Share

Bab.5 Berniat Pergi

Aku tak mau melihat hal menyakitkan lagi dari sikap Mas Razan yang menurutku sudah banyak sekali berubah. Kuputuskan untuk pergi saja sekedar untuk menenangkan diri di tempat yang mungkin tak akan diketahui olehnya.

Saat melewati kamar Kak Nita yang pintunya terbuka, aku melirik sekilas ke arah mereka yang tengah sibuk berbincang. Mas Razan tengah memeriksa keadaan Farel, sedangkan Kak Nita duduk diatas ranjangnya.

Apa tidak ada tempat lain selain dikamar? Batinku rasanya geram sekali.

"Assalamu'alaikum,," terdengar ucapan salam cukup lantang dari arah depan.

Sepertinya itu adalah suara Ibu dan Bapak. Aku segera menutup pintu kamar Kak Nita lalu menguncinya agar Ibu dan Bapak tidak mengetahui keberadaan Kak Nita di rumah. Seperti yang dikatakan Kak Nita waktu kemarin, dia tidak ingin sampai Ibu dan Bapak tahu dengan apa yang sudah menimpanya saat ini.

"Wa'alaikumsalam,," aku berjalan cepat mengabaikan teriakan Mas Razan dari dalam.

"Amira, apa kabar Nak, apa kamu sehat?" ucap Bapak saat aku mencium punggung tangannya.

"Alhamdulillah Pak, aku sehat, bagaiamana dengan Bapak dan Ibu? Apa kalian sehat?" tanyaku sesuadah mencium tangan Ibuku yang berekspredi datar.

"Syukurlah kalau kamu sehat, alhamdulillah kami sehat Nak," ucap Bapak sambil tersenyum lalu mengedarkan pandangannya.

"Razan sudah berangkat ke Rumah Sakit ya?" tanya Bapak.

"Eu....eu..dia lagi di kamar tamu Pak, lagi cari sesuatu yang sempat tertinggal di kamar itu," jawabku dengan rasa bersalah yang amat sangat karena sudah berbohong.

"Kamu gak biarin kita duduk? Dari tadi kaki Ibu udah pegel!" ujar Ibu dengan tatapan nyalang padaku.

"Oh, iya. Maaf, bu, Amira sampai lupa, silahkan ibu sama Bapak duduk dulu biar nanti aku panggilkan Mas Razan kesini," ucapku seperti kepada tamu saja.

"Iya, tunggu Amira! Ini ada sedikit oleh-oleh dari kampung buat kamu sama Razan, sengaja Bapak bawa banyak, suami kamu kan suka banget sama makanan ini," ucap Bapak sambil tertawa.

"Iya, Pak, makasih," aku mengambil keresek berisi oleh-oleh itu lalu memanggil Muarni supaya menyimpan oleh-oleh itu ke dapur sambil memintanya untuk mempersiapkan teh hangat untuk Bapak dan Ibu

Ragu hatiku untuk mengetuk pintu yang sedari tadi aku kunci. Ada rasa gengsi juga malu jika harus mengur Mas Razan lebih dulu karena sikapku yang tadi mungkin saja adalah kesalahpahaman saja.

"Mas, ada Bapak sama Ibu di ruang tamu lagi nungguin kamu!" ujarku mengeraskan suara agar Kak Nita mengerti lalu bersembunyi.

Ckrek!

Pintu terbuka setelah aku memutar kuncinya.

Aku melirik ke dalam kamar sudah tidak ada Kak Nita disana. Mungkin dia sudah pergi lewat jendela, pikirku.

"Kenapa kamu kunci pintunya?" tanya Mas Razan, kini dia yang terlihat ngambek.

"Nanti aku jelaskan!" jawabku ketus.

Kami bersamaan berjalan menuju ruang tamu menghampiri Ibu dan Bapak. Untungnya jarak antara Ruang tamu dan kamar Kak Nita cukup jauh, juga terhalang oleh tembok yang membagi ruangan dalam rumahku. Jadi, mereka tidak akan tahu apa yang tadi aku lakukan mengunci pintu kamar secara tiba-tiba.

Kami berbincang penuh kehangatan setelah selama satu bulan lamanya tidak bertemu dikarenakan jarak dari kota Jakarta ke Garut cukup jauh. Kadang kala aku yang datang untuk mengunjungi mereka ke kampung.

Selama berjam-jam berbincang, suara dering Handphone Mas Razan tak hentinya berbunyi membuat Bapak merasa tak enak karena mungkin saja itu dari pihak Rumah Sakit yang menghubungi.

"Kenapa telponnya tidak diangkat, siapa tahu penting?" tanya Bapak.

"Eu..enggak Pak, telponnya tidak terlalu penting kok," jawab Mas Razan sambil tersenyum pada Bapak lalu melirikku yang menatapnya penuh curiga.

"Dari selingkuhan ya?!" celetuk Ibu sambil menumpamg kaki lalu memainkan kuku jarinya yang habis melakukan perawatan.

"Astagfirulloh, jaga bicaramu Ibu!" kata Bapak dengan menajamkan matanya.

Mas Razan melirikku yang tengah salah tungkah dengan ucapan Ibu karena aku merasa malu jika itu benar adanya. Juga aku merasa apa yang diucapkan Ibu itu ada benarnya.

"Maaf ya Nak Razan, Ibumu ini emang suka berlebihan kalau bercanda, kami mau istirahat dulu saja di kamar tamu ya," kata Bapak sambil menggiring Ibu yang terlihat marah padanya.

"Iya, Pak, kamarnya juga sudah aku...." aku berhenti bicara mengingat takut saja Kak Nita lupa membereskan baju Farel beserta perlengkapannya.

"Ya, mungkin sudah Marni bereskan tadi," lanjutku.

"Iya, Bapak kekamar dulu ya, mau istirahat," jawab Bapak sambil pergi.

Berbeda dengan Ibu yang sudah pergi duluan tanpa sepatah katapun.

Sikapnya memang seperti itu sejak dulu. Ibu selalu terlihat tidak suka padaku, entah karena apa, itu semua masih jadi misteri dalam hidupku. Dia selalu bersikap judes dan sinis, apalagi saat aku akan menikah dengan Mas Razan. Sepertinya dia kurang setuju pada hubungan kami.

Entahlah..

Yang terpenting bagiku hanyalah aku tetap menyayanginya walau sekeras apapun dia seakan menolak kasih sayangku.

"Amira..." panggil Mas Razan padaku dengan lembut.

"Apa?" sahutku masih ketus.

"Soal tadi...kamu salah paham sayang, maaf, Mas gak bermaksud buat kamu cemburu, Sabrina memeluk Mas karena dia sedang berduka atas kepergian kedua orangtuanya, Mas gak ada macam-macam sama dia, tadi...,"

"Iya, gak usah diterusin lagi!" potongku karena tak tahan membahas hal itu saat hatiku tengah gundah.

"Kamu gak percaya ya? Oke, kalau gitu Mas telpon Sabrina sekarang juga biar kamu percaya," Mas Razan mengambil Handphonenya yang tadi terus saja berdering.

"Gak usah Mas! Itu membuat aku jadi menyedihkan di mata teman mesra kamu itu!" ucapku sambil pergi meninggalkannya.

Aku berjalan cepat menuju mobil yang terparkir hendak pergi menenangkan diri karena sudah tak tahan dengan perasaan yang kacau. Tapi Mas Razan segera menyusul, mencegah tanganku yang baru saja membuka pintu mobil.

"Kamu mau kemana Amira? Ayok kita selesaikan masalah kita di kamar, jangan kayak anak kecil, dikit-dikit kabur!" ujarnya yang membuatku semakin kesal saja.

Jika bukan sedang diluar rumah, aku sudah membalas perkataannya karena merasa sakit hati dengan apa yang baru dia ucapkan.

Aku berjalan mengekori Mas Razan menuju kamar. Terlihat Murni yang tengah mencuri-curi pandang pada suamiku saat dia tengah mengelap beberapa barang hiasan rumah.

Marni, apa sebenarnya yang sedang terjadi padanya? Sepertinya dia sudah lama memperhatikan suamiku.

Pintu sudah tertutup rapat saat kita sudah ada di dalam kamar. Aku duduk ditepi ranjang berhadapan Mas Razan yang kini duduk di kursi meja riasku.

"Mas tahu kamu pasti marah sama Mas Amira, apa alasannya kamu marah? Apalagi tadi kamu berbicara yang tidak pantas pada Mas. Sabrina bukan teman mesra atau pun pacar Mas, sebenarnya dia adalah teman lama Mas di kampung dulu, kita sudah lama berteman sejak kecil dan baru bisa bertemu kemarin di Rumah Sakit." Jelas Mas Razan sambil memegang tanganku.

Hatiku sedikit lega mendengarnya. Tapi entah kenapa rasa curiga itu selalu muncul dalam hati. Ku pandang lekat-lekat netra indah berwarna coklat miliknya dengan beberapa pertanyaan dalam hati yang sulit untuk kuucapkan padanya.

Apa kamu masih mencintaiku Mas? Benarkah dia hanya sekedar temanmu? Ataukah ada hal lain yang membuatmu berubah? Kenapa kamu begitu dekat sekarang bersama Kak Nita? Apa Marni juga pernah dekat denganmu?

Pertanyaan itu terus saja bermunculan tak hentinya mengelilingi otakku. Begitu banyak pikiran negatif yang kini mengelilingi otakku. Hatiku seakan tetap menepis ucapan Mas Razan barusan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status