POV Adista
Aku menatap lekat jam dinding yang sedari tadi terus berputar jarumnya. Sedikit gelisah menanti kepulangan Mas Damar. Biasanya jam segini Mas Damar sudah sampai rumah. Aku juga sudah memasakkan makanan kesukaan Mas Damar sesuai permintaannya. Mumpung Mas Damar sudah memberi uang tambahan.Namun hingga waktu beranjak malam, Mas Damar tak jua kembali. Pesan yang kukirim sejak sore pun tak dibacanya sama sekali. Kemana sebenarnya Mas Damar? Apa ia sedang lembur?Lamunanku yang sedang berkelana memikirkan Mas Damar langsung buyar saat mendengar notifikasi pesan masuk di ponsel. Buru-buru aku meraih ponsel, berharap Mas Damar lah yang menghubungiku.Aku kembali lesu saat melihat ternyata bukan Mas Damar yang mengirim pesan tersebut.Kubuka pesan dari Wina, sahabatku itu. Begitu melihat apa yang dikirim Wina, hatiku langsung terlonjak kaget. Ternyata Wina mengirim sebuah foto yang diambilnya dari sebuah restoran ternama.[Ta, ini suamimu dan mertuamu ada di sini. Kamu kok gak ikut?]Tubuhku terasa lunglai saat melihat foto itu lebih jelas. Di situ terlihat Mas Damar bersama Ibunya dan seorang wanita tengah makan bertiga. Wajah Ibu terlihat begitu sumringah. Namun berbanding terbalik dengan Mas Damar yang menampakkan raut wajah masam dan tak suka.Apa ini? Kenapa raut wajah Mas Damar terlihat kesal di foto ini? Padahal biasanya ia selalu ceria jika bersama Ibunya.Segera kuhubungi nomor Mas Damar, ingin mendengar penjelasan darinya. Namun berulang kali aku berusaha menghubungi, ia tak juga mengangkatnya.Kutatap makanan yang tersaji di meja makan. Air mata menetes tanpa terasa sebab menahan sesak di dada. Aku sudah capek-capek masak, sembari menyambi mengurus Rafis, tapi malah Mas Damar asyik makan di luar dengan Ibunya dan wanita lain.Aku memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan sekaligus mendinginkan kepala. Kesempatan, mumpung Rafis sudah tidur waktunya aku mengurus diri supaya Mas Damar tak lagi menatapku dengan tatapan risih.Usai mandi, aku memilih memejamkan mata setelah lelah beraktivitas seharian. Namun sekeras apapun aku berusaha untuk tidur, pikiran ini malah berkelana kembali pada Mas Damar.Terdengar deru motor Mas Damar masuk ke halaman. Aku sama sekali tak berniat untuk membukakannya pintu. Biar dia rasakan, bagaimana rasanya hatiku kecewa akibat ulahnya.Terdengar pintu terbuka dari luar. Lalu lelaki yang sudah menikahiku itu pun masuk ke dalam."Itaa ...." Terdengar lagi panggilan lelaki itu. Namun aku memilih tak menjawab."Ck! Suami pulang bukannya disambut, malah tidur," ketus Mas Damar di ambang pintu kamar.Aku memilih mengabaikannya walau sebenarnya, aku mendengar semua perkataannya.Baru dua tahun berjalan rumah tangga kami. Tapi makin lama aku makin merasa sikap Mas Damar benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Padahal dulu ia sangat mencintaiku, dan sering memuji-mujiku. Tapi sekarang ....Pikiranku berkelana di awal perubahan Mas Damar. Kala itu kehamilanku mulai menginjak trimester ketiga, di mana berat badanku naik begitu drastis. Mas Damar yang dulu sangat romantis berubah menjadi begitu cuek. Komunikasi pun menjadi amat sangat jarang.Saat aku berusaha mengajaknya berkomunikasi, maka hanya jawaban sepatah dua kata saja yang kudapat. Bahkan ia tak lagi perhatian dengan calon anak kami.Yang lebih menyakitkan lagi, di saat kehamilanku masuk di bulan ke sembilan, Mas Damar sama sekali tak lagi mau menyentuhku. Bahkan tiap aku mendekatinya untuk bermanja, ia selalu menghindar.Emosiku memuncak saat kontraksi palsu datang. Aku datang ke bidan mengeluhkan kontraksi palsu yang kurasakan, namun begitu bidan memeriksa ia berkata bahwa kepala bayi masih jauh. Ia menganjurkan agar aku melakukan induksi alami. Dan induksi alami yang paling bagus, ya dengan berhubungan suami istri.Bukannya mendengar saran dari bidan, Mas Damar memilih acuh dan malah menyuruhku untuk memperbanyak makan nanas. Bukan kontraksi yang kudapat, malah lambung yang mengulah akibat terlalu banyak mengonsumsi nanas.Hatiku benar-benar perih kala itu. Emosiku yang tak stabil karena hormon kehamilan jadi meluap. Aku mengancam akan pergi dari rumah jika Mas Damar tak juga menyentuhku. Sungguh aku merasa harga diriku berada di titik terendah kala itu.Tapi ancamanku berhasil. Walau dengan enggan, Mas Damar menyentuhku malam itu. Dan ajaibnya esok siangnya tanda-tanda kelahiran dan kontraksi asli muncul.Dan sikap Mas Damar itu tetap bertahan sampai sekarang. Hanya saja setiap aku mengancam pulang ke rumah orang tua, atau mengancam pisah Mas Damar jadi ketakutan dan langsung memohon maaf padaku. Itulah yang membuat aku masih berusaha mempertahankan rumah tangga kami.***Pagi tiba. Hari ini Mas Damar libur. Aku masih mendiamkan Mas Damar karena masih kecewa dengan sikapnya kemarin.Dia yang melihatku tak banyak bicara pagi ini pun merasa heran. Saat aku tengah memasak untuk sarapan, ia mendatangiku."Kamu kalau aku belum pulang itu lain kali jangan tidur duluan. Istri macam apa begitu? Suami pulang bukannya menyambut malah enak-enakan tidur."Aku yang sedang memegang spatula, langsung membantingnya kasar di atas kuali. Tadinya kupikir ia mendekatiku karena merasa bersalah dan ingin minta maaf, tapi ternyata ia malah membalikkan kesalahan padaku.Aku mengambil napas perlahan berusaha menahan emosi agar tak meledak-ledak, lalu berbalik badan untuk membalas perkataan lelaki yang bergelar suami ini. Hanya gelarnya saja suami, tapi makin lama lagaknya sudah seperti majikan dan aku babunya."Untuk apa aku menunggu orang yang sama sekali tak memikirkan aku, Mas? Hanya buang-buang waktu dan tenaga!" Balasku tak kalah ketus.Mas Damar membelalakkan mata mendengar jawabanku. Mungkin ia pikir aku akan menjawab dengan takzim sebagaimana istri yang patuh pada suami. Oh, tidak bisa! Aku tahu di sini dia yang salah, jadi ia tak punya hak untuk marah padaku."Kamu kok gitu ngomongnya? Jadi menurut kamu menunggu aku pulang kerja itu membuang waktu dan tenaga kamu?""Kamu juga begitu kan? Menghabiskan masa bersamaku, bagimu membuang waktu dan tenaga kan?""Jangan asal ngomong kamu, Ita. Kalau aku merasa begitu, tak akan mau aku kembali ke sini. Tapi buktinya aku tetap mau kembali ke sini untuk bersama kalian kan?"Aku memilih mengacuhkan Mas Damar dan kembali sibuk dengan masakan."Lain kali jangan begitu lagi.""Terserah aku," jawabku acuh."Apa?!""Terserah aku mau gimana. Toh, kamu juga gak pernah memikirkan bagaimana perasaan aku!""Kapan aku tak memikirkan perasaanmu, Ta? Aku berusaha sebaik mungkin menafkahi kalian," balas Mas Damar tak mau kalah.Lagi-lagi ia mengungkit nafkah. Apa dia kira, seorang istri itu hanya butuh nafkah lahir saja? Nafkah batin seperti kebahagiaan, kasih sayang, dan perhatian, itu tak diperlukan?"Ini bukan masalah nafkah, Mas! Ini masalah sikap kamu yang menganggapku entah seperti apa di rumah ini!" Aku berucap dengan nada tinggi, emosiku tak lagi bisa kutahan."Sikap yang mana? Sikapku yang selalu mengacuhkanmu?"Aku membelalakkan mata mendengar ucapan lelaki di hadapanku. Ternyata ia sadar bahwa selama ini mengacuhkanku, tapi kenapa?"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!""Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku."Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok."Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit."Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!" Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit."Selalu itu saja al
"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih."Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal. Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit. "Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.
"Maass!"Aku terkejut mendengar panggilan keras Dista. Bahkan ponsel yang sedang kugunakan untuk bermain game online pun hampir terjatuh sangking terkejutnya."Kenapa teriak-teriak, sih?" Ketusku menatap Dista tak suka. Apalagi setelah melihat kembali ke ponsel, ternyata game yang kumainkan jadi kalah, akibat fokusku beralih ke Dista."Kamu gimana sih, Rafis nangis dibiarkan saja," sentak Dista dengan nada tinggi. Membuat perhatian para tamu Ibu beralih pada kami."Aku gak dengar.""Astaga, Mas. Aku yang lagi di dapur aja dengar jelas. Kamu yang posisinya dekat kenapa malah gak dengar?" Protes Dista dengan wajah yang benar-benar terlihat kesal.Ingin saja kujawab ucapannya, tapi kalau aku bilang, aku tak dengar karena sibuk bermain ponsel, sudah pasti Dista akan mengamuk lebih parah."Lihat ini! Baru beberapa hari yang lalu, Rafis jatuh karena kamu gak jaga dengan benar. Sekarang malah benjol kepalanya karena jatuh lagi,
"Mas, apa kita tak bisa dekat seperti dulu lagi?" Aku refleks mengerem motor mendadak mendengar perkataan Rasti barusan."Maksudmu apa berkata begitu, Ras?" Aku bertanya dengan nada tinggi sembari menoleh ke arah Rasti.Rasti sedikit gugup menerima tatapan tajam dariku."Tolong jangan melewati batas! Aku mengantarkanmu pulang semata-mata karena Ibu. Jadi, tolong jangan berucap omong kosong seperti itu!" Tukasku lalu kembali melajukan motor.Dapat kulihat dari spion motor, Rasti hanya menunduk sedih mendengar ucapanku. Namun, sama sekali tak ada rasa iba di hati ini untuknya.Sebenarnya Rasti cantik, lebih cantik dari Dista saat ini. Namun bila mengingat luka yang pernah ia torehkan, sedikit pun aku tak terpesona dengan kecantikannya.Kami melanjutkan perjalanan hanya dengan saling diam. Syukurlah Rasti tak mengoceh yang tidak-tidak lagi. Mungkin ia takut setelah tadi kubentak.Tak berapa lama, motor yang kulajukan pun sampai di depan rumah Rasti
Part 10Sudah berhari-hari Dista tak pulang ke rumah. Akhirnya aku tahu bahwa ia berada di rumah orang tuanya, sewaktu mencoba menghubungi adiknya. Awal mengetahui itu jelas aku geram, karena ia pergi tanpa izinku. Aku sama sekali tak ada niat untuk menjemputnya. Toh, dia pergi sendiri? Untuk apa aku yang menjemput.Tapi setelah lama sendiri begini, aku malah merasakan kesepian tanpa kehadiran dirinya."Woi! Seharian bengong mulu Lu!" Aku terjengit kaget saat Hardi menepuk punggungku."Si*alan Lu, Di. Bikin Gue terkejut aja," sungutku lalu kembali fokus melanjutkan makan siang yang sedari tadi kunikmati tanpa minat."Elaaah ... Pak Manager gitu doang terkejut." Hardi terkekeh lalu ikut duduk di hadapanku."Kenapa muka Lu kusut begitu? Ada masalah? Atau jabatan baru tak menyenangkan?" Selidik Hardi seraya menelisik raut wajahku."Lagi kesel aku, Di.""Sama siapa?" Tanya Hardi sembari menyuap makanannya.
Aku sampai di pekarangan rumah orang tua Dista saat hari sudah benar-benar beranjak sore. Rumah orang tua Dista terletak di kota sebelah, hanya butuh perjalanan sekitar empat puluh lima menit saja jika mengendarai motor.Terlihat rumah dalam keadaan tertutup rapat, tak terdengar pergerakan pula dari dalam. Jangan-jangan mereka sedang tak ada di rumah.Aku turun dari motor dan menuju teras rumah besar itu. Ya, sebenarnya orang tua Dista adalah orang yang berada, itu sebabnya dulu Ibu sangat menyetujui pernikahan kami. Tapi itu dulu, sekarang malah Ibu melihat Dista bak menantu yang tak berguna.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum ...." Dengan harap-harap cemas aku mengetuk pintu tersebut.Tak berapa lama terdengar suara sahutan dan langkah kaki dari dalam rumah. Pintu pun terbuka. Dan Dista lah orang yang membukakan pintu itu. Terlihat raut wajah Dista sedingin es saat menatapku. Membuat aku jadi kikuk dan salah tingkah, apalagi ia sama sekali tak ada mengucapkan apapun."Ita ... Boleh a
Sejak kehadiran Bella di dunia mayaku, aku tak lagi kesepian walaupun Dista tak ada di sampingku. Walau harus keluar uang hanya untuk video call dengannya, aku tak masalah. Yang terpenting, aku benar-benar bahagia.Masalah pekerjaan rumah dan cucian sekarang juga aku tak perlu risau. Karena Ibu sudah mencarikan orang yang mau dibayar murah untuk mengerjakan pekerjaan rumahku. Bukan aku pelit. Tapi jika bisa dapat yang lebih murah, kenapa tidak? Lagi pula sejak aku menjabat sebagai Manager, mau tak mau pelan-pelan aku harus merubah penampilanku.Masa iya seorang manager terus-terusan pakai motor. Apa kata dunia? Sebab itu sejak mendapat gaji pertama selama jadi manager, aku mulai DP mobil. Walau bukan mobil yang mewah-mewah, setidaknya sudah bisa mengendarai mobil.Tentang Dista, aku tak mau lagi ambil pusing dan membujuknya. Paling setelah melihat aku mapan ia akan mengemis-ngemis maaf dariku. Lagi pula sekarang aku tak butuh dia lagi, karena ada
Mendapat sambutan tak menyenangkan dari Ibu, Dista langsung menatapku tak suka.Segera kutarik tangan Ibu menjauh dari Dista. Sedangkan Dista dengan tak peduli melenggang masuk ke rumah."Apa-apaan sih kamu, Damar! Tarik-tarik Ibu," gerutu Ibu menyentak tanganku kasar."Bu, aku minta tolong sekali. Tolong jangan kasar-kasar lagi sama Dista. Aku cuma gak mau Ibu jadi bahan gunjingan tetangga lagi." Aku berkata pada Ibu dengan penuh permohonan."Astaga, Damar ... Jadi, karena itu kamu jemput dia?""Iya, Bu. Aku cuma gak mau Ibu sedih karena jadi bahan gosip," jawabku tanpa daya."Damar, Damar ... Kenapa sih, kamu gak pilih keputusan Ibu? Asal kamu tahu, Ibu lebih bahagia jika kamu sama Rasti."Aku benar-benar nelangsa mendengar pernyataan Ibu. Ya, Ibu bahagia jika Rasti yang jadi menantunya, tapi bagaimana dengan aku? Apa aku harus mengorbankan perasaanku sendiri demi Ibu."Ah, sudahlah! Kamu memang gak ngerti Ibu