Share

2. Awal Pengantin Baru

POV Damar

Rumah Ibu tak begitu jauh dari kontrakanku. Hanya butuh waktu lima menit mengendarai motor, aku sudah sampai di sana.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu bercat putih itu. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu pun terbuka menampilkan wajah wanita yang sudah melahirkanku 28 tahun yang lalu.

"Eh, kamu, Mar. Tumben malam-malam kemari?" Sapa Ibu begitu melihat kehadiranku.

Aku langsung masuk ke rumah, tempat di mana aku dibesarkan dulu.

"Ibu masak apa?" Tanyaku langsung menuju meja makan diikuti Ibu. Aku memang tak pernah sungkan jika bertandang ke rumah Ibu. Karena rumah Ibu adalah rumah kedua bagiku.

"Masak ayam rica-rica kesukaan kamu tuh. Kenapa? Kamu belum makan emangnya?" Selidik Ibu sembari duduk di kursi makan mendampingiku.

Aku menggeleng lalu mengambil piring dan menyendok nasi dengan semangat.

"Istri kamu gak masak? Dasar pemalas! Sejak beranak sepertinya makin malas saja istri kamu itu," sungut Ibu.

Aku hanya terdiam tanpa membantah perkataan Ibu. Karena apa yang Ibu katakan memang benar. Semenjak punya anak Dista benar-benar berubah. Walau pekerjaan rumah tetap ia handle dengan baik, tapi perubahan penampilannya benar-benar membuatku bosan.

Usai makan aku dan Ibu menghabiskan waktu berdua menonton televisi. Suasana rumah benar-benar sepi, karena Ibu memang tinggal sendirian sejak aku dan Dista memutuskan pindah ke kontrakan. Ada rasa kasihan juga saat melihat Ibu yang terlihat kesepian di rumah ini. Andai Dista mau tetap tinggal di sini, pasti rumah ini tak akan sesepi ini.

Sebenarnya Ayahku masih ada. Hanya saja ia sudah sangat lama berpisah dengan Ibu. Sedangkan Mas Danis--kakakku satu-satunya juga tinggal berpisah karena sudah memiliki rumah sendiri.

Dulu awal-awal menikah, Dista dan aku hanya beberapa bulan saja tinggal di rumah ini. Dista selalu mengadu, tak tahan dengan sikap dan ucapan Ibu yang selalu menuntut ia agar cepat-cepat hamil.

"Mas, aku sudah tak tahan lagi tinggal di sini. Ayolah, kita pindah, Mas," rengek Dista kala itu.

"Memangnya kenapa, Sayang? Bukannya kamu senang tinggal dengan Ibu? Bukannya dulu kamu gak masalah saat aku ajak kamu tinggal di rumah Ibu?"

Dista tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia hanya mulai terisak. Entahlah sejak tinggal di rumah Ibu, Dista jadi lebih perasa dan cengeng. Padahal sebelum menikah, Dista adalah seorang wanita yang selalu periang.

"Kok malah nangis sih, Yang? Jangan bikin aku bingung dong."

"Aku capek, Mas, dengar Ibu selalu nyindir-nyindir aku yang gak hamil-hamil. Padahal bukan kemauanku begini. Toh, kita juga sudah berusaha." Dista mulai berucap di sela isak tangisnya.

Aku menghembuskan napas kasar. Sebenarnya bukan hanya pada Dista saja Ibu sering menuntut tentang cucu, tapi padaku juga. Tapi aku berusaha menanggapinya dengan santai, toh pernikahan kami baru berjalan beberapa bulan. Soal perkataan Ibu yang kadang pedas juga aku berusaha untuk tak memasukkan ke dalam hati. Mungkin Ibu hanya terbawa perasaan karena sudah sangat ingin punya cucu dariku.

"Sabar ya, Sayang. Mungkin Ibu begitu karena sudah sangat ingin punya cucu dari kita. Lagi pula jika harus ngontrak, Mas belum ada biayanya." Aku berusaha membujuk Dista kala itu. Tapi ternyata tak berhasil. Dista malah mengeluarkan dompetnya dari dalam lemari dan menunjukkan sejumlah uang padaku.

"Aku punya uang, Mas. Biar pakai uangku saja untuk biaya ngontrak, jika memang itu yang memberatkan Mas." Dista berucap penuh semangat.

Aku hanya mematung melihat uang yang berada di tangan Dista. Sampai sebegitunya Dista ingin pergi dari rumah Ibu, hingga ia merelakan uang tabungan yang ia kumpulkan sejak gadis. Ya, aku tahu uang itu murni uang Dista. Karena sejak menikah dan tinggal di rumah Ibu, uang gajiku selalu Ibu yang mengelola. Hanya jika kami ingin membeli sesuatu barulah aku meminta ke Ibu. Walau kadang disertai omelan darinya, aku tak ambil pusing. Mungkin Ibu tak ingin aku dan Dista boros.

"Simpan saja uang kamu, Yang. Aku tak enak menggunakan uang kamu untuk keperluan kita mengontrak," ucapku beralasan saat itu. Padahal aslinya dalam hati aku memang tak berniat pergi dari rumah Ibu, ada atau pun tidak biayanya. Aku benar-benar berat pergi dari rumah Ibu.

"Lalu aku harus menunggu sampai kapan, Mas? Sampai Mas punya uang? Mustahil terjadi! Karena semua uang Mas, Ibu yang pegang!" Sahut Dista dengan nada tinggi. Tangisnya berhenti berganti dengan emosi yang memuncak.

Aku sampai terkejut mendengar suara tinggi Dista. Sebab selama mengenalnya belum pernah sekali pun ia bersuara keras di hadapanku.

Tanpa mengindahkan raut terkejut di wajahku Dista pergi keluar dari rumah. Kupikir ia hanya pergi karena kesal, ternyata ia malah pulang ke rumah orang tuanya tanpa membawa apapun.

Ibu yang tahu akan hal itu malah semakin memperburuk keadaan dengan memanasi hatiku.

"Biar saja dia pergi, Damar! Sudahlah tak subur, eh, malah jelek-jelekin Ibu di depan kamu."

Aku benar-benar bimbang kala itu. Ibu melarangku menjemput Dista, sedangkan hatiku yang saat itu masih benar-benar cinta dengannya tak rela jika harus terus berjauhan.

Namun pada akhirnya aku memilih mendengar kata hati untuk menjemput Dista. Tapi sayang, Dista tak mau kuajak pulang, kecuali jika aku setuju untuk pindah rumah.

Demi menyelamatkan rumah tangga yang baru aku bina, terpaksa aku menuruti permintaan Dista dan menghadapi kemarahan dari Ibu.

Namun semua itu hanya sekejap, karena lama kelamaan Ibu luluh. Apalagi aku selalu memprioritaskan wanita yang telah melahirkanku itu. Walau pun kemarahan Ibu pada Dista masih tersisa hingga kini, tapi setidaknya tak ada masalah berat yang berlaku di antara keduanya.

Aku mengambil paper bag yang tadi kubawa, lalu mengangsurkannya pada Ibu.

"Ini hadiah ulang tahun dariku, Bu. Semoga Ibu suka ya," ucapku sembari tersenyum manis pada Ibu.

Wajah Ibu yang tadinya tengah serius menonton sinetron kesukaannya langsung berubah sumringah.

"Apa ini, Mar?" Tanya Ibu seraya membuka paper bag tersebut.

Mata tua Ibu langsung berbinar saat melihat hadiah dariku. Aku pun ikut merasa gembira melihat wanita yang kusayangi itu dengan semangat mencoba gamis yang baru kuberikan.

"Bagus banget, Mar. Pasti mahal ya? Makasih banyak lho."

Aku hanya menjawab dengan anggukan sambil tersenyum manis pada Ibu. Padahal Ibu tak perlu sampai berterima kasih. Sudah kewajibanku memberikan hadiah untuk Ibu.

"Ibu kira kamu gak akan ngasih Ibu hadiah lagi jika sudah ngontrak. Tapi ternyata kamu tetap jadi anak Ibu yang berbakti," lanjut Ibu lagi.

"Tak mungkinlah, Bu. Mau bagaimana pun keadaanku, Ibu tetap yang nomor satu," sahutku sambil memeluk sayang Ibu.

Usai menyerahkan hadiah tersebut. Aku langsung pamit pulang pada Ibu, karena hari sudah beranjak makin malam.

Namun, baru saja langkahku akan mencapai pintu keluar, tiba-tiba aku teringat perkataan Dista tentang uangnya yang hampir habis.

"Bu, aku boleh pinjam uang gak? Nanti gajian aku ganti," pintaku pada Ibu yang mengekor di belakang hendak mengantarkanku ke teras.

Mendengar permintaanku Ibu langsung berdecak kesal.

"Baru ngasih hadiah, eh, malah ngutang! Gimana sih kamu, Mar?!" Sungut Ibu langsung berbalik arah kembali ke kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status