya. Aku tak bisa berkata apapun lagi, malam ini dia begitu ganas menjamahku. Sebagai seorang perempuan dan masih memiliki ikatan pernikahan dengannya, aku tak bisa menolak permintaan suamiku meski hartiku begitu sakit.Mas Razan melakukan kewajibannya lagi senagai suami ke padaku. Rasanya aneh sekali, karena sudah lama kami tak melakukannya, juga perasaanku yang kini merasa berat hati. Berjuta pertanyaan muncul dalam hati y
"Hai, apa kabar Moy?" sapanya sambil mengulurkan tangan padaku setelah dia duduk di sampingku."Aku baik, jangan panggil aku dengan sebutan itu, gak enak dengar orang," protesku yang malah membuat Rama tertawa."Hahaha..., itu kan sebutan sayang dariku waktu kita masih pacaran dulu," ujarnya sambil terkekeh. "Kamu sudah menikah?" sambungnya.Aku mengangguk mengiyakan tanpa membalasnya dengan ucapan. "Suami kamu mana? Kok kamu sendirian?" tanyanya kepo sekali."Ada di rumah, maaf ya Rama, aku gak bisa lama-lama di sini, gak enak di lihat orang. Ada keperluan mendadak juga," aku bangkit yang segera di cegah olehnya."Tunggu dulu Amira!" panggilnya saat aku hendak melangkah."Iya? Ada apa?" tanyaku menoleh."Tunggu sebentar, kebetulan kam ada di sini, aku mau ngasih undangan buat kamu, tunggu sebentar ya, gak akan lama kok," katanya sambil pergi entah kemana.Beberapa menit kemudian dia kembali sambil membawa sepucuk surat undangan di tangannya. "Ini undangan buat kamu, jangan lupa dat