Share

7. Bibit Pelakor

"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih.

"Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"

Mas Damar langsung berdecak kesal.

"Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal.

Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit.

"Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?"

"Boro-boro, Bu."

Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas.

"Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.

Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.

"Maksud kamu apa, Ta?" Tanyanya. Terlihat dari ekor mataku, Ibu juga Mbak Diana sedang menyimak perseteruan kami.

"Kamu kira aku gak tahu kamu kemarin kemana hingga pulang sampai larut, Mas?" Cecarku lagi.

Mas Damar langsung membulatkan mata tak percaya. Ia tak menyangka aku tahu perihal ia yang kemarin pergi makan-makan di luar dengan Ibunya dan wanita lain.

"Sok tahu kamu! Memangnya aku kemana semalam?" Raut wajah Mas Damar kembali berubah, terlihat pura-pura kembali santai.

Aku yang sudah kesal, langsung mengeluarkan ponsel lalu membuka galeri. Kutunjukkan tepat di hadapan wajah Mas Damar foto mereka bertiga.

"Ka--kamu dapat dari mana ini, Ta?" Mas Damar terbata bertanya. Jelas ia terlihat gugup.

Namun, belum sempat aku menjawab pertanyaan Mas Damar. Ibu sudah terlebih dulu menyahut dengan pedasnya.

"Ya! Damar kemarin pergi sama Ibu. Kenapa? Kamu iri? Sama mertua sendiri pun kami iri? Menantu macam apa kamu?!"

Aku langsung membalikkan badan menghadap Ibu, begitu mendengar ucapan pedas dari mulutnya.

"Bukan masalah iri, Bu. Ini masalah Mas Damar gak menghargai aku. Aku sudah capek-capek masak makanan kesukaannya, ia malah tak mengabariku dan asyik makan di luar. Kalau pun aku harus cemburu atau iri, itu bukan pada Ibu. Tapi pada wanita ini!" Tegasku sambil menunjuk foto wanita yang terlihat sedang bercanda dengan Ibu.

Ibu terperangah menatap aku yang berani membantahnya. Namun, detik selanjutnya ia berdecak kesal.

"Kamu datang-datang ke sini kenapa malah membahas masalah rumah tanggamu, sih? Merusak hari bahagia Ibu saja!" Ketus Ibu.

"Sudah, simpan dulu omelanmu itu! Bantu cuci piring itu! Jadilah menantu yang sedikit saja berguna!" Lanjut Ibu lagi, lalu beralih kembali pada pekerjaannya yang hampir rampung.

Aku hanya bisa mengelus dada menahan kesal. Kalau tak ingat ia adalah orang yang sudah melahirkan suamiku, aku sudah mengajaknya adu jotos sejak tadi.

Aku beralih memberikan Rafis pada Mas Damar, agar aku lebih leluasa membantu Ibu. Aku masih memasang wajah dingin di hadapan Mas Damar. Biar ia tahu, aku juga bisa marah.

Aku mulai membersihkan piring-piring kotor dan peralatan bekas memasak yang sudah menumpuk di atas wastafel. Baru selesai mencuci dua piring, tiba-tiba terdengar suara salam dari luar.

Ibu yang sepertinya sudah tanda dengan suara itu, langsung bangkit dari duduknya dan menyambut tamu tersebut dengan sumringah.

"Aduuuh, si Cantik sudah datang. Masuk, Ras!" Terdengar suara Ibu yang sedang menyambut tamu itu sampai dapur.

Aku yang penasaran ingin sekali melongok ke depan. Namun, segera aku urungkan, takut Ibu malah mengata-ngataiku di depan orang lagi. Bisa jatuh harga diriku.

Selang beberapa menit berikutnya, serombongan ibu-ibu yang kutebak sebagai anggota arisan Ibu juga muncul.

Ibu begitu antusias menyambut teman-temannya.

"Ayo, masuk, Jeng! Langsung dicicipi hidangannya. Enak-enak lho ini. Menantu saya yang bantuin masak." Terdengar lagi Ibu menawarkan makanan sembari memuji-muji Mbak Diana.

Kesal? Sudah pasti. Tapi memang salahku yang datang terlalu siang. Dan Mas Damar juga turut andil dalam kesalahanku kali ini.

Cepat-cepat kurampungkan tugasku mencuci piring, karena ingin ikut bergabung di depan bersama yang lainnya juga.

Setelah cucian piring semua beres, aku langsung menuju ke ruang tamu. Namun, langkahku tertahan saat melihat sosok wanita yang ada di foto tadi malam, kini sudah bergabung di sana.

'Jadi, wanita ini yang tadi dipuji oleh Ibu?' batinku lesu melihat keakraban mereka.

Kulanjutkan langkah kembali, ingin menuju ke ruang tamu. Tapi, saat Ibu menatap ke arahku, ia langsung bangkit dan pamit pada teman-temannya lalu menghampiriku.

Dengan sedikit kasar, ia menarik tanganku kembali ke dapur.

"Mau kemana kamu?" Tanya Ibu begitu kami sudah di dapur.

"Ya aku ingin ke depan, Bu. Ingin ikut mendampingi Ibu dalam acara ini."

"Tak perlu! Kamu cukup di sini saja, bantu-bantu Bi Lasmi. Awas saja kalau kamu berani-berani keluar dari dapur!" Ancam Ibu dengan begitu judes.

Aku hanya bisa menghela napas pasrah menatap punggung Ibu yang keluar dari dapur. Kalau tak ingat ini adalah hari bahagianya, tentu aku sudah berkelakuan sesuka hatiku.

Aku memilih menuruti perintah Ibu untuk tetap berada di dapur membantu Bi Lasmi. Cucian piring pun mulai berdatangan setelah mereka selesai makan-makan.

Dengan cekatan aku kembali mencuci piring-piring tersebut. Terlihat Bi Lasmi menatapku iba. Mungkin ia kasihan melihat menantu yang tak diinginkan sepertiku ini.

"Sudah, Nduk. Biar Bibi saja," pinta Bi Lasmi sembari menyentuh bahuku lembut.

Aku langsung tersenyum menatap wanita itu.

"Tak apa, Bi. Saya saja. Lagian Bibi sudah capek kan dari pagi sudah bantu-bantu Ibu," ujarku.

Bi Lasmi hanya terdiam menatapku.

"Bi, boleh aku tanya?" Melihat Bu Lasmi yang terdiam, aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tanya apa, Nduk?" Tanya Bi Lasmi balik.

"Bibi kan sudah lama kenal keluarga Mas Damar. Apa Bibi kenal dengan wanita muda yang tadi datang pertama kali?"

Bi Lasmi sedikit mengerutkan keningnya.

"Non Rasti maksud kamu, Nduk?"

"Oh, jadi namanya Rasti ...," gumamku setelah  mendengar jawaban Bi Lasmi.

"Memangnya kamu gak kenal dia, Nduk?"

Aku menggeleng sambil menatap Bi Lasmi penuh tanya.

"Memang dia siapanya Ibu, Bi?"

Terlihat raut wajah Bi Lasmi sedikit ragu-ragu saat ingin menjawab pertanyaanku.

"Bi ...." Aku sedikit menyentuh lengan wanita yang berada di hadapanku itu.

"Non Rasti itu mantan tunangannya Damar, Nduk."

Aku langsung membelalakkan mata mendengar jawaban Bi Lasmi. Jadi ia mantan Mas Damar? Kenapa Ibu malah terlihat sangat akrab dengannya?

Aku langsung mencium bau-bau tak beres dari kedekatan Ibu dan Rasti selama ini. Apa jangan-jangan Ibu masih mengharapkan Rasti jadi menantunya?

"Tapi kamu tak perlu risau, Nduk. Setahu Bibi, Rasti itu sudah menikah dengan seorang lelaki kaya raya. Itu juga sebabnya ia meninggalkan Damar."

Ada kelegaan sedikit di hati saat mendengar penuturan Bi Lasmi barusan.

Masih asyik membahas Rasti, tiba-tiba terdengar tangis Rafis dari depan rumah.

Awalnya berusaha kuabaikan, karena di sana ada Ayahnya dan Neneknya juga keluarga yang lain. Lagi pula aku tak diperkenankan Ibu untuk keluar dari dapur.

Namun, makin lama tangis Rafis makin menjadi seperti tak ada yang menolong. Aku yang sudah tak tahan lagi langsung menuju ke depan untuk melihat yang terjadi.

"Maaas! Rafis kenapa?"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nur Hikma
malas deh bacanya pakai koin terus
goodnovel comment avatar
Nina Nurmalatifah
ujungnya suruh beli koin ... udah penasaran kelanjutannya
goodnovel comment avatar
Siti Masitoh
aduh terputus lagi nih ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status