Share

4. Kembalinya Sang Mantan

POV Damar

Aku berjalan dengan semangat memasuki gedung kantor tempatku bekerja, sambil menyapa beberapa teman dan staff lainnya dengan ramah. Rasanya saat-saat bekerja begini adalah saat yang paling menyenangkan, karena bisa sekalian merefresh mata melihat wanita-wanita cantik nan bahenol. Ah, berbeda jauh dengan pemandangan yang ada di rumah.

Tak berapa lama, Hardi--sobat kentalku menghampiri dengan raut sumringah.

"Eh, Bro ... Udah dengar kabar belum?" Tanyanya begitu berada di sampingku.

"Kabar? Kabar apa, Di?"

"Barusan Pak Jaya ngasih pengumuman mendadak," ujarnya antusias.

"Pengumuman apa?"

"Nanti akan diadakan rapat mendadak. Ada desas-desus katanya soal kenaikan jabatan."

Mendengar penjelasan Hardi aku langsung semangat. Jelas, setiap orang di kantor ini pasti berharap dapat jabatan yang lebih baik. Apalagi aku. Selama ini aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini sebagai supervisor. Jadi wajar saja kalau aku pun ikut berharap bisa naik jabatan juga.

Aku menuju ke ruanganku dengan senyum mengembang percaya diri. Begitu sampai di ruangan, terlihat para staff juga sedang kasak-kusuk heboh. Ah, tak sabar rasanya aku menunggu waktu berlalu.

Tak berapa lama, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kami diminta untuk berkumpul di ruangan rapat. Setelah semua berkumpul, Pak Jaya sebagai direktur utama pun masuk. Membuat jantungku makin berdetak-detak tak karuan, seperti orang sedang jatuh cinta rasanya.

Pak Jaya pun membuka rapat, beliau menyampaikan bahwa ia akan mengubah struktural perusahaan. Karena setelah evaluasi beberapa lama ia mulai menilai kinerja para staffnya.

Tanpa membuang-buang waktu Pak Jaya mulai membacakan nama-nama yang akan naik jabatan. Aku menunggu dengan sedikit harap-harap cemas saat Pak Jaya membacakan nama-nama yang diangkat pada posisi Manager. Hingga saat Pak Jaya membacakan namaku sebagai Manager pemasaran yang baru, aku langsung ingin meloncat rasanya sangking bahagianya.

Ah, aku benar-benar beruntung rasanya. Akhirnya usahaku selama ini membuahkan hasil juga.

Saat seperti ini, aku langsung terbayang wajah Ibu. Sudah pasti ini semua karena aku sudah menyenangkan hati Ibu kemarin dengan memberinya hadiah. Dan hari ini aku langsung diberi balasan yang luar biasa oleh yang Maha Kuasa. Terima kasih, Tuhan.

Rapat pun usai. Kami diminta kembali bekerja.

"Selamat ya, Bro! Bahagia banget lu ya, naik jabatan. Jangan sombong-sombong Lu nanti sama Gua, kalau udah jadi Manager." Hardi menyikut lenganku saat kami sedang berjalan bersisian menuju ruangan masing-masing.

Aku langsung terkekeh mendengar perkataan Hardi. Kasihan sebenarnya dengan temanku ini. Dari sejak dulu tak pernah sekali pun naik jabatan. Tapi wajar sih, Hardi orangnya bukan tipe orang yang pandai cari muka di depan bos.

Dia selalu berkata, "aku mau jalani apa adanya saja." Terlalu kolot pemikiran Hardi. Padahal jika ia mau menjilat para atasan sedikit, setidaknya ia bisa maju sepertiku sekarang ini.

"Tenang aja dah, Lu. Mana mungkin Gua sombong-sombong ke Elu. Tapi btw, Di ... Lu ada uang gak? Gua pinjam dulu dong sejuta," ucapku setengah berbisik.

Hardi langsung menoyor kepalaku. Dasar bawahan tak sopan! Berani-beraninya menoyor kepala seorang Manager.

"Ujung-ujungnya gak enak Lu, Mar!" Ketus Hardi bersungut-sungut.

"Please lah, Di ... Nanti bakal Gua ganti kok, kalau udah gajian. Lagian Gua ini kan udah jadi Manager, pasti nanti gaji Gua bakal naik." Aku masih berusaha merayu Hardi.

"Ya deh, ya deh. Nanti Gua transfer aja. Gak ada uang cash soalnya."

Yes! Akhirnya aku dapat uang juga untuk merayakan kenaikan jabatanku ini.

Aku bekerja penuh semangat hari ini. Apalagi ini adalah hari terakhir aku menduduki jabatan sebagai supervisor.

Tanpa terasa hari mulai sore, jam pulang pun tiba. Cepat-cepat aku keluar dari kantor hendak pulang. Tak sabar rasanya ingin memberitahukan kabar gembira ini secepatnya.

"Eh, Damar ... Udah mau pulang?"

Aku melengos saat seorang wanita cantik menyapaku di parkiran. Wanita bernama Cintya itu satu divisi dengan Hardi.

Bukan aku tak suka dengan Cintya, hanya saja sedari dulu aku selalu mencuri-curi perhatian wanita itu. Tapi ia selalu cuek dan jual mahal. Aku yakin, saat ini sifatnya berbalik seratus delapan puluh derajat karena tahu aku naik jabatan. Kali ini saatnya aku yang balas dendam dengan jual mahal padanya.

Tanpa menghiraukan Cintya, aku langsung melajukan motorku ke arah jalan pulang. Tak lupa kubeli oleh-oleh di tengah perjalanan.

Setengah jam perjalanan, aku pun sampai di depan rumah bercat putih itu. Rumah ternyamanku sejak dulu kala. Aku sedikit mengernyitkan dahi saat melihat sebuah sepeda motor yang bukan milik Ibu terparkir di halaman.

Melihat pintu rumah terbuka, aku langsung masuk sembari mengucapkan salam.

"Bu, Ibuu ...." Aku berteriak memanggil wanita yang kukasihi itu.

"Iya, Mar. Ibu di dapur."

Secepat kilat aku menuju dapur. Namun langkahku langsung terhenti saat melihat Ibu sedang bersama seorang wanita yang amat kubenci.

Aku langsung berbalik arah, tak jadi menemui Ibu. Namun detik selanjutnya, langkahku tertahan saat mendengar panggilan Ibu.

"Mau kemana, Mar? Ini ada Rasti. Kamu gak ingin menyapa dia dulu?"

Tanganku langsung terkepal begitu mendengar perkataan Ibu. Bisa-bisanya Ibu berkata seperti itu dengan entengnya. Padahal Ibu tahu bagaimana hancurnya aku dulu akibat ulah wanita itu.

"Mas Damar, Maaf jika aku datang secara tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin bicara dengan Mas Damar." Suara wanita itu kini terdengar begitu dekat di belakangku.

Aku berusaha mengatur napas untuk mengontrol emosi. Aku tak mau akibat emosi yang melonjak, hati Ibu akan ikut tersakiti.

"Tak ada lagi yang perlu dibicarakan antara kita," ucapku dengan nada dingin. Namun, detik berikutnya aku dibuat terkejut saat mendengar isakan dari bibir wanita itu.

"Aku tahu Mas Damar pasti masih marah dan membenciku. Itu sebabnya aku berusaha untuk meminta bantuan Ibu agar mempertemukan kita. Aku sadar, dulu aku sudah benar-benar melakukan kesalahan, Mas. Sekarang aku sudah dapat karmanya," sahut Rasti di sela isak tangisnya. Namun aku tetap bergeming di tempat.

"Damar, ayolah! Beri Rasti kesempatan. Dia sudah mengakui semua kesalahannya dan dia juga menyesal. Kasihan Rasti, Mar. Dia baru saja diceraikan suaminya."

Aku langsung memutar tubuh begitu mendengar perkataan Ibu. Apa? Rasti sudah jadi janda? Tapi kenapa? Bukannya selama ini dia selalu membangga-banggakan suaminya yang keturunan orang kaya itu.

"Duduk dulu lah, Mar." Ibu menuntunku untuk duduk di kursi makan. Terpaksa aku pun menurutinya.

Terlihat Rasti masih berdiri menunduk sambil sesekali terisak. Ada rasa iba, tapi segera kutepis jauh-jauh. Mengingat perbuatannya dulu padaku.

"Ibu buatkan kopi dulu ya?" Tawar Ibu padaku. Namun, di luar dugaan, Rasti langsung mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata dan menawarkan diri untuk membuatkanku kopi.

"Biar Rasti aja, Bu."

"Tak usah! Aku tak haus," sahutku cepat.

"Tak apa, Mas. Aku sangat ingin berbuat sesuatu untuk Mas Damar."

Aku hanya memutar bola mata mendengar jawabannya. Entahlah, rasa benciku pada wanita itu begitu membuncah. Sejenak ingatanku kembali berkelana ke masa lalu. Masa di mana bertahun-tahun kuhabiskan dengan wanita itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Masitoh
ah Damar ,kayaknya bukan suami setia deh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status