Share

3. Kedatangan Ibu Mertua

POV Adista

Aku menatap kepergian Mas Damar dengan hati yang terluka. Sedari tadi aku sudah berusaha menahan diri untuk mengabaikan sikap Mas Damar yang acuh tak acuh itu. Bahkan aku berusaha sabar saat tahu ia membelikan gamis mewah untuk Ibunya. Tapi melihatnya menolak masakan yang sudah kumasak dengan susah payah sembari menjaga Rafis yang sedang aktif-aktifnya, membuat hatiku benar-benar terluka.

Aku tahu jelas kemana Mas Damar akan pergi. Sudah pasti ia akan ke rumah Ibunya dan meminta makan di sana.

Aku memilih masuk kamar. Tak ada selera lagi untuk melanjutkan makan malam. Kurebahkan tubuh sambil menyusui Rafis yang mulai terlihat mengantuk. Air mataku menetes saat melihat wajah polosnya.

"Kasihan kamu, Nak. Dulu kamu dinanti-nanti kehadirannya oleh Papa dan Nenek, tapi di saat kamu sudah hadir, mereka malah menyia-nyiakanmu," ucapku sembari membelai pipi Rafis, membuat ia mulai memejamkan mata.

Lima belas menit menyusui Rafis, akhirnya ia pun tertidur. Perlahan aku bangkit. Saat Rafis tidur beginilah kesempatanku untuk me time.

Kuambil sisir dan mulai menyisir rambut yang sedari habis mandi tadi belum sempat kusisir. Tak lupa kupakai lotion dan juga parfum murahan yang kupunya. Setelahnya kutatap wajahku yang mulai terlihat kusam karena sudah lama sekali tak memakai skincare wajah. Jangankan untuk membeli skincare dan perawatan, uang yang diberikan Mas Damar cukup untuk sehari-hari saja, aku sudah sangat bersyukur.

Terdengar suara motor Mas Damar berhenti di depan rumah. Aku yang merasa masih sakit hati dengan sikap Mas Damar, memilih tak menyambutnya.

Tak berapa lama terdengar suara pintu terbuka dari luar. Aku juga masih tak bergeming dan memilih kembali ke peraduan. Terdengar langkah kakinya berjalan menuju kamar. Begitu sampai di ambang pintu kamar terdengar suara dengkusan darinya.

Sebenarnya walau aku sakit hati dengan sikapnya, ada rasa berharap di hati agar Mas Damar membujukku. Hal yang lumrah dirasakan oleh semua wanita, jika sedang merajuk pasti ingin dibujuk.

"Ita ...." Mas Damar mengguncang lenganku. Aku yang memang hanya pura-pura tidur langsung membuka mata.

"Hmm ...."

"Ini uang untuk tambahan belanja," ujarnya membuatku langsung bangkit menatapnya. Kupikir Mas Damar akan membujukku atau akan minta jatah. Ternyata ia membangunkanku karena ingin memberikan uang belanja tambahan.

Jelas aku senang sekali, karena selama ini aku cukup pusing mengatur uang dua juta yang diberikan Mas Damar untuk seluruh kebutuhan kami.

"Ingat! Jangan masak makanan yang membuat aku tak selera! Aku sudah capek kerja, harusnya kamu sambut dengan makanan yang enak-enak. Bukan malah dengan sayur kangkung dan tempe!" Ketus Mas Damar membuat hatiku langsung mencelos mendengarnya.

"Mas, mau gimana lagi? Uang yang kamu berikan cukupnya hanya untuk itu. Kalau untuk masak ayam dan ikan sekali-kali, okelah masih bisa. Tapi kalau untuk setiap hari jelas tak cukup, Mas." Aku berusaha membantah kali ini. Karena memang kenyataannya begitu.

"Kamu jangan banyak alasan ya, Ita! Lihat tuh Diana ... Kamu contoh dia. Dia juga diberi jatah yang sama oleh Mas Danis. Tapi mereka bisa selalu makan enak. Dasar kamunya aja yang gak becus urus keuangan!"

Aku benar-benar emosi mendengar Mas Danis membanding-bandingkanku dengan Kakak iparnya. Walau sebenarnya hati ini juga heran, kenapa Mbak Diana bisa selalu makan enak walau diberikan uang yang sama nominalnya denganku. Bahkan Mbak Diana selalu terlihat cantik dan terawat. Tak pernah ia terlihat memakai daster lusuh sepertiku. Apa jangan-jangan Mbak Diana selama ini juga kerja untuk menopang kehidupan mereka?

***

Baru saja aku masuk ke rumah setelah melepas Mas Damar pergi kerja. Tiba-tiba sudah terdengar saja pintu rumahku diketuk dari luar dengan keras.

"Itaaa! Buka pintunya!"

Aku menghela napas berat begitu mendengar suara Ibu Mas Damar memanggilku. Lekas aku menuju pintu dan membukanya.

"Eh, Ibu ... Ada apa, Bu?" Aku berusaha ramah menyapa Ibu. Bukan maksud jadi seperti penjilat. Tapi sebagai menantu aku harus tetap bersikap baik pada mertua, selagi ia tak menginjak harga diriku.

Tanpa menjawab pertanyaanku, Ibu langsung menerobos masuk, diikuti oleh Mbak Diana. Kupikir Ibu datang sendirian, ternyata ia datang bersama Mbak Diana.

Melihat Ibu yang langsung duduk di kursi tamu, aku berniat akan membuatkan minuman untuk keduanya. Namun, buru-buru Ibu menahan langkahku.

"Mau kemana kamu? Sini, duduk!"

Aku yang merasa kikuk dengan perintah Ibu, akhirnya menurut juga untuk duduk di hadapannya.

"Kenapa, Bu?" Aku bertanya hati-hati saat melihat wajah Ibu yang sama sekali tak menunjukkan keramahan.

"Kamu itu gimana sih jadi istri? Bisa-bisanya kamu biarin Damar kelaparan tadi malam!" Sentak Ibu sembari menatapku sengit.

Aku langsung kebingungan mendengarkan perkataan Ibu.

"Maksud Ibu apa? Kapan aku biarkan Mas Damar kelaparan?" Tanyaku tak mau kalah.

"Tadi malam lah. Bisa-bisanya kamu gak ngasih makan anakku, sampai dia malam-malam minta makan ke rumahku." Ibu menjawab masih dengan nada sewot.

"Bu ... Aku bukan gak ngasih Mas Damar makan. Tapi dia sendiri yang gak mau makan masakanku. Aku tadi malam sudah masak lho, Bu. Tapi Mas Damar malah pergi begitu saja." Aku berusaha membela diri.

"Kamu masak apa emangnya?"

"Tumis kangkung dan orek tempe, Bu."

"Ya wajarlah Damar tak mau makan! Masakanmu tak berkelas gitu," sungut Ibu membuat aku geleng-geleng kepala.

"Bu, harusnya anak Ibu itu yang sadar diri. Kalau ingin makanan yang berkelas, ya biayanya juga nambah!" Balasku dengan emosi yang mulai meletup-letup di hati. Entah bagaimana cara berpikir Ibu Mas Damar ini, padahal ia juga wanita, sering masak dan belanja. Pasti tahu lah soal harga-harga bahan pangan yang meroket.

"Kamu kok jadi nyalahin Damar! Dia itu sudah memberi uang banyak untukmu. Kami contoh nih Diana. Dia juga diberi uang belanja yang sama denganmu, tapi mereka bisa makan enak tiap hari."

Lagi-lagi aku dibandingkan dengan menantunya yang lain. Aku langsung menatap Mbak Diana penuh selidik. Sedangkan ia langsung salah tingkah begitu melihat tatapanku.

"Iya ya, Bu ... Kok bisa ya Mbak Diana makan enak setiap hari. Bahkan ia terlihat begitu terawat. Tipsnya apa, Mbak? Bisa kasih tahu aku gak?"

Mbak Diana langsung gelagapan begitu mendengar pertanyaanku. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kakak Ipar suamiku itu.

"Ya jelas tipsnya itu pandai mengatur keuangan. Bener kan, Di?" Sela Ibu sebelum Mbak Diana bisa menjawab.

"Eh, i--iya, Bu. Bener," jawab Mbak Diana sedikit gugup.

"Tuh denger! Gitu aja gak ngerti kamu! Percuma kamu sarjana, kalau cuma urusan keuangan aja minta ajarin Diana yang hanya lulus SMP," sengit Ibu lagi.

"Bu ... Bisa gak, gak usah bawa-bawa status?" Lirih aku berucap sembari menahan emosi.

"Memang kenyataannya! Nyesel aku! Punya mantu sarjana tapi gak ada gunanya sama sekali. Sudahlah tak cantik, banyak nuntut pula! Mending punya mantu tamat SMP tapi bisa dibanggakan kecantikan dan kepintarannya," ucap Ibu sarkas sembari berdiri dari duduknya, lalu mengajak Mbak Diana pergi. Meninggalkan aku yang berusaha mengatur emosi yang berdentam tak beraturan di dada.

'Oke, Bu ... Banggakan saja terus menantu kesayangan Ibu itu!' Batinku penuh amarah.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status