Share

Pesona Babang Ojol
Pesona Babang Ojol
Penulis: Shofie Widdianto

Angkutan

“Duh, gimana nih! Udah telat, mana dosen kiler pula.”

Aku mondar-mandir menunggu angkutan umum. Gerakan kakiku sudah seperti setrika yang melicinkan baju. Perjalanan ke kampus membutuhkan waktu selama lima belas menit, jika telat sedikit saja aku bisa mendapatkan nilai C. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga setengah jam tidak kunjung datang juga angkutannya.

Aku mulai resah menunggu hingga datanglah mobil berwarna orange. Kulambaikan tangan hingga ia menepi. Hanya ada dua penumpang di dalamnya, seorang perempuan membawa pisang beberapa tundun dan satunya lagi nenek tua yang sudah tertidur.

“Jalan, Bang!”

“Ngetem dulu, Neng. Nunggu penumpangnya banyak,” jawab Pak Sopir.

“Ya Allah ... ini hari Sabtu, Bang. Nggak bakal ada anak sekolah. Udah siang, nih, aku bisa telat!”

Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi angkutan tidak kunjung melaju.

“Sabar, Neng. Orang sabar disayang pacar.”

“Aku nggak punya pacar, Bang. Jomlo lillahi ta'ala.”

“Mau jadi pacar Abang, nggak?” tanyanya sambil mengerlingkan mata.

“Idih, sorry, Bang!” Aku bergidik ngeri.

Dasar tidak tahu malu, nggak ingat sama anak dan istri di rumah.

“Ayo, Bang! Buruan jalan! Lama-lama aku turun nih.”

Aku sengaja mengancamnya agar angkutan segera jalan. Akhirnya angkutan melaju dengan pelan. Pelan, pelan dan sangat pelan. Pedagang pisang yang sedari tadi duduk di sampingku sudah tidur. Mungkin mengantuk karena terlalu lama menunggu.

Sudah sepuluh menit tetapi baru jalan sekitar satu kilo meter. Angkutan ini niat jalan apa tidak sih?

“Bang, cepetan jalannya. Mau nunggu sampai kiamat juga nggak bakal ada yang naik kalau angkutannya lelet kayak siput!”

Pasalnya, di zaman sekarang ini banyak orang yang sudah memiliki kendaraan pribadi. Hanya orang-orang sepertiku yang masih menggunakan angkutan umum. Aku tidak memiliki kendaraan pribadi. Jangankan motor, bahkan sepeda juga tidak punya.

“Kalau mau turun, ya turun aja, Neng!” Pak Sopir menepikan angkutan di jalan yang sangat sepi. Sepertinya dia sengaja mengerjaiku. Dia pikir aku takut? Tidak! Aku hanya takut sama Allah.

Mau naik apa kalau aku turun? Setengah jam lagi kelas dimulai, aku bisa terlambat.

“Kenapa bengong? Nggak berani turun, kan?” ejek Pak Supir.

“Siapa yang bilang takut? Oke, aku turun di sini!”

Aku menundukkan kepala kemudian turun dari angkutan.

“Dasar supir gila!”

Tega sekali dia meninggalkan gadis cantik sepertiku di jalanan sepi seperti ini. Kalau aku diculik bagaimana? Sekarang lagi musim penculikan dan pembunuhan. Organ tubuhku akan dijual dan mayatku dimutilasi.

Tidak ada rumah ataupun orang di sekitar sini. Hanya ada pepohonan yang rindang dan gelap. Sinar matahari tidak mampu menembus celah dedaunan. Benar-benar gelap. Dasar tukang angkutan sialan!

Kutendang udara kosong di depanku sampai aku jatuh terjungkal. Benar-benar sial.

Aku berdiri dan melambaikan tangan kepada semua kendaraan yang lewat. Entah bagaimana caranya, aku harus bisa sampai kampus. Namun, tidak satu pun kendaraan yang berhenti. Aku mulai putus asa dan tertunduk lemah di pinggir jalan. Hingga sebuah motor honda astrea berhenti di depanku.

“Ojek, Neng?”

Aku menoleh ke arah asal suara. Kulihat seorang lelaki tampan memakai helm dan jaket dengan warna senada ala ojol zaman now. Oh, tidak ...! Senyumnya membuat duniaku runtuh. Ya Allah, mungkinkah dia jodohku, malaikat penolong yang Kau kirimkan untukku?

“Kok bengong?”

“Eh, anu, maaf. Bisa antarkan saya ke kampus Anak Negeri?”

Untung aku segera sadar. Dia menyerahkan helm kemudian memintaku duduk di belakangnya.

“Bisa, Neng.”

“Ngebut, ya, Mas. Saya terlambat ini, gara-gara naik angkutan umum. Angkutannya jalannya pelan banget, sampai penumpangnya pada tidur.”

“Oh, ya? Harusnya sudah sampai donk kalau naik angkutan dari tadi.”

“Nah, Mas lihat angkutan yang di depan itu? Pelan banget ‘kan jalannya, saya omelin dari tadi. Hingga akhirnya diturunin di jalanan sepi. Emang dasar nggak punya perasaan.”

“Kok malah saya yang diomelin, sih, Neng?”

“Eh, iya, lupa. Maaf ya, Mas. Saya terlalu laper. Eh, baper.”

Aku rasanya ingin memberi pelajaran kepada sopir angkutan itu. Dia udah bikin aku terlambat. Udah gitu sampai kampus kudu ketemu Bu Endang. Bisa-bisa aku mengulang tahun depan. Oh tidak, aku bisa kelamaan lulusnya. Nanti jadi perawan tua. Amit-amit deh.

“Mas, cepetan jalannya. Kita salip angkutan itu. Biar dia tahu rasa, nanti pas deketan sama sopirnya saya mau kasih sesuatu buat dia.”

“Jangan macam-macam, Neng. Bahaya kalau ugal-ugalan di jalan.”

“Udah, Masnya nurut aja! Saya pasti bayar. Biar begini saya sudah kerja dan bisa menghasilkan uang sendiri untuk biaya kuliah.”

“Keren, deh. Pegangan, Neng! Siap, ya.”

Motor melaju dengan cepat, karena kaget, aku memeluk Babang ojol dari belakang. Duh, kenapa jantungku berdebar seperti ini?

“Jangan kenceng-kenceng meluknya, awas nanti jatuh cinta!”

“Ih, dasar!”

Aku mencebik kesal dan melepaskan pelukan.

“Siap-siap, udah dekat dengan angkutan!”

Aku sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk si sopir angkutan yang rese. Tepat di samping kemudi sopir, motor berjalan pelan seperti slowmotion. Sengaja aku meminta si Babang ojol agar mengklakson dengan kencang.

“Bye-bye, Pak ... aku duluan, ya!”

Aku tertawa puas melihatnya. Sepanjang perjalanan, aku mengobrol dengan Mas Ojol ini. Tanpa terasa aku sudah tiba di kampus. Aku segera turun dan berlari menuju kelas. Namun, suara seseorang dari belakang menghentikanku.

“Tunggu dulu, Neng!”

Aku menoleh sejenak ke belakang. Ada apa lagi, sih?

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Shofie Widdianto
apa ya kira-kira?
goodnovel comment avatar
Shofie Widdianto
makasih sudah mampir, Kak ...
goodnovel comment avatar
Lisa Indriani
neng tunggu abang.... tar di jemput lagi ya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status