“Duh, gimana nih! Udah telat, mana dosen kiler pula.”
Aku mondar-mandir menunggu angkutan umum. Gerakan kakiku sudah seperti setrika yang melicinkan baju. Perjalanan ke kampus membutuhkan waktu selama lima belas menit, jika telat sedikit saja aku bisa mendapatkan nilai C. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga setengah jam tidak kunjung datang juga angkutannya.Aku mulai resah menunggu hingga datanglah mobil berwarna orange. Kulambaikan tangan hingga ia menepi. Hanya ada dua penumpang di dalamnya, seorang perempuan membawa pisang beberapa tundun dan satunya lagi nenek tua yang sudah tertidur.“Jalan, Bang!”“Ngetem dulu, Neng. Nunggu penumpangnya banyak,” jawab Pak Sopir.“Ya Allah ... ini hari Sabtu, Bang. Nggak bakal ada anak sekolah. Udah siang, nih, aku bisa telat!”Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi angkutan tidak kunjung melaju.“Sabar, Neng. Orang sabar disayang pacar.”“Aku nggak punya pacar, Bang. Jomlo lillahi ta'ala.”“Mau jadi pacar Abang, nggak?” tanyanya sambil mengerlingkan mata.“Idih, sorry, Bang!” Aku bergidik ngeri.Dasar tidak tahu malu, nggak ingat sama anak dan istri di rumah.“Ayo, Bang! Buruan jalan! Lama-lama aku turun nih.”Aku sengaja mengancamnya agar angkutan segera jalan. Akhirnya angkutan melaju dengan pelan. Pelan, pelan dan sangat pelan. Pedagang pisang yang sedari tadi duduk di sampingku sudah tidur. Mungkin mengantuk karena terlalu lama menunggu.Sudah sepuluh menit tetapi baru jalan sekitar satu kilo meter. Angkutan ini niat jalan apa tidak sih?“Bang, cepetan jalannya. Mau nunggu sampai kiamat juga nggak bakal ada yang naik kalau angkutannya lelet kayak siput!”Pasalnya, di zaman sekarang ini banyak orang yang sudah memiliki kendaraan pribadi. Hanya orang-orang sepertiku yang masih menggunakan angkutan umum. Aku tidak memiliki kendaraan pribadi. Jangankan motor, bahkan sepeda juga tidak punya.“Kalau mau turun, ya turun aja, Neng!” Pak Sopir menepikan angkutan di jalan yang sangat sepi. Sepertinya dia sengaja mengerjaiku. Dia pikir aku takut? Tidak! Aku hanya takut sama Allah.Mau naik apa kalau aku turun? Setengah jam lagi kelas dimulai, aku bisa terlambat.“Kenapa bengong? Nggak berani turun, kan?” ejek Pak Supir.“Siapa yang bilang takut? Oke, aku turun di sini!”Aku menundukkan kepala kemudian turun dari angkutan.“Dasar supir gila!”Tega sekali dia meninggalkan gadis cantik sepertiku di jalanan sepi seperti ini. Kalau aku diculik bagaimana? Sekarang lagi musim penculikan dan pembunuhan. Organ tubuhku akan dijual dan mayatku dimutilasi.Tidak ada rumah ataupun orang di sekitar sini. Hanya ada pepohonan yang rindang dan gelap. Sinar matahari tidak mampu menembus celah dedaunan. Benar-benar gelap. Dasar tukang angkutan sialan!Kutendang udara kosong di depanku sampai aku jatuh terjungkal. Benar-benar sial.Aku berdiri dan melambaikan tangan kepada semua kendaraan yang lewat. Entah bagaimana caranya, aku harus bisa sampai kampus. Namun, tidak satu pun kendaraan yang berhenti. Aku mulai putus asa dan tertunduk lemah di pinggir jalan. Hingga sebuah motor honda astrea berhenti di depanku.“Ojek, Neng?”Aku menoleh ke arah asal suara. Kulihat seorang lelaki tampan memakai helm dan jaket dengan warna senada ala ojol zaman now. Oh, tidak ...! Senyumnya membuat duniaku runtuh. Ya Allah, mungkinkah dia jodohku, malaikat penolong yang Kau kirimkan untukku?“Kok bengong?”“Eh, anu, maaf. Bisa antarkan saya ke kampus Anak Negeri?”Untung aku segera sadar. Dia menyerahkan helm kemudian memintaku duduk di belakangnya.“Bisa, Neng.”“Ngebut, ya, Mas. Saya terlambat ini, gara-gara naik angkutan umum. Angkutannya jalannya pelan banget, sampai penumpangnya pada tidur.”“Oh, ya? Harusnya sudah sampai donk kalau naik angkutan dari tadi.”“Nah, Mas lihat angkutan yang di depan itu? Pelan banget ‘kan jalannya, saya omelin dari tadi. Hingga akhirnya diturunin di jalanan sepi. Emang dasar nggak punya perasaan.”“Kok malah saya yang diomelin, sih, Neng?”“Eh, iya, lupa. Maaf ya, Mas. Saya terlalu laper. Eh, baper.”Aku rasanya ingin memberi pelajaran kepada sopir angkutan itu. Dia udah bikin aku terlambat. Udah gitu sampai kampus kudu ketemu Bu Endang. Bisa-bisa aku mengulang tahun depan. Oh tidak, aku bisa kelamaan lulusnya. Nanti jadi perawan tua. Amit-amit deh.“Mas, cepetan jalannya. Kita salip angkutan itu. Biar dia tahu rasa, nanti pas deketan sama sopirnya saya mau kasih sesuatu buat dia.”“Jangan macam-macam, Neng. Bahaya kalau ugal-ugalan di jalan.”“Udah, Masnya nurut aja! Saya pasti bayar. Biar begini saya sudah kerja dan bisa menghasilkan uang sendiri untuk biaya kuliah.”“Keren, deh. Pegangan, Neng! Siap, ya.”Motor melaju dengan cepat, karena kaget, aku memeluk Babang ojol dari belakang. Duh, kenapa jantungku berdebar seperti ini?“Jangan kenceng-kenceng meluknya, awas nanti jatuh cinta!”“Ih, dasar!”Aku mencebik kesal dan melepaskan pelukan.“Siap-siap, udah dekat dengan angkutan!”Aku sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk si sopir angkutan yang rese. Tepat di samping kemudi sopir, motor berjalan pelan seperti slowmotion. Sengaja aku meminta si Babang ojol agar mengklakson dengan kencang.“Bye-bye, Pak ... aku duluan, ya!”Aku tertawa puas melihatnya. Sepanjang perjalanan, aku mengobrol dengan Mas Ojol ini. Tanpa terasa aku sudah tiba di kampus. Aku segera turun dan berlari menuju kelas. Namun, suara seseorang dari belakang menghentikanku.“Tunggu dulu, Neng!”Aku menoleh sejenak ke belakang. Ada apa lagi, sih?Babang ojol berlari mendekatiku. Dag dig dug jantungku berdegup kencang saat melihatnya, dia terlihat begitu manis setelah membuka helmnya. Duh, bisa diabetes ini, Mas. “Ada apa, Mas? Aku ‘kan udah bayar!” Lagi, dia tersenyum kepadaku. Ya Allah, meleleh hati ini. Dia mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Apakah dia mau kenalan? Tahan senyum, Syifa! Jangan bertingkah bodoh. “Helmnya, Neng,” ucapnya sambil tersenyum. Sial, pipiku sudah semerah kepiting rebus. Rasanya aku ingin mengubur diriku hidup-hidup. “Maaf, Mas. Kelupaan.” Aku segera melepas helm dan mengembalikan kepadanya. “Meskipun jelek begini, harganya mahal, Neng. Lebih mahal daripada gaji saya sehari.” Aku melihat helm hitam dengan kaca bening itu. Di belakangnya ada tulisan ‘H*nda' yang sudah sangat familiar. Dasar babang ojol tukang bohong, helm gratisan aja bilangnya mahal. Dikiranya aku bohoh? Heh! “Iya-iya, maaf, Mas. Saya ‘kan udah bilang kalau lupa. Saya buru-buru, dose
Aku melihat lelaki yang pagi ini sudah menolongku, sekaligus membuat naik darah. Dia sudah terlalu membuat hati ini baper, eh, langsung dijatuhkan gitu aja. Udah gitu aku habis ditipu sama dia. Aku harus memberikan pelajaran padanya.Aku melipat lengan gamisku hingga ke siku. Bersiap memberikan sebuah pelajaran kepada babang ojol. Aku tidak boleh terpesona dengan ketampanannya. Pelan tapi pasti, aku berjalan dengan berkacak pinggang hingga sampai di sampingnya. Dia menoleh ke arahku. “Heh, ngapain kamu ke sini? Bayarannya kurang?”“Udah lunas, kok. Tenang aja.”Dia tersenyum lagi, tapi maaf, aku tidak akan terpengaruh. Aku sudah menutupi mataku dengan tahu dan tempe. “Lalu? Kamu buntutin aku, ya? Apa jangan-jangan kamu naksir sama aku? Heh, jangan mimpi!”“Aku cuma—““Cuma apa? Mau modus, atau tebar pesona?”Kulihat penampilannya sudah berbeda. Dia tidak lagi memakai jaket ojol warna hijau. Semua mahasiswi di kelas ini menatapnya tanpa berkedip. Dia sudah menghipnotis semua temanku.
“Maaf, saya bercanda. Silakan duduk.”Sial! Kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Rasanya mau loncat dari tempatnya. Aku duduk di kursi berseberangan dengannya. Ada sebuah meja di antara kami. Cukup aman dengan jarak radius 100 sentimeter. Kulihat sebuah papan nama di meja, ‘Arshaka Bumi' nama yang indah, sesuai dengan orangnya. “Pak ...” Aku bingung harus memanggilnya siapa. Arsya, Shaka atau Bumi?“Panggil saja Arfan, bukankah kamu mengenalku sebagai Mas ojol?” Dia bertanya masih dengan senyum mautnya.Lah, meja siapa yang dia duduki? Dasar aneh! Mengapa dia selalu tersenyum seperti itu, sih? Makin menjadi-jadi nih jantung.“Maaf, Pak. Saya tidak tahu.”“Bu Endang izin selama satu bulan, beliau mau menjenguk anaknya di Kalimantan. Jadi, saya akan menggantikannya untuk sementara waktu. Namun, saya akan tetap memberikan hukuman karena kamu terlambat.”Apa? Sontak aku menggebrak meja di depanku. Bisa-bisanya dia memberikanku hukuman. Enak saja main hukum sembarangan. “Karen
“Iya, kita bisa berteman. Aku janji, aku nggak akan membawa perasaan dalam pertemanan kita.” Ibra mengulurkan satu jari kelingkingnya. Seperti anak kecil saja. Aku mengerutkan dahi. Pasalnya tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan dewasa. Apalagi aku sudah mengetahui jika dia menyimpan perasaan kepadaku. Bagaimana ini? Belum sempat aku menjawab, dia sudah memegang tanganku dan menautkan jari kelingking kami. “Sekarang kita berteman.” Aku bingung harus menjawab apa. Aku bahkan belum menyetujuinya. Dia mengambil kesimpulan sendiri. “Nanti sore aku anterin pulang, ya, Fa. Kita ‘kan berteman.”“Maaf, aku nggak bisa. Aku udah pesan ojol.”“Kamu lucu. Pulangnya masih nanti sore dan sudah pesan ojol?” Dia tersenyum hambar. “Kamu tahu sendiri, kan, gimana galaknya Ayah. Aku gak berani diantar teman lelaki. Bisa digorok kalau sampai ketahuan.”“Aku jadi penasaran dengan Ayah kamu.” “Gak usah penasaran, nanti bisa kebawa mimpi. Gak lucu dong laki mimpiin laki juga, ha
Cuaca semakin buruk, angin berembus kencang dan hujan semakin deras. Tinggal aku sendiri di tempat ini hingga sebuah truk besar berhenti di dekat halte. Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Mereka memakai baju hitam dan penutup muka. Hanya terlihat matanya saja. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku.Mereka berjalan mendekat hingga membuatku sangat panik. Bagaimana kalau aku diculik, diperkosa lalu dibuang ke waduk Logung? Ya Allah, ampunilah segala dosaku. Salah satu di antara mereka membawa senjata tajam. Jantungku berdebar, tetapi bukan jatuh cinta.“Berteduh, Neng? Mau Abang anterin, nggak?” tanya lelaki yang membawa senjata. Dia berjalan pelan menuju ke arahku.“I–iya, Bang. Eh, nggak usah. Makasih tawarannya.” Cuacanya sangat dingin, tetapi tubuhku terasa panas. Keringat bercucuran di keningku. Aku menggeser tubuhku kala lelaki yang satunya mulai mendekat. “Jangan jauh-jauh, Neng! Nanti jatuh. Di sana licin.” Tatapa
Sebuah motor berhenti di depan gerobak bakso. Motor itu tidak asing bagiku. Apalagi suara itu, aku sangat hafal.“Eh, Mas Arfan. Ini Mas ada cewek udah makan nggak mau bayar.”Dia lagi, bukankah masih banyak manusia di bumi ini? Kenapa hanya dia yang selalu Engkau pertemukan denganku? Seharusnya Mas Aldebaran saja yang datang, biar dicari Andin.“Aku udah bayar, ya. Kurang dua ribu doang.”“Tetep aja kurang, Neng.”“Biar saya yang bayar, Bang. Sekalian bungkusin 2 bakso kayak biasanya, ya!”“Siap, Mas Arfan. Tunggu sebentar, ya.”Dia turun dari motor dan duduk di kursi plastik berhadapan denganku. Aku segera menggeser kursi, tidak enak rasanya berhadapan dengan lelaki yang sudah beristri, apalagi dia dosenku. “Kenapa mundur?” tanyanya dengan senyum manis. “Jangan dekat-dekat, Pak.” Aku bisa diabetes jika dia selalu tersenyum seperti itu. Besok aku harus pergi ke dokter untuk memeriksa kadar gula darah.“Kita sedang tidak di kampus, jangan panggil ‘Pak’ nanti aku dikira Bapakmu. Gak
Aku memang pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Namun, karena kesibukan, aku menguburnya dalam-dalam. Aku mulai menulis dengan hal-hal receh di buku diary. Menulis nota pembayaran, status galau habis putus sama pacar di pesbuk dan di aplikasi berlogo gambar burung warna biru. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Aku harus bekerja membantu Ayah menghidupi adik-adikku. Ibu meninggal 12 tahun yang lalu setelah melahirkan Faiha. “Ditanya bukannya jawab malah melamun.” Pak Arfan mebcibir. Aku tersadar dari lamunan. Mengapa dia kepo sekali? Aku jadi penasaran siapa penulis favoritnya. “Eh, maaf, Pak. Aku suka banget sama author Fan'z, dia itu kalau nulis bisa bikin pembaca ketawa-ketawa sendiri.” “Oh, ya? Kok sama, jangan-jangan kita jodoh,” ucapnya dengan mata berbinar. Heh, apa hubungannya dengan jodoh? Dia terlau mengada-ada. “Nggak ada hubungannya kali, Pak. Kalaupun aku disuruh memilih, mending milih author Fan'z daripada Bapak.” Dia tertawa tertawa hingga dere
Matahari mungkin sudah terbenam, tetapi tidak ada bedanya sama sekali karena sedari tadi mendung setelah hujan. Tidak ada pelangi di matamu, apalagi di langit. Di parkiran makam ini hanya ada tiga kendaraan terparkir. Dua sepeda motor dan sebuah sepeda onthel. Aku duduk di atas motor butut milik Pak Arfan. Unik juga dia. Di saat anak-anak muda bergaya dengan motor gede seperti di tipi-tipi, dia cukup dengan motor astrea hijau. Namun motor ini begitu terawat, masih kinclong warnanya.Bunga kamboja warna putih menghiasi kuburan, harum semerbak menyeruak ke dalam hidung. Membuatku bersin-bersin karena alergi, ditambah dengan dinginnya udara sore ini . Untung saja aku memakai khimar sehingga tidak membuatku menggigil, ternyata ada gunanya juga pakaian ini.Kulihat sosok lelaki dari arah makam menghampiri. Dia membawa cangkul dan karung. Mungkinkah dia penjaga kuburan? Namun, apa yang dia bawa di dalam karung? Oh tidak! Jangan-jangan kepala Pak Arfan di dalamnya. “Astaghfirullah .... Bis