Share

Saat Istri Tak Lagi Cantik
Saat Istri Tak Lagi Cantik
Author: Wella Andriana

1. Sambutan Tak Menyenangkan

POV Damar

"Mbak, kalau yang itu harga berapaan ya?" Tanyaku sembari menunjuk satu set gamis syar'i yang terpajang di sebuah manekin.

"Oh, kalau yang itu 550 ribu saja, Mas," jawab karyawan butik tersebut dengan ramah.

Tanpa banyak berpikir aku langsung meminta karyawan tersebut membungkus satu set gamis tadi. Dengan hati riang, aku pun membawa baju tersebut pulang, berharap sang penerima akan bahagia saat kuberi hadiah gamis tersebut.

Kupacu kuda besiku menuju rumah dengan enggan. Dulu rumah adalah tempat yang paling kurindukan saat bekerja, tapi sekarang malah kebalikannya. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung memarkirkan motor. Lalu masih dengan berat hati, aku menuju ke teras rumah.

"Assalamualaikum ...." Aku mengucap salam sembari meneliti setiap sudut teras. Bersih dan kinclong, lumayan lah.

"Wa'alaykumus salam." Pintu pun terbuka menampilkan raut wajah Adista, wanita yang sudah kunikahi selama dua tahun ini.

Kutelisik penampilannya dari atas ke bawah. Masih dengan tampilan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Wajah kusam dengan rambut digulung asal, juga daster yang itu-itu saja. Inilah yang membuat aku enggan dan muak untuk pulang ke rumah.

Jika dulu aku menikahinya karena ia adalah sosok gadis yang cantik juga energik, tapi sekarang setelah menikah malah aku jadi serasa tertipu dengan perubahannya yang seratus delapan puluh derajat itu. Apalagi setelah ia melahirkan anak pertama kami.

"Belum mandi kamu?" Tanyaku dengan raut wajah datar.

"Belum, Mas. Rafis paling susah ditinggal ke kamar mandi. Makanya aku nunggu kamu pulang baru bisa mandi."

Aku hanya bisa memutar bola mata mendengar alasannya. Selalu ia membuat alasan karena anak. Memang serepot apa sih mengurus anak? Sampai mandi saja pun tak sempat.

Dengan hati sedikit sebal, aku masuk ke rumah dan menghenyakkan tubuh di atas sofa. Tak lupa kuletakkan paper bag berisi set gamis tadi disampingku.

Adista yang melihat aku membawa bingkisan langsung mendekatiku dengan sumringah.

"Apa ini, Mas?" Tanyanya sambil mengecek isi dalam paper bag tersebut.

"Itu hadiah buat Ibu. Lusa Ibu ulang tahun," sahutku seraya meraih remote televisi dan menghidupkannya.

Terlihat raut girang dari wajah Adista langsung memudar begitu mendengar jawabanku. Entah apa alasannya. Masa iya dia iri karena aku membelikan hadiah untuk ibuku? Harusnya ia bersyukur punya suami yang perhatian pada orang tua.

Lagi pula untuk apa juga dia iri? Toh selama ini aku lebih banyak memberi jatah uang padanya ketimbang pada Ibu. Kalau hanya soal baju-baju begini, harusnya ia bisa membeli sendiri dengan uang yang sudah kuberikan.

"Malah bengong. Gak ada cemilan dan minuman nih?" Tanyaku pada Adista yang masih mematung di sebelahku.

Lalu tanpa berkata apa-apa, ia pergi ke dapur untuk membuatkan apa yang kuminta.

Tak perlu menunggu lama, secangkir kopi dan sepiring pisang goreng pun terhidang. Ya walaupun sekarang Adista tak cantik-cantik amat, setidaknya masih ada lah nilai plusnya sedikit.

"Mas, aku mau mandi. Titip Rafis sebentar ya?" Pinta Dista saat aku baru akan menyomot pisang goreng.

Aku hanya menjawab dengan deheman tanpa memandangnya sama sekali.

Usai Dista berlalu, aku kembali larut menatap layar televisi yang sedang menayangkan pertandingan piala dunia sembari mulut tetap sibuk mengunyah pisang goreng.

Sangking asyiknya aku menonton sampai-sampai tak sadar jika Rafis sudah bergerak dan mencoba berdiri dengan memegang pinggiran meja. Anakku itu memang sedang aktif-aktifnya berdiri dan berjalan merambat.

Praaang!

Aku terkejut saat melihat kopi juga pisang gorengku sudah berhamburan di lantai. Ternyata Rafis yang sedang mencoba berdiri itu, menarik kain alas meja hingga semua yang ada di atasnya pun terjatuh.

Rafis mulai menangis, mungkin karena terkejut juga. Gegas kuangkat Rafis untuk menjauh dari pecahan piring dan gelas tadi. Setelah posisi Rafis dirasa aman, cepat-cepat kubersihkan bekas kekacauan yang baru saja terjadi.

Walau sedikit menggerutu dalam hati. Tapi tetap kubersihkan juga semuanya, takut serpihan kaca mengenai Rafis dan malah menimbulkan masalah baru.

Dari kamar mandi terdengar Dista sedikit heboh mendengar keributan kami. Sambil mandi ia terus bertanya apa yang terjadi, namun tetap tak kuhiraukan pertanyaannya.

Hanya dalam hitungan detik saja, Dista sudah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih dibalut handuk. Aku benar-benar geleng-geleng kepala melihatnya, mandi apa dia? Masa mandi secepat kilat begitu.

"Kenapa ini, Mas?" Tanya Dista masih dengan nada panik sembari meraih Rafis yang masih terisak ke pelukannya.

"Anak kamu lah bikin ulah. Merusak ketenangan saja!" Ketusku masih tetap sibuk membersihkan tumpahan kopi.

"Astaghfirullah ... Rafis itu anak kecil, Mas. Tau apa dia? Harusnya kamu yang jaga dengan benar," sengit Dista makin membuatku jengkel.

Harusnya aku yang marah di sini, bukan dia. Aku yang capek baru pulang kerja, eh, malah disuruh jaga anak.

Dengan masih mengomel tak jelas Dista membawa anak kami itu ke kamar.

'Hah! Lama-lama aku benar-benar malas pulang ke rumah ini!' Batinku benar-benar kesal.

Untuk mengobati mood nonton bolaku yang sudah hancur, aku memilih pergi mandi saja, sekalian mendinginkan kepala yang panas akibat Dista.

Gegas aku masuk kamar untuk mengambil baju ganti, namun aku kembali dibuat geleng-geleng kepala melihat Dista yang sudah rebahan sambil menyusui Rafis, dengan tampilan yang masih sama seperti sebelumnya. Walau daster sudah berubah, tapi tetap saja penampilannya sama seperti sebelum mandi. Rambut acak-acakan dan muka kusam tanpa polesan apapun.

***

Sampai malam sepertinya Dista masih marah denganku yang lalai menjaga Rafis. Tapi aku tak terlalu ambil peduli. Bahkan tak ada niat untuk membujuknya sama sekali.

"Mas, makan malam sudah siap," ujar Dista dengan nada dingin. Aku yang sedang bermain ponsel langsung tersenyum dalam hati. Walau marah, ia tetap menunaikan kewajibannya sebagai istri ternyata.

Dengan semangat aku langsung menuju meja makan, di mana Dista yang sedang menggendong Rafis itu menunggu. Namun begitu mataku tertuju pada hidangan yang tersaji, aku langsung menatap Dista kembali dengan raut tak suka.

"Apa ini?" Sentakku, membuat Dista sedikit terkejut.

"Apanya yang apa, Mas?" Tanya Dista bingung.

"Lauknya kenapa cuma ini?" Tanyaku lagi-lagi tak terima. Masa aku sudah capek-capek kerja hanya disuguhi tumis kangkung dan orek tempe.

Dista langsung menghela napas kasar, lalu memilih duduk di kursi makan.

"Uang belanja sudah menipis, Mas. Jadi aku harus hemat-hemat. Apalagi gajian masih lama kan," terang Dista dengan nada sendu.

"Sudah menipis? Aku ngasih kamu banyak lho, lebih banyak dari aku ngasih ke Ibu. Masa udah mau abis aja. Kamu bisa atur keuangan gak sih, Ta?" Ucapku berapi-api.

Kesal rasanya, padahal aku selama ini memberi Dista uang dua juta sebulan, jumlah yang lumayan banyak. Tapi ini belum sampai akhir bulan, ia sudah mengeluh uang hampir habis. Benar-benar aku tak habis pikir dengan istriku ini.

Aku pun memilih pergi meninggalkan Dista. Tak ada selera sama sekali untuk mencicipi masakannya itu. Kuraih jaket dan kunci motor lalu memilih pergi menuju tempat ternyamanku sejak dulu, rumah Ibu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status