Share

5. Awal Perubahan Damar

POV Adista

Aku menatap lekat jam dinding yang sedari tadi terus berputar jarumnya. Sedikit gelisah menanti kepulangan Mas Damar. Biasanya jam segini Mas Damar sudah sampai rumah. Aku juga sudah memasakkan makanan kesukaan Mas Damar sesuai permintaannya. Mumpung Mas Damar sudah memberi uang tambahan.

Namun hingga waktu beranjak malam, Mas Damar tak jua kembali. Pesan yang kukirim sejak sore pun tak dibacanya sama sekali. Kemana sebenarnya Mas Damar? Apa ia sedang lembur?

Lamunanku yang sedang berkelana memikirkan Mas Damar langsung buyar saat mendengar notifikasi pesan masuk di ponsel. Buru-buru aku meraih ponsel, berharap Mas Damar lah yang menghubungiku.

Aku kembali lesu saat melihat ternyata bukan Mas Damar yang mengirim pesan tersebut.

Kubuka pesan dari Wina, sahabatku itu. Begitu melihat apa yang dikirim Wina, hatiku langsung terlonjak kaget. Ternyata Wina mengirim sebuah foto yang diambilnya dari sebuah restoran ternama.

[Ta, ini suamimu dan mertuamu ada di sini. Kamu kok gak ikut?]

Tubuhku terasa lunglai saat melihat foto itu lebih jelas. Di situ terlihat Mas Damar bersama Ibunya dan seorang wanita tengah makan bertiga. Wajah Ibu terlihat begitu sumringah. Namun berbanding terbalik dengan Mas Damar yang menampakkan raut wajah masam dan tak suka.

Apa ini? Kenapa raut wajah Mas Damar terlihat kesal di foto ini? Padahal biasanya ia selalu ceria jika bersama Ibunya.

Segera kuhubungi nomor Mas Damar, ingin mendengar penjelasan darinya. Namun berulang kali aku berusaha menghubungi, ia tak juga mengangkatnya.

Kutatap makanan yang tersaji di meja makan. Air mata menetes tanpa terasa sebab menahan sesak di dada. Aku sudah capek-capek masak, sembari menyambi mengurus Rafis, tapi malah Mas Damar asyik makan di luar dengan Ibunya dan wanita lain.

Aku memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan sekaligus mendinginkan kepala. Kesempatan, mumpung Rafis sudah tidur waktunya aku mengurus diri supaya Mas Damar tak lagi menatapku dengan tatapan risih.

Usai mandi, aku memilih memejamkan mata setelah lelah beraktivitas seharian. Namun sekeras apapun aku berusaha untuk tidur, pikiran ini malah berkelana kembali pada Mas Damar.

Terdengar deru motor Mas Damar masuk ke halaman. Aku sama sekali tak berniat untuk membukakannya pintu. Biar dia rasakan, bagaimana rasanya hatiku kecewa akibat ulahnya.

Terdengar pintu terbuka dari luar. Lalu lelaki yang sudah menikahiku itu pun masuk ke dalam.

"Itaa ...." Terdengar lagi panggilan lelaki itu. Namun aku memilih tak menjawab.

"Ck! Suami pulang bukannya disambut, malah tidur," ketus Mas Damar di ambang pintu kamar.

Aku memilih mengabaikannya walau sebenarnya, aku mendengar semua perkataannya.

Baru dua tahun berjalan rumah tangga kami. Tapi makin lama aku makin merasa sikap Mas Damar benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Padahal dulu ia sangat mencintaiku, dan sering memuji-mujiku. Tapi sekarang ....

Pikiranku berkelana di awal perubahan Mas Damar. Kala itu kehamilanku mulai menginjak trimester ketiga, di mana berat badanku naik begitu drastis. Mas Damar yang dulu sangat romantis berubah menjadi begitu cuek. Komunikasi pun menjadi amat sangat jarang.

Saat aku berusaha mengajaknya berkomunikasi, maka hanya jawaban sepatah dua kata saja yang kudapat. Bahkan ia tak lagi perhatian dengan calon anak kami.

Yang lebih menyakitkan lagi, di saat kehamilanku masuk di bulan ke sembilan, Mas Damar sama sekali tak lagi mau menyentuhku. Bahkan tiap aku mendekatinya untuk bermanja, ia selalu menghindar.

Emosiku memuncak saat kontraksi palsu datang. Aku datang ke bidan mengeluhkan kontraksi palsu yang kurasakan, namun begitu bidan memeriksa ia berkata bahwa kepala bayi masih jauh. Ia menganjurkan agar aku melakukan induksi alami. Dan induksi alami yang paling bagus, ya dengan berhubungan suami istri.

Bukannya mendengar saran dari bidan, Mas Damar memilih acuh dan malah menyuruhku untuk memperbanyak makan nanas. Bukan kontraksi yang kudapat, malah lambung yang mengulah akibat terlalu banyak mengonsumsi nanas.

Hatiku benar-benar perih kala itu. Emosiku yang tak stabil karena hormon kehamilan jadi meluap. Aku mengancam akan pergi dari rumah jika Mas Damar tak juga menyentuhku. Sungguh aku merasa harga diriku berada di titik terendah kala itu.

Tapi ancamanku berhasil. Walau dengan enggan, Mas Damar menyentuhku malam itu. Dan ajaibnya esok siangnya tanda-tanda kelahiran dan kontraksi asli muncul.

Dan sikap Mas Damar itu tetap bertahan sampai sekarang. Hanya saja setiap aku mengancam pulang ke rumah orang tua, atau mengancam pisah Mas Damar jadi ketakutan dan langsung memohon maaf padaku. Itulah yang membuat aku masih berusaha mempertahankan rumah tangga kami.

***

Pagi tiba. Hari ini Mas Damar libur. Aku masih mendiamkan Mas Damar karena masih kecewa dengan sikapnya kemarin.

Dia yang melihatku tak banyak bicara pagi ini pun merasa heran. Saat aku tengah memasak untuk sarapan, ia mendatangiku.

"Kamu kalau aku belum pulang itu lain kali jangan tidur duluan. Istri macam apa begitu? Suami pulang bukannya menyambut malah enak-enakan tidur."

Aku yang sedang memegang spatula, langsung membantingnya kasar di atas kuali. Tadinya kupikir ia mendekatiku karena merasa bersalah dan ingin minta maaf, tapi ternyata ia malah membalikkan kesalahan padaku.

Aku mengambil napas perlahan berusaha menahan emosi agar tak meledak-ledak, lalu berbalik badan untuk membalas perkataan lelaki yang bergelar suami ini. Hanya gelarnya saja suami, tapi makin lama lagaknya sudah seperti majikan dan aku babunya.

"Untuk apa aku menunggu orang yang sama sekali tak memikirkan aku, Mas? Hanya buang-buang waktu dan tenaga!" Balasku tak kalah ketus.

Mas Damar membelalakkan mata mendengar jawabanku. Mungkin ia pikir aku akan menjawab dengan takzim sebagaimana istri yang patuh pada suami. Oh, tidak bisa! Aku tahu di sini dia yang salah, jadi ia tak punya hak untuk marah padaku.

"Kamu kok gitu ngomongnya? Jadi menurut kamu menunggu aku pulang kerja itu membuang waktu dan tenaga kamu?"

"Kamu juga begitu kan? Menghabiskan masa bersamaku, bagimu membuang waktu dan tenaga kan?"

"Jangan asal ngomong kamu, Ita. Kalau aku merasa begitu, tak akan mau aku kembali ke sini. Tapi buktinya aku tetap mau kembali ke sini untuk bersama kalian kan?"

Aku memilih mengacuhkan Mas Damar dan kembali sibuk dengan masakan.

"Lain kali jangan begitu lagi."

"Terserah aku," jawabku acuh.

"Apa?!"

"Terserah aku mau gimana. Toh, kamu juga gak pernah memikirkan bagaimana perasaan aku!"

"Kapan aku tak memikirkan perasaanmu, Ta? Aku berusaha sebaik mungkin menafkahi kalian," balas Mas Damar tak mau kalah.

Lagi-lagi ia mengungkit nafkah. Apa dia kira, seorang istri itu hanya butuh nafkah lahir saja? Nafkah batin seperti kebahagiaan, kasih sayang, dan perhatian, itu tak diperlukan?

"Ini bukan masalah nafkah, Mas! Ini masalah sikap kamu yang menganggapku entah seperti apa di rumah ini!" Aku berucap dengan nada tinggi, emosiku tak lagi bisa kutahan.

"Sikap yang mana? Sikapku yang selalu mengacuhkanmu?"

Aku membelalakkan mata mendengar ucapan lelaki di hadapanku. Ternyata ia sadar bahwa selama ini mengacuhkanku, tapi kenapa?

"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status